Oleh: Abdul Karim
Kemiskinan bukanlah soal angka-angka. Kemiskinan adalah soal pengabaian, tentang marginalisasi, soal penafian hak, soal ketidakadilan, atau ketidakberdayaan di tengah multiberdayanya penyelenggara negara.

Angka kemiskinan buatan BPS memang hanyalah sebuah tanda, dan angka-angka itu tak kuasa merekam rasa dari pergulatan hidup sebagai warga negara yang miskin di kampung halamannya sendiri. Dengan kata lain, angka sama sekali tak merepresentasikan realitas. Tapi dengan angka-angka itu, kita tergerak untuk segera mengkaji realitas rakyat miskin.

Kemiskinan selalu menjadi tema terlaris yang didiskusikan di atas panggung-panggung politik, tak terkecuali di level nasional, di tingkat lokal pun kemiskinan selalu laku dijual.

Laris manisnya wacana kemiskinan menemui momentumnya saat-saat jelang pergantian kepemimpinan. Kemiskinan sering terdengar diteriakkan pihak kandidat. Terminologi “Peningkatan kesejahteraan” pun dikemukakan secara jamak, sebab ini yang dianggap sebagai solusi mengatasi kemiskinan.

Namun, telinga publik ini telanjur akrab dengan suara-suara elite politik yang meneriakkan “Kemiskinan”. Warga sejak lama akrab dengan lontaran-lontaran elite berbunyi “Peningkatan kesejahteraan”. Yang asing bagi warga adalah tindakan nyatanya.     

Perilaku money politics menodai demokrasi. Money politics sangat memperburuk demokrasi. Kepemimpinan politik yang lahir dari proses money politics cenderung korup. Itu sebabnya, dalam kadar apa pun, tindakan money politics tak boleh ditoleransi.

Karena itu, perilaku money politics tak boleh diberi peluang. Walau begitu, nyatanya ruang memungkinkannya mempraktikkan money politics justru terbuka lebar di lapangan. Apa itu? Jawabnya adalah fakta kemiskinan. Situasi warga yang miskin memaksa mereka menempuh cara praktis untuk mengakses materi yang dapat menopang hidupnya, meskipun sifatnya hanya sesaat. Kemiskinan mendorong warga “Menjual suara”.
Apalagi, di lapangan sejumlah pihak memang dengan sengaja menyodorkan materi kepada warga miskin dengan barteran suara.
Praktik money politics seperti itu dapat dijumpai di mana-mana, dan semakin telanjang kelihatan di kawasan terpencil. Tapi anehnya, menangkap pelaku money politics bagai menangkap asap. Hukum tak berdaya.

Bila berseberangan dengan aturan hukum, lantas mengapa money politics ditempuh? Fenomena itu dapat ditafsirkan sebagai; pertama, krisis ketidakpercayaan kontestan politik kita. Mereka tidak yakin akan dipilih oleh rakyat, maka memberi uang pada rakyat dianggapnya mampu meraup suara rakyat.

Sementara rakyat menerima uang politik itu, di samping karena faktor ketidakcukupan, juga dipicu sikap traumatik sebagai pemilih. Pengalaman menjadi pemilih dirasa sebagai pengalaman buruk; dijanji lalu dikhianati, dan itu sudah berlangsung di setiap momentum Pemilu/Pilkada.

Kedua, kentalnya pragmatisme politik para aktor politik kita. Saat ini, “Pragmatisme” mendominasi nalar politik aktor politik. Gaya pragmatisme ini menyingkirkan “Proses” atau kerja-kerja riil dalam gerak politik. Keringat politik tak dikenal dalam gaya politik pragmatis seperti ini yang sangat instan sifatnya. Karena itu, metodenya pun juga instan. Mereka mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk dipilih rakyat. Gaya pragmatisme ini dapat dijumpai di ruang mana pun saat ini dalam bentuk baliho, branding kendaraan, dan sebagainya.       

Ketiga, fenomena ini dapat dipahami sebagai dampak kegagalan Parpol melahirkan kader dan calon pemimpin berintegritas yang memiliki komitmen riil anti money politics. Tentu saja sangat disayangkan, sebab dalam negara demokrasi modern peran Parpol cukup esensial (Kartz; 1980), setidaknya karena rekrutmen kepemimpinan, mulai dari level bupati/wali kota hingga Presiden memerlukan intervensi Parpol.   

Akhirnya, dengan memperhatikan jumlah rakyat miskin, sekali lagi peluang money politics melalui jual beli suara sangat terang-benderang. Integritas penyelenggara (KPU dan Panwaslu) dan aparat penegak hukum sangat diperlukan demi perbaikan mutu demokrasi lokal kita.

Selain itu, kita pun berharap pada seluruh warga yang menemukan praktik money politics kiranya segera melaporkan ke pihak berwenang. Tentu saja, kepemimpinan korup di mana-mana tidak menyehatkan demokrasi yang dipastikan akan mengorbankan rakyat. ***