Apa yang tidak terlambat dari pemerintah, sudah masuk bulan puasa pun izin impor daging belum juga bias diperoleh, sehingga harga daging di pasar lokal menjadi kehebohan nasional. Lalu semua menteri seperti berlomba-lomba member komentar, akibatnya warga masyarakat kebanyakan semakin jenuh dan muak dengan beragam komentar yang mengesankan ikut budaya pencitraan untukmenggamit posisi pada Pemilu 2014.
Sungguh aneh dan menggelikan, komentar Menteri BUMN Dahlan Iskan menilai keterlambatan Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam merealisasikan impor daging tahun ini disebabkan sulitnya faktor perizinan . Sebagai pejabat Kementerian BUMN, Dahlan Iskan menginginkan daging impor Bulog bisa tiba sebelum puasa.  Karena Bulog sendiri sudah mengajukan izin tiga bulan sebelum Ramadhan tiba. Tapi realitasnya, harga daging di berbagai pasar lokal ter;anjur melambung sebelum Ibahdah puasa di Indonesia dimulai. Bahkan pada hari kedua puasa, masalah daging menjadi topik nasional pembicaraan meluas dalam acara khusus televise di Indoneia.
Pertanyaan sinis dan penuh kejengkelan pun bermunculan. Sebenarnya siapa sih instansi yang menjadi penghambat pemberian izin impor daging dan barang kebutuhan sejenisnya itu, sehingga harga di pasar lokal tidak sampai terkesan adanya kesengajaan dijadikan “komoditas politik murahan” pemerintah, hingga seolah-olah izin impor daging itu harus diperoleh dari malaikat di sorga ? Lalu bagaimana dengan otoritas pemerintah sendiri.
Adakah hambatan  izin impor daging ini merupakan contoh keterlibatan pemerintah sendiri dalam sindikat perdagingan di Indonesia, karena pemerintah pun ingin menangguk keuntungan bukan bukan hanya sebatas ekonomi dan politik dari impor daging nasional kita ?
Lalu patutkah Bulog mendapat tudingan sebagai bagian dari instansi yang kalah atau dimandulkan, sehingga izin ompor yang diajukannya tidak kunjung keluar sampai waktu memasuki bulan puasa. Padahal, sudah menajdi pengetahuan umum bila kebutuhan konsumsi daging pada bulan ramadhan akan semakin meningkat. Dan ketika Bulog didesak untuk mendatangkan daging impor dengan cepat untuk memenuhi kebuthan pasar lokal, tuiding menuding pun antara instansi pemerintah Indonesia semakin kusut. Akibatnya, tidak patutkah bila warga masyarakat kebanyakan. Sesungguhnyua kerumitan yang dialami rakyat banyak sebetulnya disebabkan kegenitan pemerintah yang asyik dengan dirinya sendiri, karena tidak sungguh-sungguh hendak berbuat demi rakyat.
Pengakuan Menteri BUMN bahwa masalah perizinan merupakan problem yang selalu dihadapi oleh instansi yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah, maka dapat segera dibayangkan jika perizinan yang diharap oleh para importer bahan kebutuhan lainnya untuk memasok kebutuhan nasional. Agaknya, pemerintah sendiri mremang yang membuat kekisruhan dalam usaha menstabilkan harga kebutuhan pokok di pasar lokal, termasuk upaya pemasok dari dalam negeri sendiri yang menjadi tersendat-sendat.
 Bila sebelumnya pasar local dihebohkan oleh harga bawang putih yang melambung dan mencekik rakyat, lalu harga cabai dan jengkol pun harus menjadi topic pembicaraan dalam rapat cabinet, lalu bagaimana dengan masalah ekonomi yang lebih makro sifatnya hingga masalah kebijakan politikluar negeri maupun diplomasi kebudayaan kita yang semakin melorot di mata dunia ?
