Keriuhan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menentukan awal masuk bulan Ramadhan – berpuasa — selalu saja terkesan menghebohkan hampir setiap tahun, persis seperti repotnya pemerintah saat menghadapi Hari Raya Idul Fitri, akibat kenaikan harga kebutuhan pokok serta keperluan lainnya. Begitu juga repotnya pemerintah mengatasi masalah angkutan mudik, seperti tidak pernah mampu dirumuskan cara atau formulanya keriugahn yang sama tidak haruis berulang, sehingga mengesankan seperti ungkapan lapuk yang mengatakan ‘selalu tersandung pada batu yang sama’.
Kerepotan yang sama – seperti pada Ramadhan tahun-tahun sebelumnya – pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu dibuat sibuk oleh para peminta-minta. Sehingga banyak diantara para peminta-minta itu yang ‘sempat dikandangkan’ dalam Panti Sosial  hingga tidak mungkin melakukan usahanya meminta sedekah. Padahal, tradisi sedekah sendiri merupakan anjuran yang terpuji bila dilakukan umat Islam, terutama pada bulan Ramadhan.
Masalahnya, mengapa MUI harus demikian repot ikut menentukan sah tidaknya waktu mengawali bulan Ramadhan.  Lalu mengapa pemerintah terkesan jadi risi melihat keberadaan para peminta-minta yang memenuhi ibukota ? Dan mengapa setiap menjelang Ramadahn dan Hari Raya Idul Fitri pemerintah harus kembali sibuk mengatasi berbagai masalah yang terus menerus berulang itu ?
Andainya saja pemerintah atas legalisasi yang dilakukan MUI menentukan awal ramadhan jatuh pada hari Senin atau Rabu, apa sih masalahnya yang dianggap begitu penting sehingga nyaris semua instansi pemerintah terkesan sibuk – bahkan gaduh – bukan hanya member komentar, tetapi juga mengaitkan beragam kegiatannya dengan pelaksanaan puasa ?
Ketika pemerintah  ikut campur dalam urusan yang sesungguh bias dilakukan oleh warga masyaralat sendiri – seperti menentukan awal bulan Ramadhan yang merupakan waktu sebelum penuh Umat islam menunaikan Ibadhah pusa – seakan-akan pelaksanaannya tidak akan beres manakala tidak ditentukan oleh pemerintah melalui otoritas – atau perpanjangan tangan MUI.  Kalau pun ada kepentingan pemerintah untuk ikut campur dalam menentukan awal memulai bulan ramadhan , itu semua hanya untuk mempunyai patokan dalam menentukan hari libur yang terkait dengan para pegawai negeri, Polri dan TNI.
Urgensinya pemerintah menentukan awal bulan Ramadahan bagi rakyat tidak lebih penting dari upaya menajaga stabilitas harga bahan pokok dan keperluan lainnya agar tidak naik saat menjelang bulan Ramadhan. Karena kalau cuma untuk menentukan awal bulan Ramadahan warga bangsa Indonesia cukup gampang melakukannya. Kecuali itu, kapan saatnya warga masyarakat mau memulai dan mengakhiri bulan Ramadahan, semuanya lebih bersifat pribadi dan sepenuhnya merupakan otoritas umat Islam.  Lain halnya dengan masalah sembako, kesulitan memperoleh tiket mudik atau upaya mengatasi kemacetan yang terus menerus berulang, tanpa pernah memiliki solusi yang jitu dari pemerintah untuk mengatasinya. Karena masalah waktu pelaksanaan puasa adalah bagian dari ibadhah yang sangat pribadi sifatnya.
Berbeda dengan masalah distribusi sembako, jalan mudik yang macet, itu semua semestinya merupakan tugas dan kewajiban pemerintah menjaganya agar jangan sampai menimbulkan m asalah bagi masyarakat, namun realitasnya, sama seperti keberadaan rakyat yang meminta-minta, justru diposisikan sebagai manusia usiran. Padahal keberadaan kaum  papa itu justru merespon tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan Ibadhah kaum Muslimin pada bulan Ramadhan. Pada bulan yang penuh berkah ini, umat Islam berlomba-lomba member sedekah.  Bukankah keyakinan dalam Islam bahwa banyak member sedekah pada bulan Ramadhan ini ganjarannya akan berlipat ganda memperoleh pahalanya dari Allh SWT ?
Jika sungguh mau merenungkan eksistensi kaum dhuafa dan musthada’afin di Indonesia, sesungguhnya mereka adalah produk dari pengabaian pemerintah yang tidak menajalankan amanat UUD 1945, bahkan fakir miskin dan orang terlantar itu sepetutmnya dijamin atau dipelihara oleh Negara. Makna memelihara disini bukan untuk dilestarikan agar mereka menjadi warga masyarakat miskin dan susah secara abadi, namun harus dan wajib mendapat perhatian sebesar-besarnya, sehingga mereka dapat keluar dari kondisi miskin dan serba kesusahan itu.
