Oleh: Tabah Maryanah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung sedang menuai banyak gugatan. DPR berupaya merevisinya dan mencari masukan ke berbagai daerah.
Isu utama yang berkembang adalah banyaknya dampak negatif Pilkada langsung, antara lain politik uang, konflik sosial, dan keberpihakan penyelenggara. Akhirnya, Pilkada langsung menghasilkan kepala daerah yang korup dan pemerintah bayangan (shadow government) oleh tim sukses, yang justru lebih berkuasa.
Lalu timbul pertanyaan, apa yang salah dari Pilkada langsung? Apakah budaya politiknya, desain, atau teknis penyelenggaraan? Pilkada langsung diadopsi dari masyarakat yang menerapkan demokrasi liberal yang mensyaratkan adanya kebebasan memilih. Memilih adalah hak individu, bukan kewajiban. Pilkada langsung bersifat kompetitif dan fair. Apakah kondisi masyarakat kita memenuhi persyaratan itu?
Faktanya, masyarakat kita lebih menyukai harmoni sebagai cita ideal dan tidak terbiasa berkompetisi. Sehingga, Pilkada langsung pun tidak dilandasi semangat berkompetisi secara fair.
Indikasinya bisa kita lihat dari banyaknya kecurangan. Peserta Pilkada banyak yang tidak siap kalah, bahkan untuk menang pun juga tidak siap. Pihak yang kalah mencari-cari kesalahan pemenang dan memobilisasi massa. Sebaliknya, pihak pemenang tidak menggunakan wewenangnya untuk membuat kebijakan publik yang sesuai dengan kepentingan masyarakat, tapi malah korupsi.
Problem lain yang menonjol adalah maraknya politik uang dan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan kandidat. Sering kandidat menebar uang atau Sembako ke masyarakat. Setali tiga uang, masyarakat pun menerima dengan senang hati karena menganggap pemberian itu adalah bagian dari bagi-bagi rezeki. Lebih tragis lagi masyarakat berpikir mumpung Pilkada. Toh, kalau sudah terpilih, akan lupa kepada pemilihnya!
Masyarakat masih menerapkan demokrasi wani piro, memberikan suara pada calon yang berani membayar paling tinggi. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan para calon untuk membeli perahu partai politik.
Persoalan Pilkada lainnya adalah adanya aturan multitafsir. Misalnya, siapa yang berhak mengusung calon, pengurus partai politik di daerah atau pengurus pusat? Hal ini mengakibatkan pihak yang bersengketa mengajukan permohonan uji materiil atas undang-undang yang berkaitan dengan Pilkada langsung.
Sebagian besar permohonan uji materiil tersebut dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Persyaratan calon kepala daerah juga terlalu umum dan menimbulkan perdebatan karena perbedaan penafsiran. Misalnya, tentang persyaratan dikenal dan mengenal daerah. Hal ini mengakibatkan hanya calon bermodal besar yang lolos pencalonan.

Pilgub di DPRD
Begitu banyaknya problem yang muncul dalam Pilkada langsung sehingga sebagian kalangan menginginkan kepala daerah, terutama pemilihan Gubernur, dikembalikan ke DPRD. Argumentasinya adalah adanya kegamangan hubungan antara pusat dan daerah. Gubernur sebagai perpanjangan Pemerintah Pusat tidak dapat mengatur Bupati/Wali Kota yang juga mendapat mandat langsung dari pemilihnya.
Apakah usulan tersebut akan menyelesaikan persoalan? Apakah ada jaminan bahwa tidak akan terjadi politik uang dan biaya politik tinggi? Apakah ada jaminan anggota DPRD tidak akan memobilisasi massa dengan basis etnisitas?
Tampaknya, persoalan Pilkada langsung terletak pada tiga hal. Pertama, budaya politik kita tidak kompatibel bagi pelaksanaan demokrasi liberal. Kedua, desain penyelenggaraan Pilkada langsung. Ketiga, teknis penyelenggaraan Pilkada.
Karena itulah, desain Pilkada langsung harus mampu meminimalisasi potensi munculnya problem terkait budaya politik masyarakat, regulasi, dan teknis penyelenggaraan. Undang-Undang Pilkada harus mampu membedakan antara politik uang dan biaya politik, meniadakan kapitalisasi Pilkada, menekan biaya penyelenggaraan, dan pembiayaannya tidak membebani pemerintah daerah.
UU Pilkada harus didesain untuk memastikan bahwa seluruh aktor politik, masyarakat, dan penyelenggara bertindak berdasarkan aturan, etika, dan kepantasan. Misalnya, dengan mengatur sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Desain UU Pilkada juga harus mampu menjamin kepala daerah yang terpilih adalah calon yang memiliki integritas dan kapasitas, punya rekam jejak tak tercela dalam kasus hukum dan moral, serta memahami dan memihak pada kepentingan publik.
Selain itu, perlu diatur kontrak politik saat pencalonan dan mekanisme menagih janji kampanye. Pilkada juga harus didesain sejak awal untuk mencegah disharmoni kepala daerah dan wakilnya, meniadakan keberpihakan penyelenggara, dan intervensi politik.

Pendidikan Politik
Terkait budaya politik, UU Pilkada harus tegas mewajibkan pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan pendidikan politik. KPU tidak direduksi hanya sebagai penyelenggara teknis Pilkada, tetapi sebagai salah satu pilar demokrasi. KPU, partai politik, dan para calon tidak hanya menyosialisasikan teknis Pilkada dan sosok calon, juga melakukan pendidikan politik.
Jika desain Pilkada mampu melahirkan pemimpin berkualitas dan mampu meniadakan ekses negatif, ada harapan bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna. Demokrasi mampu menjadi instrumen untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, dan Pilkada tidak sekadar ritual politik untuk memilih kepala daerah.
Terbentuknya UU Pilkada langsung yang berkualitas akan berkaitan dengan komitmen para politisi di Senayan dan kompetensi aktor/politisi di partai politik. Partai politik perlu menyiapkan anggotanya untuk menjadi pejabat publik, tidak hanya melakukan rekrutmen, apalagi merekrut para politisi “Kutu loncat.”