Oleh: Ignasius Ngari MA
Terlepas dari akurasi kebenarannya, cerita munculnya rejeki dadakan untuk masyarakat sesaat sebelum Pilkada jamak di mana-mana. Yang terpenting adalah bahwa apa yang terjadi pada mereka merupakan cerminan strategi politik pada kebanyakan masyarakat. Walaupun tidak semua, banyak masyarakat yang tidak perduli pada kandidat-kandidat dan visi-misinya. 
Apa yang mereka perdulikan adalah rejeki apa yang bisa dikais di sela-sela kampanye, seperti uang, makanan dan pakaian. Pencarian rejeki dalam model seperti ini sesungguhnya mengungkapkan sesuatu yang lebih mendalam, yakni kegagalan politik pada tataran yang paling elementer.
Politik belum menyejahterakan masyarakat. Lalu, pertanyaannya adalah mengapa perhelatan akbar Pilkada tidak sanggup melahirkan pemerintah yang berperilaku, berkebijakan dan berkomitmen akbar untuk pembangunan kesejahteraan masyakarat?
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang kerap muncul. Pertama, banyak kandidat menginvestasikan miliaran rupiah untuk popularitas instan. Kandidat secara habis-habisan baik secara pribadi maupun secara jaringan memperkenalkan diri secara memikat untuk dikenang dan dibawa sebagai keputusan final di ruang pencoblosan. Mengakumulasi popularitas dalam waktu singkat mengandaikan sentuhan langsung pada perasaan konstituen.
Isi dan model kampanye seperti penambahan maskapai penerbangan, yang membawa fotokopi raport akan diberi bantuan dana pendidikan dan pembagian uang tunai Rp50.000, akan melahirkan keharuan rasa bahwa calon pemimpin ini sungguh merakyat. Bencana yang kemudian lahir adalah pertanyaan ini, dari mana dana-dana itu dan bagaimana dana itu harus dikembalikan?
Ini menghasilkan sebuah kesibukan besar baru yang tidak jarang memerangkap pemimpin baru pada kebijakan utang budi. Apa yang tampak adalah ketidakmerataan perhatian pembangunan. Pembangunan berada dan berputar di antara kelompok-kelompok pendukung. Korupsi, kolusi dan nepotisme mempertontonkan diri dalam impunitas (kekebalan hukum).
Kedua, terdapat jarak yang terlalu lebar antara tujuan kekuasaan yang sejati dan praktek real penguasa. Dalam perspektif Pilkada, kekuasaan adalah sebuah kontrak. Kontrak yang dilakukan oleh masyarakat dengan sebagian elit. Muatan kontrak ini merupakan suatu mikro-kontrak antara negara dan warga. Secara paling fundamental, seperti yang ditegaskan John Locke, isinya adalah perlindungan hak hidup, hak milik dan kebebasan.
Tujuannya adalah adanya eksistensi hak-hak tiap pribadi di tengah hak yang lain tanpa dicederai model primitif hukum rimba ala Thomas Hobbes: “Manusia adalah serigala bagi yang lain”. Di balik hak-hak Hak-hak dasar Pada kebanyakan pemimpin kontrak ini sepertinya tidak disadari atau memori penyimpan kontrak ini terkena virus “eforia jabatan”.
Jabatan seperti sebuah hajatan yang harus terus dirayakan dengan pejabat sebagai pengantin dan kroni-kroninya sebagai undangan. Rakyat tinggallah masa pendengar dan penyaksi jauh hajatan tersebut. Apa yang terjadi adalah terkenalnya pejabat bukannya di tengah masyarakat tetapi di berbagai hotel dengan berbagai “Dayang-dayang”.
Ketiga, konsekwensi dari hal di atas adalah relasi yang berjarak dengan rakyat. Setelah memimpin, pemimpin adalah selebriti. Hubungan terlalu sering diperantarai dan diprotokolerkan. Masyarakat hanya kenal pemimpinnya lewat koran, televisi atau kunjungan resmi yang lebih banyak merupakan ajang pengailan popularitas dari pejabat setempat tanpa ruang gerak yang besar bagi rakyat.
Jarak-jarak ini makin diperlebar oleh keseringan pejabat untuk tidak berada di daerah kerjanya tetapi berada di tempat rapat atau pertemuan atau studi banding di daerah-daerah lain. Alasan klise yang kerap terdengar adalah rakyat terlalu sering datang meminta uang atau membawa proposal.
Kedua, pemimpin tidak memberikan pendidikan politik tentang peran dan tanggungjawabnya sebagai fasilitator pembangunan kesejahteraan. Selain tidak memberikan pendidikan politik, pemimpin tidak menunjukkan pembangunan yang signifikan. Daripada susah-susah membangun, lebih baik membagi-bagi uang pada masyarakat.
Itu lebih gampang dan mengena pada kebutuhan langsung masyarakat. Tidak heran pembangunan wilayah atau kawasan menjadi amburadul dan kumuh. Inilah jarak yang diciptakan antara pemimpin dengan rakyat, yang mau dijembatani dengan cara instan yang berakibat pada kekacauan pembangunan. Jadi, tiadanya sinergi antara pemimpin dan kesejahteraan rakyat disebabkan oleh investasi popularitas yang salah.
Kesadaran akan fungsi dan tanggungjawab dasar kepemimpinan politik dimatikan secara sengaja dan tidak sengaja. Jarak antara pemimpin dan rakyat diperlebar secara sistematis oleh berbagai perantara yang menghasilkan ketidakmengertian akan apa yang harus dikerjakan kepada masyarakat. Hal-hal inilah yang kemudian membawa kita pada sebuah pernyataan besar: demokrasi tidak menyejahterakan.
Demokrasi hanya menghasilkan pemimpin dari sebuah kampanye yang sangat mahal yang harus dibayar kembali selama masa kepemimpinannya. Demokrasi hanya mempertontonkan massa pengemis yang tuli terhadap janji kampanye yang sebatas lip service. Demokrasi hanya dimaknai dari sudut hajatan daerah, di mana bandul memberat ke arah pemimpin sebagai selebritis dan rakyat yang termarginalisir sebagai massa pendengar dan penonton.
Kesalahan tidak terletak pada demokrasi. Karena itu, rehabilitasi harus dibuat pada praktek demokrasi. Rehabilitasi praktek demokrasi demi kesejahteraan harus dimulai dengan tiga sikap dasar. Pertama, investasikanlah popularitas melalui komitmen pengabdian kepada masyarakat.
Kedua, teguhkanlah sikap untuk menempatkan masyarakat sebagai fokus perhatian. Rakyat adalah raja dan pemimpin adalah pelayan. Yang melayani pasti dan harus dihargai secara sangat pantas. Kepantasan penghargaan harus dialamatkan pada yang melayani bukan pada pelayan. Pelayan sering hanya sebuah nama dan isian proyek, dengan berbagai asisten ahli, konsultan dan bawahan sebagai eksekutor pelayanan.
Namun mereka kerap merupakan kader janggut yang berkar dari atas, yang karenanya harus mengabdi pemimpin ke atas. Akibatnya demokrasi hanyalah kesejahteraan pemimpin bukan kesejahteraan rakyat. Rakyat bingung apakah demokrasi yang salah atau pemimpin yang salah? Jawabannya sangat gampang. Siapa yang lebih sejahtera dialah yang salah!