Tidaklah bias disalahkan, bila akhirnya rakyat banyak semakin percaya bahwa pemerintah sebetulya tidak pernah menaruh perhatian untuk mengatasi masalah rakyat banya, Pe,merintah sangat terkesan dengan keasyikannya sendiri memelihara dan melanggengkan kekuasaan. Celakanya kekluasaan  yang hendak dilanggengkan itu ditempuh dengan cara mengeruk banyak uang dari berbagai sumber Negara, untuk kemudian membayar harga-harga politik yang dibuka melalui pasar bebas. Akibatnya, inilah sebabnya rakyat pun tergiring mamasuki pola budaya kapitalisme yang dikembangkan, sengaja atau tidak sengaja oleh pejabat Negara yang ada.
Pembiaran terhadap masalah dan penderitaan rakyat banyak, tidak hanya cdapat dilihat dari perilaku serupa di atas. Pembiaran terhadap derita rakyat yang terkena dampak lumpur Lapindo Berantas hingga pengungsi Sampang yang berbulan-bulan lamanya terlantar di tempat pengungsian adalah dosa yang tidak terampunkan. Karena rakyat telah member mandate sepenuhnya kepada pemerintah – atas nama Negara – untuk melaksanakan perlindungan maupun pembelaan terhadap rakyat dari berbagai bentuk penjajahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam berbagai forum diskusi dan seminar, topic penjajahan model baru – seperti yang diisyaratkan Soekarno – bahwa bangsa Indonesia akan menghadapi masalah kolonialisme yang dilakukan oleh bangsanya sendiri.
Jika kedunguan dipahami banyak orang sebagai sifat dasar dari binatang bernama keledai, adakah antisipasi yang yidak kunjung mampu dilakukan pemerintah – hanya untuk mengantisipasi harga yang selau berulang melonjak saat menjelang bulan ramadhan misalnya tidak mampu dicarikan formulanya ? Adakah kesengajaan dengan cara melakukan pembiaraan pada warga masyarakat yang akan menghadapi tahun ajaran baru untuk sekolah anak-anak di Indonesia tidak bias diatasi kegalauannya dengan suatu prigram yang bias mententeramkan hati ?
Kesan yang diperoleh berbagai pihak, justru menyimpulkan aparat pemerintah pun justrunpaling dominan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan serupa itu, dimana saat rakyat banyak menghadapi beragam masalah. Persis seperti realisasi BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang mulai menimbulkan dampak akibat pelaksanaanya yang tidak matang, lantaran motivasi pelaksanaan BLSM itu sendiri memang sarat bermuatan politik. Coba saja kalkulasikan, berapa sebenarnya ongkos yuang harus dikeluarkan dalam upaya melaksanakan BLSM itu seperti akibat yang harus ditanggung oleh seorang kepala desa, hingga harus megalami kerugian karena rumah maupun kantornya diobarak-abrik oleh masyarakat ?
Komentar Menteri BUMN yang terkesan menimpali pernyatan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan ikhwal daging sapi beku sebanyak 800 ton yang tersendat masuk ke pasar local itu, merupakan bagian dari total alokasi kuota untuk Bulog sebanyak 3.000 ton daging sapi beku yang importasinya dimaksudkan secara khusus untuk operas pasar demi menciptakan stabilitas harga daging sapi. Tetapi realitasnya harga daging di pasar local menajdi ugal-ugalan harganya, seakan menimpali tingkah polah pejabat pemerintah. Namun bagi umat Islam yang menunaikan ibadhah puasa dengan pemahaman yang luas, bisa saja kelangkaan daging itu sendiri bagian dari essensi puasa yang harus dihadapi dengan kesabaran yang jembar.
Apalah artinya kita berpuasa sebulan penuh – berikut beberapa saat peryaan lebaran (Idul Fitri) – toh sifatnya hanya sementara untuk tidak terlalu merisaukan lauk pauk yang dijadikan permaian politik itu. Kaum Muslimin di Indonesia sebenarnya cukup siap dan tawakkal menghadapi beragam kelangkaan – termasuk menghadapi pejabat pemerintah yang khianat pada amanah rakyat.***