Oleh Ahmad Arif
Bukan rahasia umum lagi jika dalam setiap pemilihan di negeri ini, dari tingkat kepala lorong hingga kepala negara, selalu saja dibumbui dengan politik uang atau lebih dikenal dengan “serangan fajar” yang dilakukan oleh TS (tim sukses) para kandidat yang maju dalam pemilihan itu. Inilah yang mengakibatkan biaya politik kita menjadi lebih mahal di bandingkan dengan Negara lain. Akibat lanjutannya, sudah bisa dipastikan bahwa kandidat yang terpilih akan berpikir ulang bagaimana caranya mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan selama masa kampanye. Karenanya, pejabat/politisi kita menjadi lebih Machievalis dibandingkan pejabat/politisi di Negara sekuler-liberal atau ateis. Akhirnya, bukan kesejahteraan umum rakyat yang menjadi prioritas kerja, melainkan kesejahteraan yang sejengkal di atas pusarnya yang utama.
Pertanyaan kita, apakah “tradisi” itu masih relevan kini? Survei Polmark Indonesia seperti yang dipublikasikan oleh Kompas (21/1/2011) tentang persepsi masyarakat terhadap politik uang dalam pilkada 2010 menunjukkan, 40 persen responden menolak pemberian uang kandidat; 36 persen menerima uang, tetapi tidak memilih calon; dan 3 persen menerima uang dan memilih calon. Survei dilakukan di Kota Ambon (Maluku), Provinsi Bengkulu, serta di Kota Medan dan Kabupaten Karo di Sumatera Utara.
Menurut Eep Saefulloh Fatah, CEO Polmark Indonesia, politik uang dijadikan pilihan oleh kandidat yang sudah menyerah karena tidak mempunyai kemampuan dan popularitas yang rendah. Politik uang akan digunakan calon kepala daerah yang masuk kategori desperate (nekat), tidak ada senjata lain, kemampuan tidak ada, popularitas memble, sehingga ketika bakal calon lolos menjadi calon kepala daerah, tidak ada pilihan lain kecuali politik uang. Pilkada di Provinsi Bengkulu menunjukkan bahwa uang memang tidak menjamin bisa menang mutlak dalam pilkada. Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin menang dengan perolehan suara 31 persen. Angka itu sedikit jika dilihat posisi dia sebagai petahana. Masyarakat tahu siapa kandidat yang baik. Bagaimana dengan masyarakat Aceh?

Politik Harapan
Kedua, tentang politik harapan. Mari perhatikan headline news di media lokal Aceh pasca KIP Aceh mendeklarasikan tahapan pilkada pekan silam; “Pasal Perseorangan ditentukan Rabu (20/6). “Komisi A Serukan Tunda Penyaluran Dana Pilkada”, “Pengamat Politik: Eksekutif tak Mungkin Mau Menunda Pilkada” (21/6) dan “Pilkada Aceh tidak Sah Tanpa Melibatkan DPRA” (22/6). Apa yang ada di benak kita sepintas lalu? Politik Aceh semakin runyam dan membingungkan saja, sebagai ekses dari ketidakpastikan hukum dan politik yang berasal dari matinya political will para pemimpin.
Haruskah kita pesimistis seperti ungkapan di atas? Seharusnya tidak jika kita bisa menjaga dan mempertahankan keberadaan politik harapan (Lukmantoro, 2011). Lukmantoro menjelaskan bahwa politik harapan berada dalam tegangan antara rasa takut pada masa silam dan ketidakpastian masa depan. Meski demikian, politik tetap berada dalam diri masa sekarang yang ditumbuhi harapan. Secara leksikal, harapan (hope) berarti keinginan agar sesuatu terjadi dan berpikir bahwa hal itu merupakan suatu kemungkinan (Oxford Advanced Learner’s Dictionary; 2010).
Politik masa silam menciptakan ketakutan karena egosentrisme para elite amat dominan. Sebaliknya, altruisme untuk memberi kebaikan bagi rakyat begitu dangkal. Politik masa lampau menghadirkan kecemasan karena aksi-aksi kekerasan atas nama keyakinan merebak dengan korban pihak minoritas. Politik masa lalu menggulirkan kerisauan karena negara lebih banyak absen dalam persoalan-persoalan krusial. Tetapi, pada saat yang sama, solidaritas sosial membesar. Semua itu memberikan harapan dalam dunia perpolitikan.
