Oleh: Raja Dahroni
Melihat aspek historisnya, kelahiran Pilkada langsung merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada melalui perwakilan oleh DPRD sebagaimana diamanatkan UU No 22 Tahun 1999. Namun seiring perjalanan, akhirnya semakin kentara dengan implementasi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi melalui UU No 12 Tahun 2008. 
Berpijak pada peraturan atau perundang-undangan, Pilkada pun digelar secara langsung di Indonesia mulai Juni 2005. Dari proses evaluasi yang dilakukan, ternyata Pilkada yang esensinya melahirkan pemimpin yang kuat di tingkat lokal dan diharapkan mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan, ternyata belum mampu membuktikan kedua hal itu kecuali hanya di beberapa daerah tertentu saja. Pilkada malah melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang pragmatis dan membangun dinasti korup. Esensi kesejahteraan masyarakat hingga saat ini seolah-olah hanya menjadi mimpi di siang bolong.
Menurut Leo Agustino (2009: 121) dalam bukunya, “Pilkada dan Dinamika Politik Lokal”, ada sebelas permasalahan yang menyelimuti Pemilukada, yaitu: Tidak akuratnya data pemilih; Persyaratan calon yang tidak lengkap; Pengusulan pasangan calon dari Parpol; KPUD yang tidak netral; Panwas Pemilukada terlambat dibentuk; Money politics atau politik uang; Dana kampanye yang tidak transparan; Mencuri start kampanye; Dukungan PNS yang tidak netral; Pelanggaran kampanye; dan adanya Intervensi DPRD.
Masalah ini umumnya terjadi apabila DPRD tidak menyetujui pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan berbagai alasan, sehingga berkas hasil pemilihan yang dikirim oleh KPUD tidak diteruskan kepada Gubernur atau Mendagri yang akibatnya proses pengesahan kepala daerah menjadi berlarut-larut maupun DPRD tidak mau melakukan Sidang Paripurna Istimewa.
Semakin baik kualitas penyelenggaraan Pilkada, akan melahirkan pemimpin yang kuat dan tentunya akan berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pilkada yang bagaimanakah yang akan melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat? Ada empat elemen penting dalam Pilkada, yakni KPUD, Panwas, partai politik dan pasangan calon serta masyarakat yang memiliki hak pilih.
Pertama, KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Melihat perannya yang begitu besar dalam Pilkada diharapkan KPUD mampu memperlihatkan independensinya dan netralitasnya. Salain itu, KPUD juga diharapkan mampu menjalankan amanah dan tugasnya dengan baik.
Kedua, Panwas. Peran Panwas kerap kali hanya sebagai simbol seolah-olah penyelenggaraan Pilkada sudah diawasi dengan sempurna dan acapkali laporan-laporan dari Panwas juga relatif tidak didengar karena memang ada aturan-aturan yang melemahkan fungsi Panwas dan pembentukannya juga terkadang terlambat.  Sebagaimana yang dikutip Leo Agustino (2009: 133) Pasal 7 Undang-undang No. 32 tahun 2004, Panwas Pilkada dibentuk oleh dan bertanggungjawab serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD. Secara lebih rinci ketentuan ini juga tertuang dalam PP No. 6 tahun 2005 Pasal 104 ayat (2).
Ketiga, pasangan calon dan Parpol. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kita membutuhkan pasangan calon pemimpin yang kuat. Kuat dari berbagai sisi baik politik maupun ekonomi. Pasangan calon harus bermental entrepreneurship dan memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatur birokrasi yang merupakan roda yang menjalankan pemerintahan di daerah. Ini sangat penting, tapi ini juga sangat tergantung dengan peran Parpol.
Keempat, masyarakat pemilih. Masyarakat yang sudah memiliki hak pilih juga harus cerdas dalam menyikapi siapa bakal calon yang akan mereka pilih. Kecerdasan masyarakat pemilih ini juga bisa dilihat bagaimana mereka menyikapi politik uang pasangan calon.
Saat ini, uang tidak menjadi sebuah jaminan untuk menang, karena terkadang uangnya saja diambil, tapi soal pilihan ternyata tidak bisa dipaksakan. Nah, kekuatan kecerdasan pemilih ini bisa juga mendorong lahirnya kepemimpinan yang kuat yang lebih memprioritaskan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakannya.
Setiap elemen di atas memang harus saling dikuatkan, tidak bisa tidak. Jika tidak, Pilkada yang diharapkan akan melahirkan kepemimpinan yang kuat dan kesejahteraan, hanyalah sebuah khayalan atau ilusi masyarakat pemimpi. Semoga kita memahaminya! ***