Oleh : Revi Marta Dasta.

Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi di berbagai daerah, menjadi tamparan keras terhadap hasil pelaksanaan Pilkada. Ternyata Pilkada yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, belum mampu sepenuhnya menghasilkan kepala daerah yang bersih dan bebas dari kasus korupsi.
Padahal ide awal kelahiran Pilkada langsung yang dimulai tahun 2005, adalah untuk mencari pemimpin yang punya legitimasi kuat di masyarakat dan berkualitas serta menghindari terjadinya proses politik uang yang selama ini terjadi, ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. Harapannya agar kepala daerah yang dihasilkan benar-benar mampu membawa perubahan masyarakat lebih sejahtera dari sebelumnya.
Dalam sejarah Pilkada oleh DPRD, permainan politik uang menjadi isu yang tidak terbantahkan. Untuk itulah, dilaksanakan Pilkada langsung oleh rakyat. Namun dalam perjalanannya, masih juga terjadi praktek politik uang tersebut. Jika selama ini yang terlibat hanya 20-60 orang anggota DPRD yang terhormat, khusus pada Pilkada langsung ini bisa melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat. Mereka seakan dididik untuk melakukan transaksi politik uang. Dengan pendidikan dan pengetahuan seadanya, masyarakat diberi iming-iming uang oleh para calon agar memilih. Banyak yang menentang praktek uang tersebut. KPU dan pemerintah misalnya, sudah beberapa kali mengeluarkan aturan melarang politik uang. Begitu juga hukuman yang akan mereka terima apabila politik uang itu dilakukan. Bahkan tokoh-tokoh agama pun sudah mengaramkannya, namun tetap saja terjadi hampir di setiap Pilkada.
Tidak salah kiranya berbagai himbauan dan kritikan muncul ke permukaan untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada ini. Berbagai regulasi sengaja dibuat oleh pemerintah dan DPR untuk mencarikan solusinya. Wacana tersebut makin menggelinding dengan adanya rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah. Pilkada langsung tidak menjamin akan mendapatkan kepala daerah yang bersih dan mampu mensejahterakan rakyat. Untuk itu, perlu dirubah kembali format pemilihan kepala daerah tersebut.
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) misalnya, telah sepakat agar gubernur dipilih kembali oleh DPRD. Namun berbagai kalangan mengecam keinginan pengembalian Pilkada langsung tersebut kepada DPRD.
Munculnya isu pengembalian Pilgub kepada DPRD ini merupakan dampak dari berbagai kasus-kasus kecurangan, politik uang dan upaya meredam konflik antar masyarakat, akibat terjadinya konflik suku dan agama yang merugikan pembangunan.
Mencermati kepala daerah hasil Pilkada langsung dan dampaknya bagi masyarakat, memang sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada, dengan catatan. Pertama, Hak rakyat jangan dikorbankan dengan mengembalikan pemilihan kepada DPRD. Sebaiknya hanya sistem, aturan dan sanksi saja yang perlu diperketat. Kedua, Benahi perilaku para aktor politik. Politisi jangan sampai mengajarkan masyarakat untuk melakukan politik uang dan melakukan kecurangan,. Yang sebaiknya dilakukan adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Bahwa berkaca kepada pengalaman sebelumnya, pemimpin yang terpilih karena uang, hanya akan memperkaya diri dan kroninya setelah berkuasa, sehingga banyak kepala daerah yang dipenjara. Ketiga, memfungsikan secara maksimal peran tokoh masyarakat dan agama, baik sebelum dan sesudah Pilkada. Hal ini penting untuk meredam konflik horizontal yang akan muncul pasca pengumuman pemenang.
Akhirnya kita berharap, pelaksanaan Pilkada yang merupakan wujud pemberian hak kepada masyarakat untuk menentukan pemimpinnya secara langsung, jangan sampai dicabut kembali. Begitu juga dengan masyarakat, juga harus belajar dengan dua kali Pilkada langsung, tahun 2005 dan 2010. Jika tidak hati-hati, kemungkinan besar hak politik rakyat tersebut akan kembali diambil oleh DPRD. (Penulis adalah Peneliti di Lembaga Fokus Parlemen, Jakarta)