Oleh: Tahan Manullang, SH. 
Tragedi kecelakaan kerja yang terjadi di fasilitas bawah tanah PT Freeport Indonesia sungguh sangat patut untuk disayangkan. Dikabarkan bahwa sampai saat ini masih ada karyawan yang terjebak dalam reruntuhan fasilitas Big Gossan, yang berada pada kedalaman 800 meter tersebut. Celakanya, upaya penyelamatan ini tidak bisa berlangsung cepat karena harus dilakukan dengan secara manual. Penggunaan alat berat justru bisa memperparah keadaan fasilitas tersebut. Komunikasi dengan para korban pun terputus.
Situasi seperti itulah yang layak dipertanyakan. Bagaimana mungkin perusahaan tambang internasional sekelas Freeport tidak memiliki jalur evakuasi jika terjadi kecelakaan di fasilitas yang jauh berada di perut bumi.
Tak terbayangkan pula sampai kapan operasi penyelamatan itu bakal selesai jika hal itu dilakukan tanpa peralatan berat. Padahal kecepatan merupakan kunci keberhasilan penyelamatan seperti itu. Kita sulit membayangkan bagaimana ke-23 orang yang sedang menjalani pelatihan tentang standard operational procedure di terowongan bawah tanah itu bisa bertahan.
Kecelakaan di pertambangan seperti ini bukanlah yang pertama di dunia. Kita masih ingat runtuhnya tambang emas di Cile pada 2010. Sebanyak 33 pekerja akhirnya bisa keluar dalam keadaan selamat setelah terkubur di bawah tanah selama 17 hari. Hal itu karena di dalam tambang tersedia air, makanan, dan oksigen yang cukup untuk keadaan darurat.
Waktu itu Presiden Cile Sebastian Pinera harus mempersingkat lawatannya ke Kolombia dan tinggal di kemah dekat area tambang untuk memimpin operasi penyelamatan. Kondisi sebaliknya terjadi di Cina. Kecelakaan tambang di Negeri Tirai Bambu itu telah memakan korban ribuan jiwa akibat minimnya pengamanan. Masyarakat tentu tidak menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bermalam di terowongan Gossan guna menunjukkan perhatian pemerintah terhadap nasib para pekerja tambang yang mengalami kecelakaan ini.
Tapi kita juga tentu tidak ingin para pekerja tambang mengalami hal yang sama dengan di China, di mana kecelakaan tambang seperti dianggap hal biasa. Kecelakaan Freeport tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah harus membentuk tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan dengan melibatkan polisi dan pakar independen. Investigasi tersebut harus bisa membuktikan apakah cuaca buruk menjadi penyebab tunggal ataukah ada faktor kesalahan manusia dalam kecelakaan tersebut, termasuk konstruksi bangunan, persediaan peralatan dan bahan makanan dalam keadaan darurat, keberadaan jalur evakuasi, serta operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan.
Penyelidikan juga harus ditujukan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pengawas keselamatan kerja. Sayangnya, pemerintah terkesan tak terlalu serius menangani persoalan keselamatan kerja ini. Meskipun aturan soal ini tergolong banyak, rata-rata sanksi terhadap para pelanggarnya sangat ringan. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menetapkan, para pelanggar hanya dikenai hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda paling banyak Rp 100 ribu.
UU No. 23/1992 tentang Kesehatan lebih lumayan: hukuman kurungan paling lama 1 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 15 juta, sedangkan UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mencantumkan hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp 50 juta.  Pemberian santunan kepada korban luka maupun meninggal, dan perawatan bagi korban luka, jelas tak akan membebani Freeport. Tapi itu saja tidaklah cukup. Sanksi berat harus diberikan kepada Freeport agar kejadian serupa tak terulang.

Ironis
Harus diakui bahwa kekayaan alam sangatlah berlimpah di Papua. Tapi, ironisnya, kekayaan alam yang luar biasa itu ternyata tak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan yang diperoleh 2,3 juta penduduk Papua. Rakyat Papua sangat miskin. Riset terakhir Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, predikat daerah termiskin di Indonesia masih dipegang Papua. Tingkat kemiskinan di daerah Papua tercatat sebesar 31,11%, sementara tingkat kemiskinan nasional saat ini adalah 11,96%. Begitu pula dalam hal pendidikan dan pelayanan kesehatan, Provinsi Papua juga berada di nomor buntut dari seluruh provinsi di Tanah Air.
Makanya tidak heran jika dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Papua kini berada di urutan terbawah dari seluruh provinsi. Dengan tingkat keterisolasian yang sangat tinggi, Papua akhirnya benar-benar menjadi sebuah provinsi terasing di republik ini. Ini sama sekali tak bisa diterima oleh sebagian rakyat Papua. Layaknya “tikus yang mati di lumbung padi”, sebagian rakyat Papua merasakan betul bahwa mereka seolah sedang dibiarkan “mati” di tengah alamnya sendiri yang kaya raya itu. Lihat saja, hingga saat ini penduduknya pun tidak pernah bertambah, tak pernah lebih dari 2,5 juta jiwa.
Berbagai penyakit, tak terkecuali AIDS, telah menjadi pembunuh mematikan bagi pertumbuhan populasi Papua. Mereka yang tak bisa menerima kenyataan inilah yang kemudian berhubungan dengan kaum intelektual, baik lokal, maupun di luar Tanah Papua. Situasi inilah yang juga digunakan oleh negara-negara asing untuk memprovokasi agar Papua memisahkan diri dari NKRI. Jadilah Papua, dalam 20 tahun terkhir, bagai bara api dalam sekam yang setiap saat menyala kemana-mana setiap saat. Untuk meredamnya, operasi militer TNI pun diluncurkan dan pospos TNI dibangun di mana-mana. Tapi, itu semua ternyata tak mempan.
Pendekatan kesejahteraan pun digulirkan dengan memberikan status Otonomi Khusus (Otsus) Papua pada sebelas tahun silam. Triliunan rupiah dikucurkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua. Lagi-lagi kebijakan Otsus juga ternyata meninggalkan luka yang amat dalam bagi rakyat Papua sendiri. Bagi orang Papua, status Otsus justru sangat menyakitkan karena menjadi kesempatan “orang Papua makan orang Papua”.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dana-dana Otsus ternyata lebih dikorupsi oleh para oknum pejabat pemerintahan setempat, sementara rakyatnya dibiarkan hidup melarat dalam kemiskinan yang akut. Itulah praktik ketidakadilan yang benar-benar nyata di Papua.
Inilah akar persoalan yang harus diselesaikan. Bukan soal keamanan, bukan sekadar kucuran dana Otsus Papua. Karena itu, solusi yang paling tepat adalah menciptakan keadilan bagi dan di Papua. Itu hanya bisa dilakukan dengan mengajak tokoh dan masyarakat Papua untuk berdialog terbuka soal diri mereka dan apa yang mereka kehendaki. Dalam dialog tersebut, tempatkan mereka setara, sehingga mereka merasa sederajat. Berbagai kasus seperti tragedy Freeport juga harus segera dituntaskan dengan bijak, jadi jangan hanya mengambil untung dari Papua, namun justru mengabaikan nasib mereka. (Analisa – Penulis adalah Direktur Alpiran Sumut)