“Tebusannya Memakan Bangkai Saudaramu Sendiri”
Oleh : Imam Bukhori
Jika anda tak punya modal finansial alias duit yang dapat diandalkan, asalkan anda mampu mengamankan kadar sterilisasi image atau citra anda, untuk tetap bertengger di habitat kehormatan, maka kemungkinan besar, dampaknya segala urusan anda akan selalu lancar.
Memperoleh pencitraan yang baik, image positif, atau stigma di mata masyarakat tentang diri kita yang tidak negatif, harus ditempuh dengan berbagai cara.

Bisa jadi melalui cara-cara khasanah atau baik, culas, licik, hina, bahkan keji.
Dengan kata lain, selain duit, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ternyata image, sangatlah memegang peranan penting dan berguna untuk mempermudah meraih tujuan.
Maka, agar apa yang anda inginkan mudah tercapai, tolong jaga baik-baik, terutama image protagonis, yang sudah anda miliki sekarang ini.
Sahabat yang wartawan bercerita tentang prilaku temannya yang juga wartawan, yang seringkali berlaku tak terpuji.
Selain memiliki kebiasaan berprasangka jelek dan selalu curiga terhadap orang lain termasuk temannya, dia mempunyai kebiasaan selalu menjelek-jelekkan image temannya, hingga terbawa pada cara-cara dia meliput berita.
Demi mengamankan dan menjaga image dirinya, serta untuk mempermudah dirinya mendapatkan berita, sekaligus agar wartawan lainnya sulit memperoleh berita, teman wartawan yang terbiasa bermuka dua itu (untung cuman dua, jika sepuluh seperti Dursasana), tidak jarang menjelek-jelekkan image teman wartawan lainnya, di hadapan narasumber atau pihak lainnya.
Dengan aksi itu, diharapkan narasumbar akan membuka diri hanya kepada dirinya saja. Sekaligus menutup peluang terbukanya pintu komunikasi antara narasumber dan wartawan lainnya.
Apalagi jika si narasumber, diketahui orangnya termasuk tipikal royal dan gede dalam memberi sangu amplop.
Bisa dipastikan, dia akan mati-matian mempertahankan si narasumber, jangan sampai jatuh ke tangan wartawan lainnya.
Biasanya, dengan cara mengatakan kepada narasumber, hal-hal kejelekan yang ada pada wartawan lainnya, sehingga terbangun stigma negatif di benak narasumber tentang image jelek si wartawan yang jadi korbannya itu, sehingga narasumber menutup diri dan menjaga jarak.
Dikatakannya: hati-hati, wartawan si fulan, orangnya intepert. Awas pak ai, wartawan si polan sulit diajak kerja sama. Jangan digubris pak, wartawan si poltak itu, korannya tidak besar, buktinya di pasaran saja tidak ada. Pian jauhi saja wartawan si muyaki itu, sebab dia bisa tanpa peduli dan berani mengambil resiko untuk membuka aib pejabat. Ha ha ha (sambil ketawa seperti kebiasaannya), gayanya saja si wartawan mauk itu, yang sok idealis dan alim, tapi aslinya dia tidak bermutu, juga suka ke lokalisasi diam-diam dan mulutnya bau. Dan seterusnya…
Kebiasaan itu sepertinya sudah mendarah daging dalam dirinya. Hingga terbawa-bawa saat menjalankan profesi pekerjaannya.
Dia sepertinya tak peduli, kebiasaan jeleknya mulai membuat dirinya sakaw, di saat dia mencoba berlaku normal-normal saja. 
Dia tak peduli, jika segala perbuatannya, bahkan yang seukuran biji dzarrah-pun, apalagi termasuk dalam profesionalitas pekerjaannya, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan.
Dia tak peduli, jika duit yang ia dapatkan dengan cara menjelek-jelekkan teman seprofesi lainnya itu, bakalan untuk mengongkosi beaya makan anak isterinya di rumah.
