Oleh: Yohanes Suhardin
Indonesia layak dijuluki negerinya para koruptor dengan alasan, pertama kasus korupsi di Indonesia tidak pernah berkurang justru sebaliknya dari tahun ke tahun cenderung meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Kedua; hukuman penjara dan denda terhadap koruptor sangat ringan dan rendah, jauh di bawah tuntutan jaksa penuntut umum. Ketiga; umumnya koruptor di Indonesia menjalani masa hukuman penjara antara 1,5 – 5 tahun penjara. Keempat; setelah bebas dari masa hukuman, koruptor tetap menikmati hasil korupsi karena tidak semuanya disita pengadilan. Denda yang harus dibayarkan kepada negara relatif ringan, umumnya di bawah Rp 500 juta.
Faktor hukuman penjara yang ringan serta denda yang rendah terhadap koruptor merupakan salah satu penyebab makin maraknya korupsi di Indonesia. Kita sering menyaksikan kejadian yang aneh pasca pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis baik hukuman penjara maupun denda, koruptor tersenyum bangga sambil bersujud syukur atas vonis yang ringan dan denda yang rendah. Seolah-olah menyampaikan ucapan terima kasih kepada majelis hakim atas vonis yang menguntungkan dirinya. Bukan hanya itu, di luar pengadilan telah berjubel massa yang akan menyambut sang koruptor dan selanjutnya dielu-elukan bak pahlawan.
Hukuman yang jauh dari rasa keadilan (sense of justice) itu tidak memberikan efek jera bagi pejabat-pejabat publik yang berpeluang dan berpotensi untuk melakukan korupsi (baca: Penegakan Hukum Minimalis, Analisa, 19 Pebruari 2013, halaman. 24). Jadilah negeri ini surganya para koruptor. Ke depan, tidak akan ada keraguan apalagi menjelang pemilihan anggota legislatif dan presiden 2014 untuk melakukan korupsi. Sebab, meskipun melakukan korupsi miliaran rupiah, tetapi hukuman yang bakal dijalani sangatlah ringan dengan berbagai pendekatan, sikap dan perilaku seperti meneteskan air mata dalam persidangan yang mengundang simpati majelis hakim.
Benar kata Jerome Frank bahwa hukum ditemukan dalam putusan-putusan pengadilan yang bukan saja atas dasar pertimbangan kaidah-kaidah hukum, tetapi juga prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan juga simpati atau antipati pribadi. Faktor simpati hakim kepada terdakwa yang pandai bersandiwara boleh jadi menjadi salah satu pertimbangan hakim Tipikor.

Abaikan Keadilan Substansif
Menyimak vonis hakim Tipikor yang pada umumnya ringan, mengindikasikan bahwa hakim hanya terfokus pada keadilan formal yang berarti mengabaikan keadilan substansif (materiil). Model hakim yang mengutamakan keadilan formal semata itulah yang disebut hakim yang menggunakan kaca mata kuda, yang tidak melihat ke kiri, ke kanan apalagi ke belakang dan hanya boleh melihat ke depan (baca: kepastian hukum dan keadilan formal).
Padahal era hukum modern sudah banyak direduksi untuk disesuaikan dengan tuntutan global termasuk di dalamnya keadilan dalam konteks global seperti keadilan substansial yang sarat dengan nila-nilai hak asasi manusia. Oleh karena itu, seyogianya hakim sudah harus meninggalkan habitus lama ala kaca mata kuda untuk selanjutnya mengedepankan aspek keadilan substansial. Hal ini sesuai dengan pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick yang banyak diikuti hakim-hakim moderat bahwasanya dalam bingkai pemikiran hukum yang lebih responsif untuk keadilan yang membumi, maka seharusnya hakim mampu mengenali keinginan publik dan realitas sosial, sehingga putusannya rasional dan berkeadilan hukum. Relevan dengan itu H. L. A. Hart menyatakan bahwa hakim hendaknya mempertimbangkan bahwa kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang.
Jika hakim mengedepankan kebenaran undang-undang dan bukan kebenaran prinsip keadilan (substansif) yang mendasari udang-undang berarti pengadilan bukan lagi merupakan rumah keadilan, melainkan sekadar memastikan penerapan undang-undang dan prosedurnya. Kondisi yang demikian oleh Satjipto Rahardjo dikatakan bahwa pengadilan bukan lagi merupakan “arena keadilan”, melainkan menjadi “arena para gladiator hukum”, seperti advokat, hakim dan jaksa. Tentu saja yang menikmati hasil permainan para gladiator hukum itu adalah koruptor.
Ilustrasi mengenai hal tersebut di Indonesia dapat kita katakan bahwa banyak terjadi pada pengadilan mengenai perkara-perkara korupsi. Pada saat masyarakat meyakini, bahwa seseorang melakukan perbuatan korupsi, akhirnya harus menerima kenyataan lolosnya orang tersebut dari jaring hukum. Mengapa bisa lolos dari jaring hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini kita merujuk kepada Honore de Balzac sebagaimana dikutip Philipe Sand bahwa hukum di dunia sudah berubah menjadi seperti sarang laba-laba yang dalam bahasa Prancis disebut, “Les lois sont des toiles d’araignees a tavers lesquelles passent les grosses mouches et ou restent les petites”, hukum, seperti sarang laba-laba, menangkap serangga-serangga kecil dan membiarkan yang besar-besar lolos.
Demikianlah yang terjadi di Indonesia saat ini, jaring hukum ibarat sarang laba-laba yang tentu saja tidak mampu menjaring serangga-serangga besar (baca: koruptor). Maka hukum dan pengadilan mendapat julukan baru sebagai “pelabuhan yang aman” bagi para koruptor, sehingga Indonesia dijuluki “negerinya para koruptor”. (Penulis adalah Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Unika St. Thomas Sumatera Utara Medan. — Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang)(H.Analisa)