Oleh: Budi Usman*
Saatnya Putra Daerah Memimpin”, “Putra Daerah: Asli Lho..!”, “Putra Daerah Yes, Pendatang No”, begitulah sedikit dari sekian banyak jargon-jargon kandidat pilkada.
Di tengah upaya penumbuhkembangan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan keterbukaan seperti sekarang ini, isu-isu yang menggiring pada lokalitas dan etnisitas seperti di atas terlihat nyinyir dan jadul.
Dalam konteks isu putra daerah, apa yang pantas dipertanyakan adalah apa sesungguhnya definisi putra daerah? Dan benarkah putra daerah berkait langsung dengan kontekstualisasi pembangunan di daerah, berhubungan dengan kesejahteraan rakyat daerah dan berkorelasi dengan tepat dan jitunya desain progres daerah? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang mesti mendapat jawaban yang objektif dan logis.

Kategori Putra Daerah
Paling tidak putra daerah bisa kita kategorisasikan dalam beberapa level. Pertama, adalah putra daerah geografis-biologis, yakni kandidat yang dilahirkan di daerah tersebut. Baik dengan orang tua yang asli daerah tersebut ataupun dengan orang tua dari luar daerah.
Kedua, adalah putra daerah ekonomis-pragmatis, yakni kandidat yang berasal dan lahir dari daerah lain, tapi karena kepentingan tertentu (baca: pekerjaan, ekonomi) ia berlalu lalang atau bahkan bertempat tinggal di daerah tersebut. Ia memiliki jejaring politik dan/atau ekonomi dengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi-politik lokal. Dan dengan jejaring tersebutlah, ia membangun konstelasi bisnis dan politiknya, termasuk menuju medan kontestasi pilkada.
Ketiga, adalah putra daerah sosio-ideologis, yakni kandidat yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal. Ia telah menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat.
Dalam konteks kategorisasi tersebutlah isu putra daerah menjadi terasa nyinyir dan jadul. Oposisi biner antara putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan dunia kehidupan sosial. Isu putra daerah yang dimaknai secara sempit akan menumbuhkembangkan kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang berlebihan. Memandang personifikasi dari latar belakang kesukuannya, sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif dan nilai ajaran sukunya sendiri secara sempit dan manipulatif.

Primordialisme
Bangkitnya primordialisme akan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Akan muncul rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan terhadap orang lain yang diidentifikasi bukan bagian dari kelompoknya yang pada gilirannya bisa melahirkan tribalisme.
Isu putra daerah merupakan bentuk perongrongan secara laten terhadap nilai-nilai kesetaraan dan pluralisme, serta proses integrasi sosial. Lebih dari itu adalah pencederaan terhadap substansi nilai demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan bupati maupun walikota. Menghembuskan isu putra daerah berarti menghalang-halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.
Dinamika tersebut bisa dimaknai sebagai kontestasi pendidikan politik bagi rakyat. Dengan pilkada langsung diharapkan rakyat bisa menentukan pilihan yang tepat, yakni seorang kepala daerah yang kompeten dan berintegritas untuk membangun dan memajukan daerah. (Penulis adalah Mantan Wakil Ketua Panwaslu Kabupaten Tangerang)