Oleh: Ridho Imawan Hanafi

Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) tidak mengatur mekanisme yang bisa mencegah kepala daerah tidak melakukan tindak pidana korupsi (Kompas, 24/4). Absennya mekanisme pencegah tersebut dapat menjadi ruang terbuka bagi kepala daerah untuk melakukan penyelewengan dan korupsi. Apalagi dengan ongkos politik yang mahal, korupsi kepala daerah kian menjadi.
Tercatat, pada periode 2004-2012, sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa.
Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana (Kompas, 17/4). Fakta itu membuat miris kita. Pelaksanaan demokrasi yang diharapkan mampu mengubah keadaan untuk menjadi lebih baik justru menjadi lahan subur keculasan.
Ada beberapa hal yang mendorong kian masifnya korupsi kepala daerah. Pertama, mahalnya biaya politik. Seorang calon kepala daerah dihadapkan pada ongkos pencalonan yang tidak ringan karena berhadapan dengan mekanisme pemilihan langsung. Pemilihan langsung ini membuat praktik politik uang menjadi rumus short cut untuk mendulang suara. Belum lagi seorang calon harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjemput kendaraan politiknya.
Kedua, tidak ada aturan penegas tentang pembatasan biaya atau belanja kampanye. Dalam pemilihan langsung, kampanye menjadi modal seorang calon untuk memperkenalkan diri kepada pemilih. Di sini, seorang calon perlu mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Apalagi, dalam praktiknya, seringkali kampanye dilakukan dengan “Obral”, penghamburan dana. Bagi calon bermodal besar, cara ini menguntungkan.
Ongkos politik dan biaya kampanye bisa mendorong calon yang jadi untuk tergerak mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Dengan kata lain, mereka perlu balik modal. Dalam kehendak seperti itu, jalannya adalah menyelewengkan jabatan dan korupsi anggaran daerah. Modus operandi seperti itu lazim digunakan dan ironisnya sampai saat ini tak ada teknik pencegahan yang efektif.

Ketiga, ketiadaan sanksi yang benar-benar menjerakan. Para pelanggar aturan Pilkada sejauh ini tidak mendapat sanksi yang bisa membuat mereka terseret dalam tindak pidana dan sekaligus membatalkan siapa yang dengan jelas tertangkap melakukan praktik money politic. Tidak ada semacam pengkategorian bahwa mereka telah melakukan kejahatan politik. Sebuah kejahatan Pilkada yang menggiring pelaku pada penjara. ***