BARABAI — Masyarakat Dayak Meratus menuntut hak-hak adat mereka dikembalikan, salah satunya adalah Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Menurut mereka, selama ini masyarakat adat kerap dikalahkan menghadapi perampasan tanah-tanah adat, Sumber Daya Alam (SDA),

kemiskinan, kriminalisasi, konflik, dan pelanggaran HAM. Masyarakat adat merasakan diskriminasi saat mengedepankan muatan lokal, ketidakbebasan memeluk agama asli, serta penegakan hukum adat.

Hal itu diungkapkan tokoh-tokoh Adat Dayak Meratus Rabu (14/3) lalu di Balai Miyulan, Desa Haruyan Dayak, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), dalam pertemuan dengan Bupati HST Dr Harun Nurasid, Kapolres HST AKBP Iwan Sonjaya dan Dandim 1002 Barabai Letkol Inf Heri Pribadi.
“Undang-undang pertambangan, kehutanan dan pertanahan tidak berlaku di wilayah adat kami ini,” tegas Adi Irawan alias Ambar, warga Dayak Meratus dari Datar Ajab, Hantakan.
Aspirasi serupa menurutnya sudah sering disampaikan, bahkan saat ini muncul tuntutan supaya pemerintah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPMA). Pemkab HST sendiri didesak untuk menerbitkan Perda Hak-Hak Adat, mengeluarkan 12 desa Adat Dayak Hantakan dari kawasan Hutan Lindung, serta melakukan verifikasi agraria, agar tidak muncul kesan termarginalkan oleh sistem kehidupan negara dan pemerintahan.
Sumiyati, warga Dayak lainnya, tidak rela hutan mereka dirusak oleh sistem. Selama ini kehadiran investor sangat merugikan dan memecah belah Komunitas Adat Dayak. Warga Dayak Haruyan terpaksa sering ikut aksi solidaritas di daerah lain, setelah mengetahui warta mereka teraniaya oleh kebijakan perusahaan.
“Kami minta, fungsi hutan tidak berubah, warga siap menjaga hutan,” tegasnya.
Suhariyadi, Juru bicara ORMADA Balian Kalsel sedikit lunak. Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan warga balai, melakukan pembinaan, serta memberikan bantuan ril, terutama akses jalan penghubung 28 Balai  yang tersebar di tengah hutan dan gunung kawasan hutan pegunungan Meratus.
Untuk kepastian hukum, ia meminta aparat kepolisian lebih mengedepankan hukum adat serta menghormati aturan-aturannya. Saat ada warga yang menurut hukum formal melanggar hukum, supaya tidak mengedepankan hukum pidana, namun diberi kewenangan menyelesaikan sendiri dengan hukum adat.
“Hedaknya APBD HST lebih berpihak kepada warga Balai, memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan,” kata Suhariyadi.
Sementara Narta Kesuma, Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Hantakan mengklaim, lebih 50 persen siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah terpencil, tidak memiliki akses pendidikan agama dan kepercayaan. Kekurangan guru agama dalam kepercayaan tertentu, dipandang sangat merugikan, terutama bagi lebih dari 700 orang pemeluk Kaharingan yang ada di HST.
Dalam kesempatan itu, Bupati HST Dr H Harun Nurasid berjanji akan menjaga kelestarian hutan, sebagai kewajiban bersama antar pemerintah dan warga Dayak Meratus. Harun menjamin, tidak akan mengalihfungsikan kawasan hutan.
Selain menjanjikan bantuan Rp 5 juta bagi Balai Miyulan, Harun juga mengajak warga Dayak untuk bersekolah dan membuka diri dengan pengetahuan baru. Terkait kekurangan guru dimaksud, menurut Harun harus dikomunikasikan lagi dengan pihak-pihak terkait.
“Tolong buat usulan sesuai kesepakatan seluruh warga Dayak,” pesannya.
Kapolres HST AKBP Iwan Sonjaya mengharapkan setiap permasalahan diselesaikan dengan mengedepankan mediasi dan tatanan lokal. Sedangkan Dandim 1002 Barabai Letkol Inf Heri Pribadi menghimbau warga untuk menghindari konflik dan mempertahankan keharmoniasan dengan alam. advhst