Dia tak peduli, jika perolehan duit liputan berita seperti itu, serupa tapi tak sama, dengan modus pemerasan. Karena narasumber dengan perasaan terpaksa memberikannya. Disebabkan adanya ancaman bakal dikeluarkannya berita menyangkut kasus narasumber. Terpaksalah narasumber memberi, dan terpaksalah si kawan wartawan ini, menerima dengan senang hati. Apalagi setelah dilihatnya, dari dalam amplop terdapat duit pecahan Rp 100 ribu berlembar-lembar.
Dia tak peduli jika akibat perbuatannya, Allah bisa saja tidak terima, dan iseng-iseng mengingatkan dia, dengan cara memberi penyakit kepada anaknya, yang amat sangat menguras isi kantongnya. Atau menghukum dia, dengan cara tiba-tiba matanya dibutakan Tuhan, lewat tacucuk bollpoint liputan miliknya. Mulutnya robek, karena terjatuh dari kendaraannya. Jari-jari tangannya terpotong, karena infeksi tetanus yang awalnya disepelekan, ternyata menjadi akut, dan jari-jari itu harus diamputasi.
Dia tak peduli, jika Allah adalah Maha Pemaaf dan Maha Pemberi Maaf. Namun Allah tak kan pernah memaafkan dosamu, yang terkait dengan manusia lainnya, sebelum si korban memaafkanmu, walaupun besaran dosamu ke dia, hanya sebesar sehelai cambang yang tumbuh jarang-jarang di dagumu…
Dia sepertinya tak peduli. Buktinya dia masih saja tetap nyinyir kesana kemari.
Selain dasar otaknya memang cerdas, dan didukung tampilan serta tampang imut yang tak berdosa, jauh dari kesan image seorang preman. Maka kian sukseslah aksi-aksi fitnahnya, jurus pembunuhan karakternya dan modus adu dombanya.
Dia lakukan itu semua, dengan cara-cara yang justru terkesan alami, rapi dan innocent.
Di hadapan kita, entah kenapa, dia terbiasa akan selalu cenderung memprovokasi, dengan cara menggerutu kesal terhadap ulah teman sejawat lainnya. Hebatnya, kita tak pernah merasa diadu manusia (bukan domba) olehnya.
Dan bisa dipastikan, kita juga akan mengalami nasib yang sama, seperti korban lainnya, ketika dia berada di belakang kita.
Aksi wartawan sadis yang bertampang innocent ini, hanya sekadar contoh.
Bahwa sejarah kita di Indonesia, dengan pola pikir linier sekarang ini, keberlangsungannya juga diwarnai oleh aksi-aksi sejenis itu.
Artinya, aksi serupa juga berlangsung pada skala dan dimensi yang lebih luas.
Dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa, di hari-hari kemarin, sekarang ini, dan bisa jadi, di hari-hari yang akan datang.
Seperti sejarah mengerikan pembantaian PKI Madiun dan G30S PKI. Peristiwa bergelimpangannya korban-korban Tanjung Priok era 80-an. Jatuh korban dan terusirnya warga atas pembangunan waduk Kedung Ombo era Orde Baru. Perang brubuh antar saudara sendiri di Ambon, Singkawang dan Sampit. Atau berkobarnya api kemarahan antara saudara sebangsa di Mesuji, Bima dan Pangkalanbun. Dan masih banyak lagi. Serta apakah nantinya akan tetap berlangsung?. Wallahu’allam bisshowap.
Ya Allah, jauhkan itu semua dari negaraku.
Tapi saya sempat salut, walaupun tetap waspada kepada si wartawan pengadu.
Menurutnya, apa yang diperbuat kawan seprofesinya itu, barangkali sudah pilihan sikap baginya, untuk memudahkan dia dalam memperoleh rizki.
Walaupun tebusannya adalah memakan bangkai saudaranya sendiri. “Dasar slekethep!!!”
Demikian hati saya spontan terkejut, dan mengucapkan kata kebiasaan si Makmur dalam sinetron “Awas Ada Sule”. **(Penulis adalah Wartawan harian Media Kalimantan di Balangan-Kalsel)