• Pelaku Politik Uang Sulit Dijerat
Ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dinilai masih terlalu longgar sehingga belum bisa menjerat para pelaku politik uang (money politics) dengan hukuman yang setimpal.
Dalam diskusi bertema Politik uang dalam pilkada di Jakarta, kemarin, beberapa kalangan menyatakan bahwa undang-undang tersebut masih mempunyai banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk melakukan kecurangan, termasuk praktik politik uang.
“Pasal 82 ayat 1 UU No 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lain untuk memengaruhi pemilih, tetapi tidak menyertakan penjelasan rinci mengenai tim kampanye itu sendiri,” kata anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Harkristuti Harkrisnowo.
Akibatnya, indikasi praktik politik uang oleh seorang calon kepala daerah bisa dengan mudah dipatahkan dengan alasan si pemberi materi atau uang bukanlah calon kepala daerah yang bersangkutan atau tim suksesnya.
Demikian juga dengan ketentuan transparansi penggalangan sumber dana kampanye dan pengelolaan. Menurut Adhy Aman dari Centre for Electoral Reform (Cetro), hal itu belum diatur dengan jelas sehingga pelaksanaannya di lapangan terkesan apa adanya.
“Selama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) cuma mengumpulkan data-data tanpa melakukan sosialisasi dan tindak lanjut karena dana auditnya sangat minim, hanya Rp30 juta setiap daerah. Padahal, cakupan wilayah yang harus diperiksa cukup luas, jumlah calonnya pun ada yang mencapai lima pasang,” kata Adhy.
Dia sepakat bahwa peraturan perundangan tentang pilkada tidak memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku praktik politik uang. Pasal 82 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa sanksi berupa pembatalan seseorang sebagai pasangan calon oleh DPRD akan dijatuhkan jika sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Padahal, putusan itu baru dapat diperoleh setelah proses peradilan yang cukup lama yang bahkan mungkin belum selesai setelah pilkada berakhir.
Sedangkan mengenai ketentuan perlindungan saksi pelapor pun, menurut Ketua Badan Pelaksana Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Didik Supriyanto, belum ada dalam undang-undang sehingga kebanyakan saksi “melarikan diri” atau menghilang sebelum dimintai keterangan oleh penyidik untuk pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP). “Sehingga usaha untuk melakukan proses hukum terhadap tersangka terhambat atau bahkan gagal sama sekali,” tuturnya.
Di samping itu, menurut Harkristuti, proses peradilan untuk kasus itu sangat terbatas karena belum banyak penegak hukum yang menganggap praktik politik uang sebagai tindak kriminal. Kebanyakan dari mereka masih menganggap politik uang sebagai kenakalan politik.
Belum sempurnanya peraturan perundangan yang berlaku, menurut Adhy, ditambah sikap masyarakat yang cenderung permisif menyebabkan praktik politik uang selalu terjadi dan bahkan dilakukan secara sistematis sehingga menjadi tersamar dan luput dari jeratan hukum.
Oleh karena itu, ketiganya menyarankan agar pejabat yang berwenang mengkaji ulang dan memperbaiki peraturan perundangan tentang pilkada yang berlaku saat ini, yaitu UU No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi PP No 17 Tahun 2005.(Sumber: Media Indonesia)