TANJUNG – Persoalan sengketa lahan Adat Dayak Desa Uwie Kecamatan Muara Uya Kabupaten Tabalong yang sempat memanas pekan lalu, akhirnya berbuah manis. Berdasarkan hasil rapat hari Minggu (22/01) sore di rumah H Fauzi yang juga anggota DPRD Kabupaten Tabalong, warga Transmigrasi Desa Uwie bersedia membayar uang tali asih sebesar Rp 8 juta per hektar. Ini sekaligus diharapkan menjadi babak akhir perseteruan dua kelompok warga desa bertetangga ini.

Sebanyak kurang lebih 50 orang warga trasmigrasi Desa Baluun Kecamatan Muara Uya (sebelumnya disebutkan warga Dayak Uwie), diduga menggarap dan menguasai tanah ‘Belenaon’ tersebut secara sepihak. Belakangan, persoalan tersebut mencapai puncaknya setelah warga Dayak yang tidak rela tanah leluhur mereka dikuasai pihak lain, terus mengawasi lokasi dengan mendirikan tenda-tenda di seputar kawasan yang umumnya ditumbuhi tanaman karet produktif tersebut, Sabtu (21/01).
Pertemuan-pertemuan sebelumnya, baik yang dilaksanakan di rumah Kepala Adat, Wita maupun rumah warga, Arlianto dengan melibatkan aparat setempat, belum membuahkan kesepakatan. Bahkan pertemuan Minggu pagi itu pun sempat gagal, karena perwakilan warga trans absent dengan alasan faktor keamanan.
Beruntung Minggu siang pertemuan dapat kembali dilangsungkan dan membawa hasil yang menggembirakan kedua belah pihak. Namun begitu, beberapa warga Dayak mengaku sebelumnya sempat kecewa, karena mereka merasa sudah terlalu banyak mengalah, itu pun masih dianggap tidak adil. Dari jangka waktu pembayaran hingga dalam masalah harga pun warga Dayak bersedia beberapakali menurunkannya setelah tawar menawar sampai akhirnya disetujui harga per hektarnya Rp 8 juta dari sebelumnya Rp 15 juta yang dibayarkan dalam waktu 3 bulan secara kes pasca penandatanganan kesepakatan yang dilakukan oleh Wita, selaku perwakilan warga Dayak dan H Tarjo yang mewakili warga trans pada Minggu (22/01) sore.
Poin pertama kesempakatan itu menyebutkan bahwa warga trans yang selama ini menguasai lahan sengketa berjanji dan siap membayar uang sebesar Rp 8 juta per hektar sebagai ganti tali asih kepada masyarakat adat.
Pada poin kedua disebutkan, pembayaran paling lambat dilakukan 3 bulan terhitung dari tanggal 1 Februari 2012. Selanjutnya, pihak Pertama (warga trans – red) siap mengembalikan lahan menjadi tanah adat kembali, jika dalam waktu 3 bulan tidak membayar uang tali asih.
Poin keempat, pengukuran akan dilaksanakan secara bersama-sama serta melibatkan aparat Pemerintahan Desa, Kecamatan serta pihak keamanan.
“Intinya dari pihak adat tidak menjual lahan, hanya meminta uang tali asih,” jelas Arlianto.
Sejauh ini, situasi umum di seputar Desa Uwie sudah terkendali, warga Dayak pun sudah membongkar tenda-tenda mereka Namun tidak menutup kemungkinan keadaan akan kembali memanas jika sampai waktu yang sudah ditentukan itu, pembayaran tidak juga dilakukan oleh warga transmigrasi.
Turut hadir dalam pertemuan itu antara lain, pihak Kapolsek Muara Uya, Koramil, perwakilan Kecamatan, H Fauzi yang sekaligus sebagai perwakilan anggota dewan, pihak warga trans yang diwakili H Tarjo, Sutopo, Ngadiyo dan Sutrisno serta warga Adat Dayak Desa Uwie Kecamatan Muara Uya. Metro7/usy