Oleh: Syaiful Fahmi
Selain sebagai “Nikmat”, Pemilukada juga menyimpan bom waktu yang setiap saat bisa meledak, jika salah urus. Pemilukada secara prosedural merupakan amanah konstitusi dan harapan terwujudnya demokrasi lokal secara substansial serta sebagai sarana menyalurkan hak pilih, sebagai salah satu upaya mewujudkan demokrasi lokal.

Dikatakan menyimpan potensi “Bom waktu” karena selain sebagai “Pesta demokrasi”, tersimpan bahaya yang tak terlihat yang akan mengatur jalannya pemerintahan pasca pemilihan. Bahaya tersebut dikenal dengan “Underground Economy”.
Kurang matangnya praktik demokrasi baik ditingkatan elit maupun tataran warga akan memicu terjadinya bias demokrasi, dalam artian demokrasi bukan sebenar-benarnya pilihan, tapi lebih disebabkan oleh adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Misalnya, di kalangan warga yang tingkat kesadaran politiknya kurang memadai ditambah dengan kekurangan secara ekonomi, tentu warga yang demikian cenderung memilih calon yang bisa memenuhi kebutuhan sesaatnya, misalnya sembako atau money politics.
Keadaaan warga yang dominan seperti di atas, akan sangat mungkin dimanfaatkan oleh elit masyarakat untuk melakukan persekongkolan dengan calon pemimpin daerah, entah dengan melakukan Deal” yang akan dipenuhi setelah menjabat sebagai pejabat pemerintahan formal. Akibatnya, pemerintahan yang formal akan dikalahkan olehPemerintahan bayangan”.
Dengan asumsi bahwa pada saat ini kita masih dalam tahap transisi demokrasi. menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis, akan mencapai kebenarannya bila berangkat dari asumsi substantive democracy. Artinya tujuan ideal dari pemilihan secara langsung, antara lain untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif, hanya akan mendekati kenyataan ketika diasumsikan bahwa perilaku demokrasi telah eksis, baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun di kalangan masyarakat. Dengan demikian, maka masyarakat akan mengambil keputusan atas pilihan tersebut berdasarkan “Rasionalitas politik”.
Satu di antara karakteristik dasar dari transisi demokrasi adalah relatif masih minimnya perilaku demokrasi, baik di tataran elit penguasa maupun elit masyarakat pada sisi yang lain. Dengan demikian, maka sulit dihindari tidak akan terjadi bias demokrasi dalam PEMILUKADA, bahkan sangat mungkin akan lebih banyak diwarnai “Persekongkolan-persekongkolan bisnis dan deal-deal politik antar elit. Dinamika bisnis dan deal politik yang terjadi pada proses sebelum dan proses PEMILUKADA, tentunya berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya pemerintahan kepala daerah pasca Pemilukada. Di sinilah akan muncul bahaya akibat adanya “Transaksi yang tak tampak”, yaitu tumbuh dan berkembanganya praktik underground economy dalam pemerintahan formal.
Penyebab utama terjadinya hal ini antara lain, karena para elit penyelenggara pemerintahan formal mengalami ketakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintahan Sedangkan dari dalam diri para konstentan Pemilukada, ada hasrat yang sangat besar menduduki tahta kekuasaan. Konsekuensi logis dari kondisi seperti ini, maka pada tingkat realitas, penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh otoritas informal di luar struktur pemerintahan, daripada otoritas formal di dalam struktur itu sendiri.
Jika demikian adanya, maka berkah dan kenikmatan Pemilukada hanya akan menjadi nikmat bagi sedikit orang, dan bencana bagi yang lainnya. Nikmat bagi para pebisnis dan politisi, yang akhirnya akan mengabaikan rakyat. Wallahu A’lam