Oleh: Dr Ukun Kurnia MPd
 
Pemilihan Umum (General Election) atau pun pemilihan kepala daerah, pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari falsafah demokrasi yang menginginkan adanya pemerintahan (kratos) dari rakyat (demos), oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kepemimpinan yang mewakili aspirasi rakyat inilah yang menjadi representasi dari keberlangsungan sistem demokrasi di sebuah daerah. Oleh karena itu, semua anggota rakyat diikutsertakan dalam proses pemilihan tersebut, sejauh ia memang memenuhi syarat untuk mengikutinya.
Meski bukan sebuah sistem pemerintahan yang terbaik, demokrasi bisa menjadi pilihan yang cukup logis untuk mengakomodir segenap aspirasi yang ada di masyarakat. Apalagi ternyata demokrasi sendiri bisa dirumuskan dalam landasan yang beragam. Demokrasi yang ada di Indonesia misalnya, disebut dengan demokrasi Pancasila karena ia bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi Pancasila ini menekankan pentingnya musyawarah untuk mencapai mufakat melalui perwakilan dengan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Sila keempat Pancasila sebagai landasan demokrasi ini merupakan pilihan yang paling mungkin untuk mewadahi berbagai keragaman masyarakat dan perkembangan aspirasi yang ada. Karena itu, tanpa mengecilkan sistem yang lain, sejauh ia bisa dirasionalisasikan, sistem ini harus dianggap tepat. Tentu saja jika sistem pemerintahan di negara ini berbentuk kerajaan, tidak perlu ada alokasi dana yang begitu besar untuk proses Pemilukada ini.
Persoalannya kemudian adalah bahwa sistem demokrasi yang memungkinkan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin, tidak pernah sesederhana yang dibayangkan dan mudah untuk dijalankan. Demokrasi dalam prakteknya memerlukan birokrasi, terutama ketika rakyat begitu berjubel dan masing-masing memiliki kepentingan. Demokrasi menjadi restu aksi dan landasan demonstrasi ketika ada kebijakan yang dianggap tidak mewakili kepentingan anggota rakyat tertentu. Bahkan, demokrasi bisa sangat carut-marut ketika dalam kenyataannya kepemimpinan rakyat yang diinginkan demokrasi menjadi kepemimpinan sebagian orang belaka. Apa yang menjadi masalah?
Masalahnya terletak pada fakta bahwa sistem pemerintahan yang demokratis tidak pernah bisa seiring jalan dengan sistem politik yang ada. Dalam politik, kata rakyat berarti segenap orang yang memiliki hak suara dan mendukung kepentingan tertentu. Rakyat berarti kami, dan bukan kita. Dalam sistem politik yang sekarang berjalan di negara ini, pemimpin tidak bisa dianggap sebagai wakil rakyat, namun wakil kami. Anda bisa menjadi rakyat sejauh anda memiliki warna dan lambang tertentu yang merepresentasikan ke-kami-an tersebut. Sebuah kondisi yang cukup ironis mengingat cita-cita awal dari demokrasi yang dirumuskan adalah kepemimpinan dari, oleh, dan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Persoalan seperti ini tentu saja memiliki dampak yang cukup besar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kelanjutannya. Setiap kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintahan, akan selalu disikapi baik yang mendukung atau pun menolak, dengan bersandar pada logika kepentingan masing-masing pihak. Lebih parahnya, logika kepentingan tersebut bahkan menihilkan ruang dialog antara masing-masing pihak yang pada akhirnya justru mengorbankan masyarakat umum yang tidak terlibat. Karena itulah, setiap kali terjadi suksesi kepemimpinan atau Pemilukada, kita kembali berharap semoga hal serupa tidak terjadi. ***