Oleh: Fadil Abidin

Pengunduran diri Prijanto sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, diduga bagian dari persiapan menghadapi pilkada (pemilihan kepala daerah) Gubernur DKI Jakarta pada Juli 2012. Fenomena pecahnya pasangan kepala daerah karena sang wakil ingin menjadi kontestan pilkada, rupanya terjadi hampir merata di semua daerah.

Ego untuk meraih kekuasaan politik menyebabkan banyaknya kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan ketika mereka berkuasa. Menjaga keutuhan apalagi kekompakan pasangan pimpinan kepala daerah, ternyata sangat sulit dilakukan. Berdasarkan data Kemendagri, tercatat hanya 6,15 persen pasangan kepala daerah hasil pemilihan pada 2010 dan 2011 yang tetap berpasangan pada pilkada untuk periode selanjutnya.
Sedemikian besar persentase pasangan kepala daerah yang pecah kongsi, sampai-sampai dianggap sebagai fenomena wajar dalam dinamika pilkada. Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenoek menyatakan, “Dari 244 pilkada pada 2010 dan 67 pada 2011, hampir 94 persen diantaranya pecah kongsi. Kemesraannya cepat berlalu,” katanya (detik.com 25/12). “Idealnya tidak pecah kongsi sampai berakhir masa bakti resmi. Kalau mau ikut pilkada, cukup cuti selama masa kampanye. Jadi tidak perlu sampai mengundurkan diri,” jelasnya. Reydonnyzar menambahkan, pecah kongsi sering menyebabkan inefektivitas dalam pemerintah daerah. Hal itu biasa terjadi pada dua tahun jelang pilkada berikutnya. “Di sanalah sering kali terjadi politisasi birokrasi yang berakibat layanan publik terhambat,” ujarnya. Dampak pecah kongsi tidak jarang pula berlanjut ketika salah satu pihak memenangi pilkada. “Pernah ada kepala daerah yang mencopot 14 kepala dinas karena dinilai tidak mendukung dirinya saat pilkada.”
Tidak dipungkiri ada banyak pihak yang merasakan godaan kekuasaan karena merasa memiliki dan membawa akses lebih, punya support dan dukungan publik untuk maju sebagai calon kepala daerah. Mereka  merasa punya sumber daya dan sumber dana lebih, masih mending kalau  yang bersaing cuma kepala daerah dan wakilnya, di beberapa daerah, anggota DPRD juga maju, bisa dibayangkan bagaimana suasana kebatinan di birokrasi, staf, dan kepala-kepala dinas, pasti terkooptasi dan tertekan.
Agar hal serupa tidak kembali terjadi, Kemendagri menyiapkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Pilkada, yang merupakan pecahan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang salah satu poinnya untuk mengantisipasi hal tersebut. Ke depan pilkada tidak memilih lagi secara langsung satu paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pilkada direncanakan hanya memilih kepala daerah.
Setelah enam bulan terpilih, kepala daerah lalu mengajukan tiga calon untuk menjabat sebagai wakil kepala daerah. Calon itu berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) yang jenjang birokrasinya tertinggi di daerah tersebut. Cara pengangkatan wakil kepala daerah rencananya melalui penunjukan atau penetapan untuk provinsi, sedangkan untuk kabupaten/kota melalui penunjukkan melalui DPRD setempat. Hal ini salah satu cara untuk menghindari pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir.
Hal tersebut dilakukan, semata-mata untuk memberikan jaminan kepastian efektivitas dan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. PNS atau pejabat eselon di daerah dianggap sudah berpengalaman, sehingga yang diajukan harus 3 calon yang berpengalaman untuk mendapat persetujuan DPRD.
Selain itu, alasan penentuan wakil kepala daerah berasal dari kalangan birokrat, karena mereka tidak terlalu berambisi secara politik dibanding wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik dan dipilih secara langsung. Disinyalir banyaknya kepala daerah yang berseberangan dan bahkan pecah kongsi menjelang pemilihan kepala daerah, salah satunya, karena keduanya merasa punya dukungan dari publik secara politik dan memiliki akses yang sama.
Tak sampai disitu, dalam RUU Pilkada, juga akan dilakukan penegasan pembagian tugas antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Meski, wakil kepala daerah prinsipnya tetap membantu kepala daerah dalam menjalankan pemerintah daerah, tetapi harus tetap diberi tugas yang jelas.
Kemudian ada usulan agar tidak semua daerah memiliki wakil kepala daerah. Untuk kabupaten yang berpenduduk di bawah 200 ribu, pemerintahan hanya dijalankan oleh kepala daerah seorang. Sehingga jabatan wakil kepala daerah hanya untuk kabupaten yang berpenduduk di atas 200 jiwa. Saat ini memang ada beberapa kabupaten yang berpenduduk di bawah 200 ribu. Bahkan, terdapat satu kabupaten di Papua, hanya berpenduduk 12 ribu orang.
Selain usulan dalam RUU Pilkada di atas, ada banyak pakar ketatanegaraan seperti Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, yang menyarankan agar kepala daerah, tidak hanya gubernur tapi juga bupati kembali dipilih dan diangkat oleh DPRD setempat. Alasannya, bila memang tujuan DPRD memilih gubernur seperti dalam RUU Pilkada untuk menghemat biaya, mestinya, tak hanya gubernur tapi sekalian bupati juga tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Karena memang jumlah kabupaten jauh lebih banyak dibanding gubernur (Rakyat Merdeka Online, 10/11/2011).
Menurutnya, cukup tiga hal saja yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pertama, presiden dan wakil presiden. Kedua walikota dan kepala desa. Walikota dipilih langsung, beda dengan bupati, karena basis demokrasi warga yang tinggal di kota sudah kuat karena umumnya masyarakat telah terdidik. Ketiga (yang dipilih secara langsung) adalah pemilihan legislatif, DPR/DPRD/DPD seperti yang sudah ada. Itu jauh lebih produktif kalau tujuannya efisiensi.
Seluruh rakyat Indonesia harus menyadari bahwa sistem pemilu kita sangat rumit dan bisa dibilang termahal di dunia. Dana, tenaga, pikiran dan waktu kita habis hanya untuk pemilu legislatif, pemilihan presiden dan pilkada. Sementara sektor pembangunan terabaikan karena kita asyik dengan pesta demokrasi yang hanya menguntungkan segelintir elit yang berkuasa. Kasihan rakyat, kebebasan-kebebasan dalam demokrasi itu baik. Tapi tak perlu terlalu larut dalam permainan kebebasan.
Wacana agar kepala daerah ini kembali dipilih oleh DPRD betul-betul untuk kepentingan rakyat di daerah. Demokrasi kita ini terlalu mahal. Belum pantaslah, pengeluaran terlalu besar misalnya untuk daerah yang PAD-nya tidak sebesar biaya pilkada. Biaya pilkada lebih besar dari PAD itu sangat tidak masuk akal, banyak daerah yang mengalami kebangkrutan gara-gara penyelenggaraan pilkada.
Tingginya angka perpecahan pasangan kepala daerah dan wakilnya di berbagai pemerintahan daerah di Indonesia menjadi bukti belum ada kematangan pemimpin-pemimpin politik yang ada di daerah. Uang rakyat sudah keluar puluhan bahkan ratusan miliar dalam membiayai pilkada. Tapi efektvitas pemerintahan hanya berjalan selama 3
tahun karena terjadinya perpecahan. Kita tidak bisa terus-menerus mempertahankan kondisi yang seperti ini. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.