Manusia, menurut Inga Leitane dalam Hope Pro/Contra Fear (2006), memiliki kemampuan menyurutkan ketakutan dan harapan. Ketakutan dan harapan berjalinan. Harapan tumbuh lebih kuat bila semakin banyak ketakutan. Itulah daya harapan yang mampu melenyapkan ketakutan. Dengan demikian, harapan bisa tergantung dari ketakutan. Ini karena ketakutan bisa dilihat sebagai kekuatan yang menumbuhkan sekaligus memerosotkan harapan. Dengan kata lain, ketakutan sebenarnya menyediakan harapan dan menawarkan betapa pentingnya harapan.
Untuk membesarkan harapan, ketakutan harus disurutkan. Dalam arena perpolitikan, merujuk gagasan Arendt -seperti diuraikan James M Campbell dan Hannah Arendt dalam Prophet for Our Time (1970)- hal itu dapat dicapai jika politik dimaknai sebagai tindakan, bukan sebagai kerja ataupun karya. Kerja adalah aktivitas yang sesuai dengan alam, semata-mata mempertahankan kehidupan. Karya adalah aktivitas manusia di dunia pertukangan untuk menghasilkan benda-benda. Tindakan berbeda dari keduanya. Tindakan dijalankan dengan kata-kata dan perbuatan. Tindakan menghasilkan sesuatu yang baru dalam jalinan antarmanusia. Melalui tindakan, seseorang bisa mendapat pujian atau kecaman. Dalam tindakan pula, seseorang secara moral mampu meninggikan atau merendahkan pihak lain.

Mengurangi Ketakutan
Bagaimana menentukan tindakan dalam politik dapat dipandang terpuji atau tercela? Tindakan terpuji jika aksi itu bisa memberi harapan dan mengurangi ketakutan. Sebagai rujukan kita bisa membaca pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa warga di Eropa yang tergabung dalam Forum of Concerned Citizens of Europe ketika menyampaikan surat terbuka di Barcelona, Mei 2010. Surat terbuka, yang lebih berisi manifesto itu, bertajuk Living with Diversity: for a Politics of Hope without Fear.
Aksi di atas berlangsung ketika Eropa dilanda kekacauan, seperti kekerasan rasial dan guncangan perekonomian. Ada empat prinsip utama pada pernyataan sikap itu, yakni: (1) keanekaragaman merupakan esensi Eropa, (2) etos solidaritas dan harapan, (3) melindungi masyarakat, dan (4) ekonomi inklusif. Semua prinsip itu sesungguhnya universal. Homogenitas kultural dan agama adalah fiksi belaka. Ketika kekisruhan merebak, maka yang harus dijalankan adalah dialog, bukan menciptakan ketakutan atau intoleransi. Melindungi seluruh rakyat menunjukkan keinginan rekonsiliasi terhadap berbagai perbedaan. Ekonomi yang menunjukkan sifat solidaritas harus diabdikan pada sebagian besar orang, bukan segelintir pihak, karena mampu melawan kebencian dan kecemburuan. Ketika empat prinsip utama itu dijalankan, niscaya politik harapan bisa diwujudkan.
Butir lain yang relevan dikemukakan untuk situasi di nanggroe kita adalah peran pemimpin. Merujuk ide Erich Fromm (1990-1980), sebagaimana diuraikan oleh Marianne Horney Eckardt (The Theme of Hope in Erich Fromm’s Writing; 2009), harapan memuat paradoks. Harapan bukan penantian pasif, bukan pula desakan yang tidak realistis. Fromm memakai metafor harimau merunduk yang siap melompat saat momentumnya tepat. Artinya, pemimpin harus mampu menjalankan peran profetik dengan menunjukkan nurani untuk mengatakan apa yang dilihat. Bahasa pemimpin adalah suara alternatif, pilihan, dan kebebasan. Kita butuh pemimpin semacam ini. Solidaritas sosial dan pemimpin profetik menjadikan politik harapan terjaga.
Kiranya pemimpin dan kepemimpinan yang memiliki spirit dan karakter kepahlawanan seperti Teuku Umar—yang kupiahnya dijadikan bagian dari mascot pilkada pada 14 November nanti—bisa terwujud melalui proses yang jujur dan adil, tanpa intimidasi tentunya. Selain itu, perlu ditegaskan bahwa damai Aceh atau Aceh damai sudah merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak hanya untuk kita saat ini, tapi juga untuk generasi setelah kita nanti. Naghrisu li man ba’dana, kita menanam untuk orang setelah kita. (Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan, alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)