Oleh: KISWORO DWI CAHYONO
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalsel (Walhi Kalsel) dan Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalsel

SEPERTI yang terjadi dengan odol yang kemudian melekat menjadi idiom untuk menyebut pasta gigi atau Honda untuk menyebut kendaraan bermotor roda dua, atau Kodak untuk menyebut foto. Demikian pula yang terjadi dengan kata gambut dalam masyarakat Banjar di Kalsel.

Gambut kemudian tak sekadar kata untuk menyebut jenis tanah dengan tingkat keasaman tinggi, sehingga sulit untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Kata gambut kemudian berkembang menjadi semacam ‘merek’ sesuatu. Lalu kemudian kita mengenal sebutan untuk sate gambut, beras gambut, padi gambut, itik gambut, dan Kecamatan Gambut di Kabupaten Banjar.

Kini gambut berkembang menjadi ‘jualan’ baru. Hal ini terjadi pascakunjungan Presiden Joko Widodo ke Kalsel pada tahun 2015. Kala itu kebakaran hutan dan lahan sedang tinggi-tingginya. Presiden memimpin seremoni penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di sekitar kawasan Bandara Syamsudin Noor.

Kala upacara sedang berlangsung, hampir seluruh lembaga, instansi, dan pejabat terkait datang dan memenuhi acara itu. Usai acara, Presiden meninggalkan lokasi menuju Banjarmasin. Namun berselang dua jam kemudian Presiden kembali ke lokasi upacara. Presiden tak menemukan satu orang pun di lokasi. Ia hanya menemukan semak belukar, hutan, dan lahan yang terbakar dan asap yang membubung tinggi.

Paling tidak kejadian itu turut memicu lahirnya kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1/Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia (BRG) pada 6 Januari 2016. BRG adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. BRG bekerja secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan.

Berdasarkan Perpres itu BRG kemudian bekerja melalui berbagai instrumen dan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain –termasuk NGO– di tujuh provinsi (Riau, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Papua, dan Jambi). Di Kalsel, TRGD mengerjakan berbagai program. Dari pelatihan, pembentukan desa peduli gambut, membangun sekat kanal dan sumur bor, dan lokakarya. Terakhir, pada akhir April, TRGD Kalsel menjadi tuan rumah Jambore Masyarakat Gambut. Jambore digelar di Desa Kiram, Kabupaten Banjar.

Kebijakan dan pekerjaan TRGD Kalsel ini kemudian oleh sebagian orang diyakini sebagai hal baru dalam pengelolaan dan pemulihan ekosistem gambut. Namun, sesungguhnya tak ada hal baru dalam soal ini. Yang terjadi justru, kebijakan TRGD Kalsel terkesan menjauhi kearifan lokal dan keunggulan para petani Banjar dalam hal menaklukkan lahan gambut dan menjadikannya sebagai lahan pertanian. Kalau pun kebijakan itu terkesan mendekat dan memelihara kearifan lokal dalam pengelolaan lahan gambut, itu tak lebih dari sekadar pengulangan dan copy paste dari yang telah dikembangkan selama ratusan tahun oleh para petani Banjar.

Betapa tidak, seperti yang ditulis Patrice Levang dalam ‘Ayo ke Tanah Sabrang’ (2003), selain orang Bugis, orang Banjar merupakan penakluk lahan gambut paling mumpuni yang pernah ada di dunia. Dalam hal pola pembukaan lahan baru melalui irigasi, pengembangan lahan pasang surut, pola tanam nonpasang surut serta pola perkebunan, yang dikembangkan para transmigran baik di zaman Hindia Belanda maupun ketika Orde Baru berkuasa, hampir seluruhnya merupakan copy paste (meniru) pola pengembangan lahan pasang surut dari teknik yang berhasil dikembangkan petani Bugis dan Banjar. Teknik ini sangat berguna karena lebih 20 persen permukaan pulau Kalimantan, Papua, dan Sumatera adalah rawa dan gambut.

Levang mendeskripsikan teknik Bugis dan Banjar tersebut yang kemudian diterapkan dalam program transmigrasi mulai Pelita I (1969). Adaptasi pemerintah terhadap teknik tersebut mengecewakan dalam banyak kasus. Walaupun ada unit pelaksana teknis yang berhasil, secara umum keadaan lahan pasang surutnya sangat parah.
Teknik yang dikembangkan petani Banjar dalam hal menaklukkan lahan rawa dan gambut sepertinya bukan hal yang luarbiasa. Namun, di dalamnya tergambar perjalanan psikologis, kearifan, dan sejarah pertanian Urang Banjar. Dalam hal penggunaan alat-alat pertanian saja, keunggulan petani Banjar sudah terlihat. Petani Banjar misalnya lebih memilih menggunakan tajak ketimbang cangkul untuk membersihkan lahan gambut.

Penggunaan tajak memiliki pesan tertentu. Tajak membuat lahan gambut terawat dan tak hancur. Karena itulah lahan yang dibersihkan dengan tajak tak membuat kadar asam yang tinggi dalam gambut terurai, sehingga tidak merusak dan bisa ditanami. Hal yang berbeda jika pembersihan lahan dilakukan dengan cangkul atau alat pertanian yang biasa digunakan para petani di Jawa.

Atau dalam soal pengendalian air pasang surut, petani Banjar tak bisa dikalahkan. Di kalangan petani di Nagara, Hulu Sungai Selatan misalnya, mereka punya teknologi pengendalian lahan pasang surut. Melalui teknik tertentu, mereka berhasil mengalirkan, memasukkan, dan mengeluarkan air berasam tinggi dari lahan yang akan ditanami. Hasilnya, dari lahan pasang surut itu, Nagara menjadi salah satu penghasil semangka, gumbili, tarung asam, dan padi yang luarbiasa.

Pertanyaannya kemudian, mengapa semua kearifan lokal petani Banjar itu seperti dilindapkan? Mengapa lembaga semacam BRG atau TRGD Kalsel tak belajar dari petani Banjar yang hebat itu dalam mengelola lahan rawa dan gambut? Sepertinya BRG dan TRGD Kalsel melalui berbagai kebijakan yang mereka laksanakan lebih berorientasi pada program dan proyek. Karena hampir semua kebijakan mereka terkesan menjauhi kearifan lokal petani Banjar dan memasukkan hal-hal baru yang sesungguhnya belum terbukti mumpuni.