Oleh: Drs  H Fauzan Syai’e
Mempersoalkan netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam politik, baik lokal maupun nasional, merupakan tema lama yang selalu aktual untuk dibicarakan. Terlebih di tengah era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, selalu ada perkembangan menarik terkait peran, posisi, dan tanggung jawab PNS.
Secara Diakronis, wajah birokrasi pemerintahan di Indonesia yang dimulai dari masa Orde Baru sampai era reformasi, memiliki kualitas dan kondisi yang tidak jauh berbeda. Artinya, lembaga birokrasi masih dijadikan sasaran empuk para pemimpin daerah dalam melanggengkan kekuasaannya.
Padahal, salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah sebuah tatanan birokrasi pemerintahan yang terbuka, visioner, bertanggung jawab, bersifat nonpolitik, dan berorientasi pada pelayanan publik yang dibungkus dengan kata reformasi birokrasi.
Tuntutan demi perubahan birokrasi yang lebih baik, hingga kini terus dilakukan, karena kenyataannya dengan peraturan yang ada saat ini, PNS belum bebas dari intervensi politik, terutama di daerah. Karena itu, DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kelak menggantikan UU No 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Dengannya diharapkan, PNS terlindungi dari arus politik kepentingan, utamanya di daerah saat Pilkada. PNS pun mampu menahan diri untuk tetap netral dan mengabdi secara profesional serta berkarir secara alamiah, tidak lagi dihantui rasa waswas dalam meniti karir.
Ketidaknyamanan PNS dalam menjalankan tugas sangatlah wajar. Mengingat, gejala politisasi birokrasi merata di seluruh penjuru kabupaten dan provinsi, terlebih menjelang Pilkada. Bahkan sejak digulirkannya otonomi daerah, modus operandinya beragam dan lebih sistematis. Berbeda dengan model pada masa Demokrasi Terpimpin 1950-an dan Orde Baru.
Ini menandakan semakin menggejalanya dominasi dan ekspansifisitas kekuasaan pada ranah birokrasi. Apa yang menjadi ketakutan banyak pihak terhadap akses otonomi daerah, bahwa kekuasaan yang seringkali ambigu dan tidak proporsional, cenderung membenarkan dirinya sendiri.
Memang sangat disayangkan, perubahan politik 1998 hanya terbatas pada demokrasi prosedural, tidak menjalar kepada demokrasi substansial. Akibatnya regulasi tentang netralitas birokrasi dibuat, tapi perilaku birokrat tidak berubah.
Aturan tentang larangan PNS terlibat politik praktis hanya isapan jempol. Kenyataannya, semua calon kepala daerah terutama incumbent, sangat mudah menyeret mereka dalam pusaran pertarungan Pilkada.
Prakteknya, birokrasi menjadi alat pertarungan kekuasaan. Akibatnya birokrasi lumpuh dalam menjalankan fungsi sebagai pelayan publik dan instrumen melaksanakan kebijakan. Ini adalah fakta yang tidak bisa ditutupi lagi. Padahal, masyarakat memiliki harapan besar dengan perguliran kekuasaan Orde Baru ke reformasi. Momen-momen itu, baik Pemilu, Pilpres, maupun Pilkada, memiliki kualitas yang bagus, sehingga terpilih pemimpin berintegritas dan prorakyat.
Seperti dalam sebuah konsep, agar kualitas Pilkada itu baik, maka dapat ditentukan tiga hal. Pertama, penyelenggaraan yang bersih dari kecurangan, dan penyelewengan kekuasaan. Kedua, profesionalisme serta akuntabilitas lembaga penyelenggara dan pengawas. Ketiga, pemilih rasional yang memilih pemimpin bukan karena sogokan, ikut-ikutan, maupun intimidasi, tapi mempertimbangkan pilihannya berdasarkan visi, misi, dan program.
Politisasi Incumbent
 Momen Pilkada bagi PNS dapat dikatakan sebuah bencana, sebab saat itu PNS menjadi bulan-bulanan bagi kandidat. Terutama yang telah dipercaya untuk mengemban jabatan, karena banyak Pilkada yang membuat seorang pejabat menjadi non-job. Lalu banyak juga yang terpaksa buru-buru mutasi ke daerah lain. Suatu dilema yang menimpa birokrasi kita. Walau secara yuridis (hukum) telah diatur, namun kenyataan di lapangan memaksakan posisi mereka terjepit atau berada di tengah antara himpitan profesionalitas (netral) dengan kekuasaan politis dan otoritas penguasa.
Maka PNS harus terlibat membantu dan menyukseskan guna menghantarkan calon incumbent duduk kembali menjadi kepala daerah, daripada harus dinon-job-kan lebih awal. Sebab, dianggap tidak siap keluar keringat untuk mendukung atau menjadi tim sukses.
Tentunya dengan segala konsekuensi, bila PNS yang terlibat politik, akan berhadapan pada dua kemungkinan. Bila calonnya menang (the winner), karir meningkat. Sebaliknya jika calonnya kalah (the loser), kemungkinan karir akan lebih buruk karena dianggap sebagai orang yang berseberangan dengan pemimpinnya.
Inilah bentuk ketidaknetralan PNS yang terkadang bukan sepenuhnya pilihan mereka. Namun, terlebih kondisi yang terbentuk dari sistem birokrasi. Selain calon incumbent memiliki peluang lebih besar untuk memaksa lingkaran birokrasi secara akut demi kemenangan periode berikutnya, juga memiliki otoritas mengolah anggaran daerah untuk menyediakan suplai ’’asupan gizi’’ bagi  jajaran PNS di tingkat bawah sampai atas, dalam rangka mendukung pencalonannya.
Makanya, tidak heran bila ada PNS tak sejalan dengan pemimpin yang berkuasa, dipastikan sulit mendapat posisi jabatan dengan kriteria ’’basah’’. Minimal setiap pegawai pastilah tidak pernah mendambakan akan menghabiskan karirnya di ’’lahan-lahan kering’’.
Oleh karena itu, logika  bahwa  jenjang karir sangat ditentukan kemesraan dengan penguasa cukup beralasan. Penjenjangan karir PNS diharapkan bersaing secara profesional. Akan tetapi, ada kalanya karir PNS ikut ditentukan pejabat pembina PNS.
Sedangkan PNS yang menjalankan prinsip netral, malah menjadi korban dan dimutasi ke tempat-tempat yang tidak mereka kuasai bidangnya, bahkan karirnya dibiarkan jalan di tempat.
Sedangkan yang aktif berpolitik dan menjadi tim sukses tentunya secara terselubung justru banyak keuntungan pasca ’’jagoannya’’ terpilih sebagai kepala daerah. Makanya sering kali netralitas PNS khususnya dalam pelaksanaan Pilkada dapat dilangkahi perilaku dan tindakan sosok PNS yang takut kehilangan jabatan.
Birokrat yang berani melawan pemimpin atau calon incumbent akan terdepak dan kehilangan jabatan. Akhirnya jabatan menjadi komoditas yang diperjualbelikan dalam Pilkada. Jabatan juga menjadi alat investasi untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan saat tahapan Pilkada. Makanya pasca Pilkada, mutasi yang terjadi umumnya terjadi pada dinas/instansi yang ’’basah’’.