Oleh: Gunawan Handoko

Setiap menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), keberadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selalu menjadi sorotan. PNS harus netral, tidak boleh berpihak kepada salah satu pasangan calon. Setiap tindakan PNS yang ada kaitannya dengan calon kepala daerah, selalu diwaspadai bahkan dicurigai.
Sebagian PNS merasa ketakutan, tapi tidak sedikit yang melakukan perlawanan. Sebab, mereka tahu batasan dari netralitas dalam politik praktis. Bagi sebuah negara demokrasi, tuntutan netralitas total bagi PNS tidak akan berjalan sempurna.
Sebab, PNS memiliki hak politik yang harus benar-benar tersalurkan dengan baik, meski dalam melakukan tindakan politiknya tidak bisa secara terang-terangan. Setiap PNS (kecuali TNI dan Polri) memiliki hak politik untuk memilih. Sehingga, larangan berpolitik harus dimaknai dengan baik dan benar. Penafsiran terhadap larangan berpolitik jangan sampai memposisikan PNS sebagai pihak yang harus dikebiri atau diskriminatif.
PP No. 37/2004 tentang Larangan PNS Menjadi Anggota Partai Politik (Parpol) menjelaskan bahwa yang dilarang apabila PNS menjadi pengurus atau anggota Parpol. Dalam SE Menpan No. SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang Netralitas PNS dijelaskan bahwa PNS dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala atau wakil kepala daerah. Jadi jelas, bukan melarang PNS berpolitik. Tetapi melarang dengan segala konsekuensi bahwa PNS tidak dibenarkan menjadi tim sukses atau tim pemenangan calon tertentu.
Sedangkan netralitas di sini juga jelas. Sebab, PNS masih memiliki hak pilih. Tentunya punya hak untuk mengetahui bobot dan integritas figur calon pemimpin yang baik serta dijamin tidak akan membuat celaka para PNS apabila terpilih nanti. Boleh jadi sikap tidak netral tersebut sebagai bentuk panggilan moral dalam upaya menyelamatkan roda pemerintahan untuk masa 5 tahun ke depan.
Sejak kepala daerah dipilih langsung, sudah berapa banyak PNS yang tersandung berbagai kasus pidana, hanya karena tidak mampu menolak perintah. Oleh sebab itu, menjadi wajar bila para PNS ikut ambil bagian dalam memenangkan calon pemimpinnya yang dipandang jujur dan amanah serta diyakini tidak akan mencelakakan dirinya.
Memang, dalam tatanan negara kita, PNS merupakan pengabdi sipil atau bisa dibaca menjadi “Sipil yang Mengabdi”, bukan sebagai tuan bagi sipil atau Civil Master. Kapasitas tersebut sudah tentu tidak bisa dipisahkan dengan peran serta PNS dalam tindakan politiknya. Pengabdian PNS bukan sekadar untuk golongan atau satu partai saja. Tapi juga mengabdi secara total kepada tuan mereka, yaitu sipil.
Ketika pengabdian ini harus lebih diutamakan, satu golongan atau Parpol harus benar-benar dikesampingkan. Apabila PNS sebagai pengabdi sipil telah melakukan manuver dengan memilih satu kandidat calon dan benar-benar mengaktualkan tindakan politiknya dengan menjadi kader (terlebih menjadi tim sukses) salah satu calon, berarti dia berkhianat kepada tuannya, yakni rakyat. Diyakini, para kandidat calon pun tidak akan bertindak bodoh dengan menempatkan PNS secara legal menjadi tim pemenangannya. Muncul pertanyaan, mengapa banyak PNS yang tidak netral? Ditilik dari keberadaannya, setiap PNS memiliki dua dimensi. Pertama, berfungsi sebagai pemimpin keluarga. Dalam fungsi sosial, PNS berperan sebagai tokoh atau anggota masyarakat yang baik di lingkungannya. Untuk dapat menjalankan fungsi dan peran ini, PNS harus ada kesadaran tinggi agar menjaga diri dalam menjalankan amanah tersebut.
Kedua, seorang PNS berfungsi sebagai abdi negara yang memiliki tiga peran. Yakni sebagai alat atau aparatur negara, pelayan publik, dan alat pemerintah.
Dari dimensi tersebut, keberadaan PNS memang cukup strategis dan memiliki pengaruh besar dalam pencitraan figur para calon pemimpin di tengah masyarakat. Terutama calon incumbent dan calon yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah. Mereka adalah patron yang kata-kata dan perbuatannya sering menjadi panutan bagi masyarakat di lingkungannya. Masyarakat beranggapan bahwa para PNS lebih banyak tahu tentang sepak terjang dan kredibilitas para calon incumbent dan pejabat pemerintah. Sebab dianggap telah merasakan langsung kepemimpinan mereka.
Posisi ini cukup menggoda semua calon untuk memanfaatkan PNS guna kepentingan yang sifatnya partisan. Para calon berupaya untuk dapat merekrut PNS sebanyak mungkin dengan harapan dapat berfungsi sebagai ujung tombak dalam melakukan pencitraan yang baik di masyarakat. Karenanya, larangan PNS berpolitik tidak ubahnya seperti ’’Jeruk Makan Jeruk’’. Sebab, pada kenyataannya masing-masing pihak memiliki kepentingan dan saling membutuhkan. Bagi masyarakat di negeri kita yang belum terlalu maju, PNS menempati posisi tinggi dalam struktur sosial masyarakat. PNS termasuk sebagian kecil dari masyarakat yang memiliki akses informasi luas dan menguasai pengetahuan yang berkesinambungan. Ditilik dari kedudukan dan fungsinya, maka PNS merupakan pekerja resmi yang memegang kunci pengelolaan APBN dan APBD serta berbagai harta yang menjadi aset negara. Maka ketidaknetralan PNS dalam Pilkada bisa jadi merupakan suatu barter politik dengan pihak-pihak tertentu yang konsekuensinya berupa imbalan jika terpilih nanti. Baik berupa jabatan struktural maupun bentuk kompensasi lainnya. Bisa juga karena ada ancaman tertentu yang dilancarkan kepada PNS bila tidak mendukung salah satu pasangan calon. Yang pasti, sebagai bagian dari warga negara, seorang PNS juga memiliki preferensi terhadap kandidat calon atau Parpol. Boleh jadi karena merasa gerah jika hanya menjadi penonton, lalu mengekspresikan dukungannya secara berlebihan dan melupakan netralitas.
Semua pihak harus menyadari bahwa sesungguhnya PNS sedang membutuhkan pencerahan yang tidak sekadar berkutat pada vested interest. Tapi juga perlu menarik ke dalam diri apa filosofi posisi mulia di balik tuntutan netralitas itu. Jika memang PNS harus netral, dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara tidak perlu dihantui dengan kehilangan jabatan atau mutasi. Siapa pun yang bakal terpilih nanti, harus ada perangkat aturan yang jelas dan tegas guna memberi perlindungan hukum bagi para PNS dari perlakuan sewenang-wenang kepala daerah. Ini menjadi tugas pemerintah pusat dalam rangka mewujudkan agenda besar reformasi birokrasi. ***