Oleh: Afifuddin Acal
Hiruk pikuk Pilkada adalah hal yang biasa menjelang pelaksanaannya, hal ini bisa terlihat lobi-lobi politik untuk mencari dukungan dan membangun kekuatan terjadi di semua Kabupaten/Kota di Indonesia.
Sedihnya, ekses dari semua ini, para elit politik tidak sempat memikirkan kesejahteraan rakyat saat ini. Semua energi mereka terkuras pada proses Pilkada.
Lahirnya pemimpin yang berkualitas ditandai dari Pemilu yang berkualitas. Kisruh politik selama ini membuat kualitas Pilkada berkurang dan harapannya semua elit politik jangan menggiring konflik elit ini kepada masyarakat. Masyarakat butuh kesejahteraan, bukan konflik.
Apalagi sekarang ini Pilkada turut diramaikan oleh calon independen, sehingga semakin mewarnai Pilkada yang kedua setelah masa konflik. Banyak orang mengharapkan Pilkada akan melahirkan pemimpin yang berkualitas serta Pilkada yang bersih dan transparan tanpa ternoda oleh aksi-aksi yang mencederai Pilkada seperti  intimidasi dan teror.
Namun kita jangan lupa bahwa antara Pilkada dengan kesejahteraan mempunyai korelasi signifikan antara pemimpin yang terpilih dengan kondisi kesejahteraan rakyat. Karena pemimpin yang baik tidak hanya mengumbar janji akan memberikan kesejahteraan pada saat dan menjelang Pilkada, tapi membuktikan janji-janjinya saat dirinya memegang kekuasaan.
“Kami menjanjikan kesejahteraan rakyat, kami berikrar akan meminimalisir kemiskinan, kami memiliki program kesehatan dan pendidikan gratis untuk rakyat.” Ungkapan inilah yang kentara kita dengar keluar dari mulut kandidat yang belum terpilih di hadapan rakyat. Namun belum tentu hal ini akan terealisasi setelah pemimpin tersebut menjabat kepala daerah.
Banyak yang mengkampanyekan untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), namun sangat jarang kandidat berkampanye bagaimana meningkatkan pendapatan perkapita rakyat per tahun.
Padahal kalau pendapatan rakyat meningkat, maka akan jadi stimulus dalam peningkatan produksi barang dan jasa. Dengan demikian akan terjadi penurunan angka kemiskinan.
Untuk mencapai itu semua adalah dengan cara meningkatkan kualitas Pilkada itu sendiri. Bagaimana upaya meningkatkan kualitas Pilkada? Pertanyaan ini memang sulit dijawab di tengah-tengah apatisme rakyat terhadap politik. Sikap diam dan kurangnya pemahaman politik rakyat semakin memperparah merosotnya kualitas Pilkada.
Hal ini diperparah lagi dengan dominasi modal besar serta kepentingan keluarga dan kroni para kandidat masih menjadi momok besar dalam menciptakan Pilkada yang berkualitas. Cerminan demokrasi dalam Pilkada masih sebatas pada kulitnya saja, belum mencerminkan Pilkada yang berorentasi memperbaiki taraf ekonomi rakyat, meningkatkan pendapatan perkapita rakyat, bukan malah meningkatkan pendapatan perkapita pejabat dan kroni-kroninya.
Akhirnya apa? Hanya menciptakan lapangan kerja bagi dua kelompok saja setiap selesai Pilkada, yaitu kepala daerah dan wakilnya. Sedangkan rakyat tetap tidak mendapatkan hasil apa pun dari proses panjang Pilkada. Lagi-lagi rakyat hanya menjadi objek politik bukan dijadikan subjek politik. Padahal suara sah itu milik rakyat yang seharusnya memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan arah ekonomi politik.
Perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat dan sistem politik yang masih mendewakan materi memaksa seorang calon pejabat melakukan permainan uang (money politic) dalam Pilkada.
Beberapa kandidat misalnya harus mengeluarkan rupiah untuk mencari “Kendaraan tumpangan” bernama Parpol. Di sini harus seiring sejalan antara “Kekuasaan” Parpol, dan tingkat “Kemampuan” sang kandidat membayar tumpangannya. Maka terjadilah apa yang disebut sebagai politik transaksional.
Politik transaksional adalah politik pertukaran atau politik dagang. Siapa memperoleh apa dan yang lain dapat apa. Liberalisasi politik yang luar biasa di Indonesia menumbuhsuburkan praktik politik ini. Liberalisme politik juga membuat semua orang terjebak dalam lingkaran setan individualistis. Hal ini cenderung berakhir dengan kompromi atau akomodasi kepentingan elite-elite politik saja.
Maka jangan heran jika kemudian substansi demokrasi dalam Pilkada menjadi tereduksi. Akhirnya, kepala daerah yang terpilih secara demokratis nantinya, konsentrasi lebih pada pengembalian modal ketimbang membangun masyarakat yang diwakilinya. ***