Oleh: Faulika Utami
Sangat memprihatinkan kita, jika benar apa yang dikatakan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa besarnya biaya politik di daerah menjadi salah satu penyebab tingginya korupsi, karena melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD. Apalagi dikatakan bahwa pangkal dari semua persoalan adalah besarnya dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan politik di daerah. Bila kita menelaah data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa 183 kepala daerah dan 2.176 anggota DPRD tersangkut kasus korupsi.
Senada dengan hal itu, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim menyebutkan, ada kaitannya antara pemilihan kepala langsung dengan kasus korupsi. Seorang kepala daerah harus merogoh kocek yang begitu dalam untuk menjadi kepala daerah. Belum lagi permintaan dari partai yang akan mengusungnya. Sehingga mau tidak mau, kepala daerah berhadapan dengan pengusaha untuk pendanaan dan melakukan kesepakatan bagaimana caranya mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya.
Dengan demikian, semua proyek-proyek maupun pengadaan di daerah, banyak dikuasai oleh pengusaha-pengusaha yang mendukung kepala daerah tersebut. Untuk DPRD, sama saja setali tiga uang. Sekarang kita lihat antara pendapatannya sebagai anggota DPRD dan biaya yang dikeluarkan sehari-hari, sangat tidak sebanding. Untuk mengatasi maraknya korupsi di daerah, perlu dilakukan tiga langkah. Pertama adalah negara harus memikirkan solusi agar biaya politik menjadi murah. Kedua, pendanaan partai politik tidak tergantung pemodal dan terakhir penegakan hukum haruslah memberi efek jera.
Walaupun, sekarang banyak kepala daerah yang ditangkap. Namun, penegakan hukum yang sekarang berjalan, sementara ini, tidak memberikan efek jera. Oleh karena itu, sangat seutju dan sangat kita dukung adanya pemiskinan koruptor. KPK sebagai lembaga antikorupsi sudah menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Namun, mencatat perlu adanya koordinasi antara KPK dengan badan hukum di daerah seperti kejaksaan dan kepolisian. ***