Kepentingan tulisan ini adalah untuk menguak bagian-bagian yang jarang dieksplorasi dalam fenomena golput alias golongan putih dalam pemilu. Tulisan ini tidak menyoroti golput dari sudut pandang fatwa MUI yang sempat menghangat beberapa waktu yang lalu.
Di setiap pemilu—baik nasional maupun daerah– banyak yang memilih golput secara sadar tapi hanya untuk peluapan emosi sesaat. Golput secara sadar artinya memilih golput dengan keyakinan bahwa kandidat yang mencalonkan diri tidak ada yang mampu membawa perubahan.
Lain halnya kalau golput karena kecelakaan (menyitir Arief Budiman dalam Upe, 2008) dimana tidak memilih karena tidak dapat undangan memilih, bekerja di saat pemilihan, atau berada di daerah lain ketika hari pemilihan. Kalau mau menjadikan golput  secara sadar tersebut sebagai sebuah gerakan, mestinya ada tindak lanjut.
Dengan tindak lanjut gerakan golput bisa berdaya guna. Kalau tidak, bukankah yang memilih golput sama jeleknya dengan calon penguasa yang diyakini tidak ada yang baik dan kompeten? Kalau tidak lebih jelek?
Golput kiranya bisa dilihat sebagai  gerakan dalam rangka menunjukkan bahwa tanpa “helat politik” para elit, kehidupan akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.  Dulu di awal 2010, Dahlan Iskan pernah menulis bahwa di tahun 2010 ekonomi akan terus bergerak sementara politik tidak dihiraukan.
Golput mestinya dilanjutkan dengan membangun kekuatan-kekuatan ekonomi komunitas “di luar kedaulatan“ untuk percepatan masyarakat mandiri.  Artinya, mesti ada upaya untuk membangun jejaring komunal yang meminimkan peran bantuan langsung dari pemerintah secara ekonomi.
Dengan kata lain, golput bukan hanya sekedar gerakan komunal pra-pemilu, tapi juga dilanjutkan dengan gerakan komunal pasca-pemilu. Gerakan pra-pemilu adalah gerakan politik “di luar kedaulatan.” Sementara gerakan pasca-pemilu adalah gerakan ekonomi dan penguatan organisasi.
Selama ini menjamur gerakan komunal dalam bentuk kemunculan banyak LSM. Namun  sejumlah LSM bergantung pada kekuatan-kekuatan besar politik. Sehingga LSM menjadi “pelayan” elit politik yang sekaligus pemilik modal, bukan pelayan komunitas arus bawah. Di sini, LSM menjadi gerakan politik yang relatif sama perannya dengan partai politik.
Atau kalau tidak, LSM yang mengklaim dirinya sebagai gerakan “murni” non politik justru memahami kurang tepat posisinya. Yang semestinya menjadi oposan pemerintah malah menjadi “lawan pemerintah.”
Idealnya memposisikan diri sebagai oposan adalah mengkritisi kebijakan yang keliru dan mendukung kebijakan yang pro kesejahteraan bersama. Bukannya berusaha mencari-cari kelemahan pemerintah atau elit politik dan menngingkari kinerja positif mereka.
Dengan kata lain, posisi LSM kalau tidak terlalu pragmatis- oportunis ya terlalu radikal-fundamentalis.  Kedua posisi ini tentunya kurang menguntungkan dalam jangka panjang penguatan gerakan komunal.
Yang memilih golput selayaknya menjadikan golput itu sendiri sebagai titik tolak yang tidak semata pilihan emosional sesaat. Apalagi karena dilatar belakangi oleh kepentingan politik, misalnya jagoannya tidak lolos seleksi pencalonan, tidak diikutsertakan dalam barisan pemenangan kandidat, ataupun tidak mendapat “berkah ekonomi” yang lain dari pelaksanaan pemilu.
Golput bisa menjadi momentum motivasi penguatan kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan langgeng di luar pengaruh elit politik. Eksistensinya justru akan lebih kuat pasca-pemilu jika paradigmanya dipahami sebagai pilihan untuk meminimkan peran pemerintah secara perlahan tapi pasti. Kemudian,  pada saat yang sama bergerak melalui komunitas-komunitas yang kuat dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi dan faktor-faktor kesejahteraan lainnya.
Ini bukan teori semata! Pernah suatu ketika di masyarakat Barat abad 20 terjadi pemisahan signifikan gerakan politik dan gerakan ekonomi dan komunitas.
Di tengah atmosfer industrialisasi waktu itu, kebutuhan masyarakat menjadi apa yang disebut Molgan (1994) semakin differentiated. Kebutuhan masyarakat saat itu semakin beragam. Ketika itu bermunculan sejumlah besar kelompok independen dalam masyarakat yang mampu meminimkan ketergantungan kepada pemerintah. Hal ini didukung oleh penguatan ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah,  dan hasrat kebebasan dari keterikatan pada elit.
Positifnya, mereka bergerak secara sistematis melalui komunitas di luar bayang-bayang elit politik. Keberhasilan yang paling menonjol pada masa itu adalah berkurangnya secara signifikan dominansi pemerintah dalam “menciptakan” kesejahteraan masyarakat. Menjadi kenyataan bahwa percepatan masyarakat mandiri ternyata bisa lebih akseleratif ketika peran pemerintah tidak menjadi sandaran utama untuk meningkatkan kesejahteraan.
Orang-orang yang memilih golput dalam pengalaman pemilu di Indonesia cenderung bergerak secara individual. Gerakan individu, walaupun jumlahnya banyak, tetap saja tidak akan membawa perubahan mendasar. 
Indra J. Piliang (2011), menyebut kondisi  ini dengan “oposisi berserak” sebagaimana dulu terjadi di masa Orde Baru. Publik belum menemukan cara untuk membentuk organisasi. Lebih jauh Indra J. Piliang mengungkapkan bahwa harus mulai ada kelompok-kelompok yang berhimpun membentuk organisasi atau sekadar perhimpunan (pemilih, hobi, atau pun profesi). 
Merekalah yang nanti menjadi semacam kelompok kepentingan, bukan lagi sekadar kelompok penekan (pressure group). Era kelompok penekan sudah tidak relevan lagi. Kalau pun diperlukan, hanya bersifat sesaat . Dalam praktek yang sebenarnya, kelompok kepentingan (interest group) akan lebih memiliki daya juang yang tinggi, dibandingkan dengan sekedar kelompok penekan.
Pada akhirnya, golput layak dipahami bukan pada eksplisitas golputnya saja. Tapi dalam golput ada realitas berkurangnya minat masyarakat pada politik, gerakan individu “non politis” yang masih seperti gerak buih di lautan, dan motivasi untuk membangun komunitas sebagai sparing partner (bukan lawan) pemerintah dalam rangka percepatan kesejahteraan bersama. 
Kemudian daripada itu, perjuangan komunal bukan dimulai ketika pemilu akan berlangsung, semisal kemunculan komunitas-komunitas abal-abal dalam suasana kampanye. Setelah pemilu usai maka usai pula eksistensi mereka dari permukaan.  Justru, kalau mau memulai, mulailah pasca-pemilu. Bukan begitu? *** (Penulis adalah Dosen  /Pembina Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Politeknik Negeri Batam)