Oleh : En Jacob Ereste
Surat ‘budaya’ Chris Komari, Chairman Parmadim yang dimuat Media Indonesia Online 6 Agusatus 2013 jelas ditujukan kepada sejumlah Calon Presiden (Capres) 2014 mendatang, menarik untuk disimak. Setidaknya, Surat ‘budaya’ untuk para Ketua Partai Politik  (Parpol) ini bisa menjadi penerang jalan menuju Pemilu 2014 bagi semua orang, baik yang sedang memepersiapkan diri untuk ikut bertarung maupun sekedar pendukung atau pemilih semata.
  Chris Komari mengungkapkan kejenuhannya karena mendengar setiap pidato kandidat calon presiden Indonesia yang tengah ancang-acang  mengikuti Pemilu 2014 selalu mengumandangkan keinginan untuk melalukan perubahan di Indonesia !  Setiap pidato dan kampanye anggota DPR RI dan DPRD  pun  ingin melalukan perbaikan bagi kesejahteraan dan nasib rakyat dan ingin  memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan rakyat Indonesia !
Dia juga mendengar setiap pidato dan kampanye para Ketua Partai Politik yang selalu mengumandangkan keinginan untuk melakukan perubahan di Indonesia menuju kondisi yang lebih baik  dan sejahtera ! Kalau memang begitu, menurutnya maka dia hendak mengajukan proposal kepada semua para Cpares 2014, serta para anggota DPR-RI/DPRD dan semua Ketua Partai Politik yang ada agar segera “menghapus ” 3 aturan di bawah ini, karena tidak fair dan tidak adil bagi rakya.
Aturan yang Chris Komari maksudkan itu ialah  ;  Pasal 6A, Ayat 2, UUD 1945. Penegasannya, bahwa (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.  Kasrenanya, peluang bagi Capres Independent harus dibuka dan harus terbuka bagi setiap warga negara Indonesia, karena itu Pasal 6A, Ayat 2, UUD 1945 ini wajib dihapus. Pasal ini telah menutup jalan bagi rakyat biasa untuk ikut maju menjadi Capres di Indonesia.
Isi amandement Konstitusi seperti itu tidak fair dan tidak adil bagi rakyat biasa, karena hanya menguntungkan petinggi-petinggi partai politik. Maka itu sepatutnya diganti atau dihapuskan.  Kecuali itu,  UU No  42 tahun 2008, Pasal 9 menyatakan bahwa, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Isi UU Pilpres ini menurut Chris Komari adalah hasil akal-akalan partai politik, karena itu UU ini juga wajib di hapuskan, karena tidak adil dan discriminative sifatnya terhadap rakyat biasa. Secara umum,UU No.42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menjelaskan, Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Kecuali itu, UU NO 42/2008 juga menegaskan bahwa; Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan.
Kekuasaan partai politik – yang seharusnya mengaksentuasikan dirinya sebagai wakil rakyat – justru membajak kedaulatan rakyat. Itulah yang tercermin dalam persayaratan untuk bisa melenggang jadi calon presiden di Indonesia harus memperoleh dukungan dari partai politik, bukan dari rakyat. Karenanya calon independen untuk presiden tidak memperoleh tempat. Intinya, rakyat harus memilih apa yang menjadi selera partai. Karena partai politik yang menentukan Capres yang akan dipilih oleh rakyat.
Monopoli parpol pun tampak dari persyaratan yang mengharuskan memiliki dukungan suara sebesar 20 persen di DPR. Akibatnya bagi yang tidak cukup harus melakukan koalisi, meski ideologi partai antara yang satud engan yang lain tidak sama, atau bahkan saling berhadapan. Ketimpangan dalam sistem politik yang diperkukuh oleh UU ini tidak mungkin dapat mendorong perubahan menuju perbaikan kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat. Justru posisi rakyat akan semakin tersudutkan hingga tidak berdaya menghadapi kekuasaan yang domonopoli para elite politik di negeri ini.
Penolakan terhadap kedaulatan rakyat memang tidak berwarna hitam putih dilakukan, namun tih cukup terang benderang mereka praktekkan, sekalipun sadar bahwa semua itu bertentangan atau bahkan berseberangan dengan kepentingan maupun kehendak rakyat. Dan para elite politik pun paham bila dalam arti formalitas belaka kedaualatan itu masih ada di tangan rakyat, tetapi sesungguhnya kedaulatan itu sesungguhnya sudah sepenuhnya berada dalam gengaman para politisi kita yang culas, rakus dan zalim.
Ajakan Chris Komari melakukan boikot terhadap Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden, hanya mungkin bisa dilakukan secara diam-diam, seperti apa yang dusah dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya “Rakyat tanpa Partai”. Sebab ajakan boikot yang dilakukan secara terang-terangan  dengan sendirinya, sebab aturan mainnya sudah diatur sedemkikian rupa oleh para politisi culas kita – berapa pun yang memilih —  keabsahan Pemilu atau Pemilukada tetap saja sah. Ibarat kata, seperti diungkapkan Roji’i penduduk asli bantaran Ciliwung, meski yang memilih dalam pemilu itu cuma mereka dan keluarga para Capres atau Caleg itu saja yang melakukannya,  Pilpres dan Pileg itu tetab dianggap sah. Pendek kata, rakyat dibuat tidak bisa apa-apa, karena rakyat tidak mau berbuat untuk melakukan perbaikan terhadap dirinya. Karena perbaikan tidak bisa diharap dilakukan oleh orang lain. Apalagi mereka jelas-jelas memiliki kepentingan sendiri, kepentingan yang tidak sama dengan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat adalah kesejahteraan yang berkeadilan, sedangkan kepentingan elite politik kita adalah kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah. Tidak perduli bagaimana caranya, termasuk membajak hak-hak rakyat. ***