Oleh: Edi Santoso
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional)
Hingga kini, RUU Pilkada masih satu pokok persoalan dalam penyelenggaraan Pilkada. Seperti kesimpangsiuran antar perundang-undangan. RUU yang kini dibahas pemerintah dan DPR sepertinya mengalami kelambatan. Indikasi ke arah itu dapat dilihat dari dampak akibat penggantian Pemilihan Gubernur (Pilgub) secara langsung menjadi Pilgub oleh DPRD provinsi.
Apabila proses Pilgub dipilih oleh DPRD provinsi, sesungguhnya tidaklah melanggar konstitusi. Mengingat, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 hanya memberi perintah agar pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan secara demokratis. Makna ’’secara demokratis’’ tak dapat serta-merta dilawankan dengan model pilihan langsung atau tidak langsung.
Sekalipun tidak melanggar konstitusi, Pilgub oleh DPRD provinsi sebagaimana diatur dalam RUU Pilkada adalah sebuah pertaruhan demokrasi. Pasalnya, aspek-aspek fundamental berkaitan dengan kepesertaan dan pencalonan serta kewenangan KPU provinsi mengalami perubahan. Menyangkut kepesertaan Pilgub, Pasal 11 RUU Pilkada menyebutkan, ’’Peserta Pilgub adalah calon yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD provinsi’’, di mana fraksi atau gabungan fraksi hanya dapat mencalonkan satu calon gubernur (Pasal 13 Ayat 2).
Apa yang menjadi rumusan Pasal 11 mengandung beberapa implikasi. Pertama; pengusulan calon gubernur (cagub) hanya dapat dilakukan partai yang berhasil membentuk fraksi di DPRD provinsi. Dalam keseluruhan pasal per pasal, RUU Pilkada tidak lagi mengatur pencalonan dan kepesertaan partai politik non kursi. Hal ini menegaskan bahwa mengusulkan dan memilih cagub adalah privilese partai yang memperoleh kursi di DPRD provinsi yang notabene adalah partai-partai besar. Dalam posisi semacam itu, partai nonkursi tidak memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara yang menjadi hak partai politik, sebagaimana digariskan Pasal 12 Ayat (1) UU No. 2/2011 tentang Partai Politik.
Pada tingkat empiris hak partai non kursi tidak dapat direlatifkan. Meskipun gagal menempatkan wakil di lembaga legislatif, keberadaan partai non kursi adalah lembaga resmi yang mendapat pengakuan hukum, setara dengan partai yang memperoleh kursi. Di samping itu, partai non kursi de facto partai yang memperoleh suara sah hasil Pileg yang memiliki hak menyuarakan kepentingan dan aspirasi konstituen. Implikasi kedua; berkaitan dengan pencalonan dan kepesertaan perseorangan.
Sebagai konsekuensi pergantian sistem Pilgub, kewenangan penyelenggaraan pun terbagi antara KPU provinsi dan DPRD provinsi, seperti ditentukan dalam Pasal 5 Ayat (2) dan Ayat (3) RUU Pilkada. Dalam hal ini, KPU Provinsi ’’hanya’’ berwenang melaksanakan tahapan I Pilgub yaitu pengumuman pendaftaran, pendaftaran cagub, penelitian persyaratan, dan penetapan calon (Pasal 4 Ayat 2). Adapun berkaitan dengan penyampaian visi dan misi, kegiatan pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil dan penyampaian keberatan (Pasal 4 Ayat 5) menjadi kewenangan DPRD provinsi dengan membentuk panitia pemilihan (Pasal 7 dan Pasal 8).
Pembagian kewenangan semacam itu otomatis menimbulkan kerancuan dalam tata aturan atau konstruksi hukum penyelenggaraan Pilkada. Konstruksi hukum penyelenggaraan Pilkada adalah menempatkan atau memisahkan fungsi dan kewenangan penyelenggaraan dengan kepesertaan. Pemisahan ini menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan dan menjamin kre­adibilitas penyelenggaraan dan hasil pemilihan kepala daerah, termasuk Pilgub.
Pada akhirnya, RUU Pilkada menjadi anomali demokrasi jika pemilihan gubernur dikembalikan menjadi kewenangan DPRD provinsi. Ini adalah sebuah pertaruhan demokrasi. ***