Mengejar-ngejar kaum papa pada bulan Ramadhan justru terkesan telah menjadi bagian dari tradisi kalangan pemerintah. Baik pemerintah pusat – Jakarta – maupu pemerintah daerah. Masalahnya, mengapa pemerintah harus keberatan sehingga harus melakukan ‘pembersihan’ dari keberadaan fakir miskin yang meminta-minta sedekah itu ? Adakah pertimbangannya karena akan membuat malu pemerintah yang tidak mau menyantuni mereka. Sehingga bias hidup layak sebagaimana warga masyarakat yang lain ?
Munculnya banyak fakir miskin pada bulan Ramadhan seyogya dapat dipahami sebagai respon terhadap kelapangan hati umat Islam untuk menyempurnakan ibadah puasanya dengan banyak member sedekah – atau bahkan santunan – yang selama ini tidak dilakukan pemerintah. Perlakuan terhadap para peminta-minta itu – dengan melakukan penangkapan dengan alasan untuk dilakukan pembinaan – jelas tidak sudah berulang kali dilakukan namun selalu gagal, karena tidak memberikan solusi apa-apa, kecuali melakukan penekanan-penekanan secara psikologis maupun fisik, sehingga setiap kali menjelang bulan ramadhan mereke kembali bermunculan untuk sekedar menyambut kebaikan hati umat Islam untuk member sedekah.
Sungguh aneh, rakyat miskin menerima sedekah dari rakyat yang agak lebih beruntung – atau bahkan mereka yang terbilang kaya raya memiliki kelebihan harta dan benda – mengapa pemerintah menjadi keberatan,s ehingga harus mengerahkan sejumlah aparat mulai dari Satuan Polisi Pamong Praja hingga TNI dan Polri ? Adakah pekerjaan yang dianggap lebih baik dari itu sungguh tidak lagi ada di republic ini. Rasanya – sebagai bagian dari umat Islam – penulis sendiri merasa keberatan, atau bahkan menjadi miris. Sebab tidak cukup alasan bagi aparat pemerintah melakukan kebijakan seperti itu, manakala sebelumnya tidak member jalan kelaur agar rakyat miskin bisa terbebas dari kemiskinan yang menderanya.
Karena itu, melarang atau bahkan melakukan penangkapan terhadap  kaum ‘gepeng’ – gelandangan dan pengemis – sungguh tidak bijak, lantaran itu artinya bisa berarti melarang umat islam member sedekah untuk umatnya yang lain, yang tentu saja dianggap perlu membagi sedikit harta atau bendanya dalam bentuk yang lain, agar kaum dhu’afa itu dapat juga menikmati apa yang selama ini, meski tetap dalam bentuk dan batasan yang sederhana saja. Jika pun ada diantaranya yang hendak menjadikan profesi mengemis sebagai pekerjaan, apalah salahnya selama pemerintah sendiri tidak mampu memberi dan menyediakan lapangan kerja.
Sebab pada dasarnya, tidak seorang pun didunia ini mau menjadikan dirinya pengemis. Orang banyak menjadi pengemis karena disebabkan oleh kondisi dan situasi yang tidak member peluang untuk memperoleh pekerjaan yang memungkinkan orang tersebut memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup dirinya, anak, istri mau[un anggota keluarganya yang lain. Idealnya sungguh begitu, bukan hal yang berlebihan bila orang miskin itu pun mempunyqai keinginan agar dirinya dapat juga menyantuni sejmlah anggota keluarganya, tidak hanya sebatas anak dan istrinya semata. Kalau dia masih bestatus bujangan atau laying, bisa saja yang bersangkutan pun memiliki keinginan untuk menyantuni – atau membantu saudaranya yang lain – termasuk orang tuanya sendiri.
Artinya, keberadaan orang yang tergolong fakir miskin itu sesungguhnya tidaklah ia sendiri kehendaki. Karena yang bersangkutan pun ingin hidup lebih baik, sempurna dan memperoleh penghargaan serta penghormatan dari orang lain – setidaknya dari kerbata dan sahabat yang mampu dia santuni, meski dalam takaran yang masih terbatas. Oleh karena itu, sikap pemerintah maupun MUI – yangs empat ‘mengharamkan’ keberadaan para peminta-minta di Indonesia ini – pasti lebih bijak manakala diarahkan untuk mengruus masalah yang lebih urgen dihadapi masrakat. Mulai dari harga sembako yang gonjang-ganjing pada saat menjelang bulan ramadhan, hingga arus mudik yang macet. Pekerjaaan seperti itu agaknya lebih halal dilakukan, karena merupakan amanah Pancasila dan UUD 1945. ***