• Akibat Penutupan Paksa Jalur Sungai
Kotabaru — Dua perusahaan yang beroperasi di Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru, PT Metalindo Bumi Raya dan PT Karbon Mahakam, dituding telah meresahkan masyarakat setempat. Pasalnya, kedua perusahaan ini telah melumpuhkan roda perekonomian serta menggusur fasilitas publik. Belum lagi ganti rugi pembebasan lahan yang hingga kini belum sepenuhnya tuntas dilaksanakan.
Perusahaan yang mengantongi izin Kementerian Kehutanan Nomor S. 676/MENHUT-VII/2010 ini juga dituding telah menutup sungai Serakaman secara paksa pada tanggal 10 Juli 2010 lalu. Padahal sungai tersebut merupakan jalur transportasi bagi masyarakat setempat. Akibatnya, Pasar Desa Serakaman yang menjadi tempat warga setempat menjalankan roda perekomian lumpuh total.
Belum lagi penggusuran sebuah Sekolah Dasar Negeri dan sarana umum lainnya yang dibangun melalui dana APBD Kotabaru.
Anggota BPD Desa Serakaman, H Suriansyah, mengatakan sebelum sungai tersebut ditutup, kesibukan jual beli setiap hari pasar (Selasa), berjalan lancar. Bahkan sesekali pedagang dari Sulawesi serta kota kabupaten berdatangan menawarkan dagangannya atau membeli barang dagangan warga setempat. “Namun kini pasar yang direnovasi atas dana Gerbangdes pada era kepemimpinan Bupati H Sjachrani Mattaja di Desa Serakaman ini hanya menjadi penampungan barang-barang bekas, atau lebih tepatnya dijadikan sebagai gudang umum. Karena sudah tidak ada aktifitas jual beli lagi di dalamnya,” sesalnya.
Lain lagi dengan Mulyadi dan Ismail, warga setempat. Keduanya merasa resah karena pembebasan tanah mereka hingga kini belum juga tuntas.
“Di atas perkebunan kami yang masih berisikan tanaman sayur sayuran terendam air akibat adanya bendungan raksasa yang dibuat oleh perusahaan.  Selain itu, tanaman keras yang ada di dalam kebun kami dibolduser tanpa persetujuan pemilik,” ungkap Ismail.
Menurutnya, di kebunnya terdapat bermacam tanaman keras seperti binjai, karet, langsat, cempedak dan masih banyak lainnya. Kesemuanya itu sudah tidak bisa menghasilkan apa-apa sejak adanya aktifitas perusahaan. Padahal, sebelumnya dengan menyadap karet serta menjual hasil buah-buahan yang ada di dalam kebunnya  dapat saja menghasilkan sekitar Rp 3 juta perbulan,” tambahnya.
Sementara Mulyadi yang keberadaan rumahnya termasuk dalam plot areal tambang, hingga kini belum juga dituntaskan pembebasannya. “Permasalahan pembebasan tanah kami yang berawal pada tahun 2010 lalu, sebenarnya, karena tidak terciptanya kesepakatan harga antara perusahaan dengan kami, sementara sebagian besar masyarakat sudah diselesaikan,” katanya.
Mulyadi mensinyalir yang sudah dibebaskan rata-rata hanya rumah alternatif. Artinya, para pemiliki sebagian besar memiliki rumah primer di tempat lain. Penetapan harganya pun sekehendak pihak perusahaan. “Beberapa data penjualan yang kami miliki, ada rumah yang tidak berdinding malah dihargai tinggi, sementara rumah yang komplit, malah rendah nilainya,” ungkapnya.
Untuk mencari pemukiman baru, tambahnya, bukan perkara gampang. Banyak harus dijadikan bahan pertimbangan. Selain biaya pembangunan rumah, ia juga harus memikirkan adabtasi dengan lingkungan baru, pendidikan anak serta pekerjaan.
Belum didapat keterangan resmi yang diterima Metro7 dari kedua perusahaan terkait tudingan warga ini. (Metro7/Andi)