Tasawuf adalah kesucian (shafa’) dan penyaksian (musyahadah). Tasawuf adalah realisasi firman Tuhan, “Beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya” (QS. al-Syams: 9). Tasawuf adalah aplikasi firman-Nya, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata untuk/karena Allah, Tuhan semesta alam” (QS. al-An’am: 162). Tasawuf adalah wujud nyata dari firman-Nya, “Allah menyatakan bahwa tiada tuhan selain Dia. Malaikat serta orang-orang berilmu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Dia Yang Maha Menegakkan Keadilan, Maha Perkasa, lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 18). Tujuan tasawuf adalah ‘bersaksi/menyaksikan bahwa tiada tuhan selain Allah’.
Namun, tasawuf tak kenal buku!. Ketahuilah, tasawuf tidak dapat dijangkau dengan banyak membaca. Keagungan tasawuf hanya dapat ditempuh dengan kebeningan jiwa serta ketajaman mata hati. Bagaimana itu terjadi?. Benarkah membaca dan mengkaji dapat meraih tasawuf?. Benarkah mengenal alam ghaib secara langsung cukup dengan sebuah penelitian ilmiah?. Lantas apakah pengetahuan manusia tentang kecerahan hakikat bergantung pada wawasan intelektual dan hasil risetnya?. Tidak, seribu kali tidak!.
Sesuai pengalaman spiritualnya, Imam Ghazali mengemukakan bahwa ia telah membaca banyak buku tasawuf, tapi satu-satunya penyimpulan yang kemudian ia lahirkan hanyalah bahwasanya ketinggian ilmu para wali tidak dapat diperoleh melalui belajar (ta’allum) dan mendengar (sama’), melainkan dengan mencicipi (dzauq), menjiwai (hal), dan bertukar sifat (tabaddul shifat).
Sungguh betapa besar perbedaan antara “mengenal definisi ‘sehat’ dan ‘kenyang’ serta sebab-sebab maupun syarat-syarat keduanya”, dan “merasakan sehat dan kenyang itu sendiri”. Betapa besar pula perbedaan antara “mengenal kondisi mabuk” dan “merasakan mabuk itu sendiri”. Bahkan sungguh, sang pemabuk justru sama sekali tidak mengenal apa itu kata ‘mabuk’. Beda halnya dengan seorang dokter ketika sakit, ia sangat menguasai ilmu kesehatan, namun ia sendiri kehilangan kesehatan itu.
Demikian pula, mengenal esensi zuhud, syarat-syarat, dan sebab-sebabnya, tidak sama dengan meresapi dan menghayati sifat zuhud itu sendiri dalam keseharian. Para sufi adalah arbabu ahwal (para penikmat rasa), bukan ashhabu aqwal (para penganalisa). Apa yang dapat diraih melalui belajar, mudah saja didapatkan. Capailah ilmu-ilmu yang hanya diperoleh dengan mencicipi dan merasakan.
Ibnu Sina saja ketika mendefinisikan sebuah ‘jalan kecerahan sehingga hati manusia menjadi cermin yang berkilau’, ia menyatakan bahwa jalan itu tidak dapat ditempuh melalui membaca dan meneliti, akan tetapi melalui kemauan tulus serta kesungguhan ganda. Bahkan Abu al-Hasan al-Nuri berani menegaskan bahwa tasawuf tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘ilmu’, sebab ‘ilmu’ dapat dicapai dengan belajar, sedang tasawuf tidaklah demikian. ‘Ilmu’ tidak perlu digapai melalui ‘penyucian jiwa’ sebagaimana tasawuf. Tentulah ‘ilmu’ yang dimaksud al-Nuri adalah semata-mata ‘ilmu kasbi‘ dan bukan ‘ilmu ladunni‘. Tasawuf 100% ilmu laduni, maka bila diperoleh melalui buku dan sebagainya, bukanlah tasawuf namanya!.
Demikianlah wasiat al-’Arif Billah al-Imam al-Akbar Sidi Syaikh Abdul Halim Mahmud Ra., Sang Grand Sheikh of el-Azhar periode 1973-1978, disampaikan melalui catatan hatinya, “al-Madrasah al-Syadzuliyah‘, terbitan Darul Ma’arif Cairo, cetakan ketiga, hal. 424 s/d 425 dan hal. 438.
Syaikh Abdul Halim Mahmud lahir pada 12 Mei 1910 di Prov. Syarqiyah Mesir. Setelah menamatkan studi di al-Azhar, beliau berhasil juga meraih gelar Doktor dengan predikat Cumlaude dari sebuah universitas terbesar di Prancis. Sewaktu duduk di bangku SD pun ia pernah lulus satu-satunya ketika mengikuti tes masuk SMA tanpa harus melalui jenjang SMP!.
Selain Guru Besar Psikologi & Filsafat dan Dekan Fak. Ushuluddin di Univ. al-Azhar, beliau juga pernah menjadi Dekan Fak. Imam Ghazali di Damaskus (1964), Sekjen Islamic Research Academy (1969), Wakil al-Azhar (1970), dan Menteri Wakaf (1971). Setelah itu terpilih menjadi Grand Sheikh of el-Azhar hingga meninggalkan dunia yang fana pada pagi Selasa, 17 Oktober 1978. Ketika itu, seluruh umat Islam benar-benar merasa kehilangan sosok imam yang luar biasa. Semoga Tuhan melimpahkan keberkatan beliau kepada kita semua, atau kepada yang mau saja!. Amin.