Oleh: Trah Abhimanyu
Semarak Pemilukada hampir terasa di seluruh Indonesia. Kondisi ini ditandai ramainya baliho, spanduk dan poster yang terpajang di tempat-tempat umum. Tujuannya tidak lain, mensosialisasikan wajah dan visi-misi para calon pemimpin yang akan bertarung meraih mandat rakyat secara langsung.

Situasi yang banayk menyita perhatian rakyat ini terjadi karena ada wacana bombastis yang digembar-gemborkan, bahwa lewat Pemilukada akan muncul pemimpin yang memperhatikan kesejahteraan rakyat. Wacana ini sering menjadi ’pemanis’ untuk menggaet perhatian rakyat kota hingga kampung terpencil.
Masyarakat yang tadinya hanya sibuk mengurus pekerjaan sehari-hari, akhirnya rela meninggalkan aktivitas itu selama berhari-hari untuk ikut kampanye. Momentum Pemilukada juga membuat masyarakat gelisah, berharap dapat melihat calon pemimpin pujaannya memenangkan pertarungan dan menduduki kursi (berkuasa).
Bukan hanya itu, even Pemilukada juga berpotensi membuat sesama keluarga dekat yang hidup serumah atau sekampung bisa ikut-ikutan bersitegang lantaran memiliki calon pujaan yang berbeda. Masyarakat yang tidak tahu-menahu soal politik seperti keburu bermimpi indah, bahwa lewat Pemilukada, realitas hidup mereka yang susah, akan berubah drastis menjadi lebih baik.
Di sisi lain, munculnya kesadaran kritis dalam memandang even lima tahunan tersebut tak lebih dari sinetron demokrasi, membuat sebagian lainnya tidak mau menggunakan hak pilihnya alias memilih Golput. Menurut mereka, meskipun diulang lima tahun sekali, pemimpin yang terpilih tetap begitu-begitu saja dan tidak mengakomodir kepentingan rakyat.
Pemilukada pun mampu melahirkan konflik hingga situasi wilayah mencekam dan membutuhkan campur tangan aparat keamanan. Belum lagi soal sengketa para calon yang bertarung dengan KPUD.
Jika dilaksanakan secara baik, keberadaan Pemilukada bisa menjadi berarti sebagai pendidikan politik bagi masyarakat pinggiran (marginal). Pengalaman membuktikan bahwa kelompok marginal, kaum miskin dan kurang beruntung dalam indikator kemajuan inilah yang sering menjadi sasaran garapan partai dan elit politik. Mereka mudah ditaklukkan lewat cara bagi-bagi duit (uang), sembako, hingga pengobatan gratis yang dibuat secara insidentil oleh partai atau tim sukses calon, menjelang Pemilukada/Pemilu.
Konflik kisruh terkait Pemilukada tidak terlepas juga dari realitas politik ‘buang umpan’. Konflik seperti itu nyata-nyata telah mencoreng esensi semangat demokrasi yang memunculkan kesan bahwa jangan-jangan pemberlakuan demokrasi ala barat (Eropa dan AS) berwujud Pemilukada/Pemilu) bisa jadi bertolak belakang dengan realitas perkembangan di daerah. Mengutip kata-kata Romo Magnis Suseno, demokrasi model ini hanya bisa berjalan efektif jika diterapkan di negara-negara kapitalis yang tingkat kesejahteraan mayoritas rakyatnya sudah mumpuni.
Tingkat kesadaran dan pendidikan politik rakyat yang sudah mapan, akan membentuk rakyat pemilih yang rasional (cerdas). Dalam hal ini, rakyat bukan lagi memilih pemimpin atas dasar dorongan primordialisme kesukuan (klen, marga, hubungan emosional) atau karena money politics, pembagian sembako dan beras murah.
Dalam etika politik, baik elit dan Parpol, wajib memberi penyadaran dan pendidikan politik bagi rakyat, agar menjadi pemilih yang cerdas. Kecuali kalau demokrasi dimaknai dalam pengertian sempit.
Demokrasi bercorak primordialisme sempit inilah yang oleh para elit lokal sering dimanfaatkan sebagai jalan mencari kekuasaan. Lalu ketika berkuasa, ada peluang untuk memperkaya diri dan kelompok dengan jalan menumpuk materi sebanyak-banyaknya. Demokrasi yang secara sederhana dipahami sebagai “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” dalam prakteknya telah bergeser menjadi “dari rakyat, oleh rakyat tapi untuk satu dan sekelompok orang.” Ini persis terlihat ketika semua energi yang dikorbankan rakyat hampir terlupakan begitu saja oleh elit-elit politik pembual dan Parpol yang tak tahu balas budi. Toh hasilnya rakyat tetap saja menjadi tumbal bagi para elit petualang politik untuk memenuhi hasrat kekuasaan.
Ketika sudah menjadi pemimpin, meski dianggap tidak becus memimpin, rakyat pun kembali tak berdaya menurunkannya. Sebab memang tidak ada mekanisme untuk itu. Lagi pula dalam sistem politik Indonesia, tidak ada aturan hukum yang memungkinkan dibuatnya semacam “kontrak politik” antara rakyat dan elit politik yang mau memimpin. Ini agar rakyat secara langsung bisa menurunkan (memecat) pemimpin yang dinilai tidak beres melalui mosi tidak percaya dalam suatu aksi massa. Tapi itu mustahil, karena demokrasi berwujud Pemilukada mungkin akan tetap menguras energi rakyat. ***