Ada “bonus” lain bagi para suporter Chelsea di balik kesuksesan klub kesayangan mereka yang terus bertengger di puncak klasemen sementara Liga Inggris. Apa itu? Kembali tajamnya Fernando Torres.
Memang Liga Inggris belum lama dimulai. Gong Liga Champions pun baru saja ditabuh. Untuk menyebut Torres telah kembali menemukan naluri golnya tentu lebih afdol jika menunggu musim ini selesai.
Akan tetapi, jika melihat catatan statistik Torres sejauh ini: 6 gol dari 12 partai (termasuk 7 pertandingan liga), ada peningkatan yang signifikan, mengingat musim lalu ia mesti menerima banyak olok-olok, lantaran hanya mampu mencetak 11 gol dari 49 partai bersama The Blues.
Ada beberapa asumsi yang menyebutkan mengapa Torres kembali tajam. Pertama, sudah tak adanya Didier Drogba. Alasan ini cukup masuk akal, mengingat dengan tidak adanya Drogba, Torres memiliki tanggung jawab lebih karena menjadi satu-satunya target man “Si Biru”.
Kedua, masih berkaitan dengan poin pertama, tanggung jawab besar tersebut membuat mental Torres otomatis menjadi lebih tangguh. Terlebih, sejak kedatangannya di Chelsea musim 2010-2011 lalu, El Nino selalu dirundung nasib apes karena mandul bikin gol, maka karenanya ia harus membuktikan diri jika tak ingin kembali menjadi bahan tertawaan.
Ketiga, masalah kebugaran. Musim ini Torres memiliki tingkat kebugaran lebih tinggi lantaran musim lalu ia banyak memulai pertandingan dari bench. Kini, dengan jam terbang yang meningkat, stamina Torres tentu lebih terjaga.
Terakhir, poin keempat, adalah soal taktik. Alih-alih memaksakan skema 4-3-3 yang dulu kerap dilakukan Andre Villas-Boas, di mana Torres kerap “dipaksa” bermain melebar — yang notabene bukan posisi favoritnya –, Roberto Di Matteo mengembalikan Torres ke posisinya semula: advanced forward di formasi 4-2-3-1 atau 4-5-1.
Dengan sokongan tiga mezza punta, atau gelandang yang mampu melakukan penetrasi tajam sekaligus killer pass instinct yang mumpuni, di kaki Oscar, Juan Mata, dan Eden Hazard, maka pekerjaan Torres jelas lebih mudah.
Torres memang terlahir sebagai target man classic, penyerang tunggal konvensional. Pun jika pelatih “memaksa” ia harus memiliki tandem striker, maka tandem tersebutlah yang mesti bermain mobile, bergerak lebih fluid, membuka ruang untuk Torres. Peran tersebut sudah terlihat sejak ia berseragam Atletico Madrid.
Kembali tajamnya Torres — tanpa menafikan kerja kerasnya sendiri — dapat dikatakan adalah hasil intuisi dan progesi Di Matteo sebagai pelatih yang cerdas dalam membaca kebutuhan tim. Singkatnya, Di Matteo berhasil Torres tak lagi menjadi “scoreless”. dtk