Dari Tanah Rusuh Jakarta
Oleh: Kadarisman
Hidup adalah suatu tantangan yang harus dihadapi; ada perjuangan yang harus dimenangkan, kesusahan yang harus diatasi, rahasia yang harus digali, kegembiraan yang harus disebarkan dan cinta yang harus dinikmati. Ada tugas yang dilaksanakan, romantika harus dirangkul serta resiko yang harus diambil.
Seperti itulah penggalan tulisan pada sebuah buku kecil seorang remaja putri asal Indonesia yang menempuh pendidikan di Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Wanita asal Jakarta ini terpaksa dan terlanjur kuliah di luar negeri karena keterpaksaan keadaan ditengah terpaan keterbatasan ekonomi keluarga.
Saat itu tahun 1998 dan usianya baru 18 tahun. Kisruh politik memicu banyak kerusuhan. Turbulensi politik tidak semata mengakhiri sebuah rezim saat itu, tapi menimbulkan ekses sentiment ras tertentu. Penjarahan, pencurian terjadi di mana-mana. Jakarta ketika itu menjadi tanah rusuh yang tidak menyisakan ketenangan. Kendati dirundung problematika yang sangat kompleks, remaja putri itu tetap harus mempertahankan kuliahnya, karena sudah terlanjur menerima utang pendidikan dari Development Bank of Singapore.
“Apakah, Mas tahu lanjutan cerita sesungguhnya? Tiap waktu istirahat jam kuliah, ia hanya mampu menghilangkan dahaganya dengan air kran di kamar kecil di NTU. Ia hanya punya uang S$10 untuk bertahan hidup setiap minggunya.” Seorang wanita yang mencegatku di kawasan Orchard Road, Singapura, Juni 2012 lalu menceritakan summary kisah nyata seseorang kepadaku.
Dicecar penjelasan dari wanita yang masih asing membuat Aku memberikan jawaban yang telak; Aku tidak tahu. Wanita muda ini ulurkan tangan, sambil disebutkan namanya.
“Panggil saja, Michelle. Itu namaku.” Disodorkannya sebuah buku yang merangkum kisah lengkap yang ia ceritakan. Buku itu menurutnya sangat menginspirasi. Yang membuatnya lebih kagum, kisah sebagaimana dituliskan di buku itu adalah penggalan sebuah pengalaman seorang mahasiswi Indonesia di NTU. Kepahitan hidupnya semasa kuliah, mampu menjadikannya seorang miliuner muda saat ini. Itulah wanita muda asal Indonesia. Kisah penuh keprihatinan pada masa kuliah di usia 18 tahun hingga menjadikannya seorang wanita berpenghasilan sejuta dolar di usia 26 tahun.
“Semoga buku ini juga bisa memberikan inspirasi dan keteguhan dalam perjuangan bagi siapa pun yang membacanya,” jelas Michelle.
Buku yang disodorkan Michelle langsung kusambar dan kubawa pulang ke Hotel Conrad Centenneal di bilangan Suntec City, tempat Aku menginap. Di kamar hotel lantai 19, buku itu ku bolak balik.Tak sempat kubaca habis buku itu, karena sesaat lagi Aku harus pergi ke Marina Bay Sands untuk hadir dalam penganugerahan berkaliber international terkait program katarak CSR PT Adaro Indonesia.
***
Jumat malam di Orchid Ballroom, Marina BS mulai dipenuhi tamu undangan dari perusahaan berbagai negara. Registrasi peserta mulai dilakukan, penganugerahan pun digelar malam itu. Gemuruh tepuk tangan seketika membahana seisi ruang. Priyadi, GMO PT Adaro Indonesia ketika itu menaiki panggung utama untuk menerima Health Promotion Award. Adaro merupakan satu-satunya perusahaan di Indonensia yang meraih penghargaan kategori ini.
“Penghargaan AREA ini akan memberikan motivasi Adaro lebih bersemangat melakukan yang terbaik bagi masyarakat. Kami berharap program-program CSR Adaro menjadi sarana menciptakan masyarakat yang mandiri,” ujar Priyadi usai menerima penghargaan yang langsung diberikan oleh William NG-President Enterprise Asia.
AREA Southeast Asia itu diikuti oleh ratusan perusahaan di Asia Tenggara dengan total lebih dari 100 program CSR yang terdaftar. Dari Indonesia tercatat sekitar 15 perusahaan yang berpartisipasi dan Adaro satu-satunya perusahaan Indonesia yang mendapatkan apresiasi ini.
“Sudah selayaknya Adaro mendapatkan penghargaan ini, karena telah melakukan hal yang tepat dan sangat baik, sehingga masyarakat dapat langsung menerima manfaat nyata dari program katarak. Dengan penghargaan ini, diharapkan dapat menciptakan kesadaran untuk kewirausahaan yang bertanggungjawab,” ujar William NG di sela-sela penganugerahan itu.
President Enterprise Asia juga memuji pemerintahan Indonesia yang dinilanya telah memberikan perhatian cukup besar terhadap CSR. Hal ini dapat terlihat dari begitu banyaknya peraturan yang dikelurkan pemerintah Indonesia sebagai panduan pelaksanaan CSR.
Katarak merupakan salah satu program kesehatan yang ada di dalam empat pilar kegiatan CSR. Melalui program ini sedikitnya 6000 pasien terselamatkan dari kebutaan. Adaro telah mengembalikan kemandirian personal 6000 orang tidak mampu, minimal tidak menjadi beban bagi keluarganya.
Cerita tentang Kakek Jenglor, Paringin, Balangan Kalimantan Selatan mengingatkanku kembali. Kakek ini dulu selalu bepergian dari kampung ke kampung lain, karena keahliannya dalam urusan salah urat. Banyak orang cocok dengan keahliannya. Tapi sejak katarak menutupi pupil matanya, Ia tak lagi bisa berbagi, sebelum akhirnya sang kakek berhasil menjalani operasi katarak oleh PT Adaro Indonesia.
Ada juga cerita Ibu Mantan, seorang janda di Desa Kalahang. Kini, ia tak lagi berjalan menepi dinding. Ia tak lagi terantuk perabotan yang ada di dalam rumahnya. Justeru sekarang, ibu ini mampu memaksimalkan peliaraan ayam dan itik di pekarangannya sendiri.
Pukul 10.30 malam, rangkaian penganugerahan berakhir. Perlahan dan pasti Orchid Ballroom, Marina BS mulai sepi kembali. Aku pun sudah berada di lobby untuk kembali ke Conrad Centenneal. Keadaanya sama ketika saya berangkat dari hotel sebelumnya, menunggu giliran antri untuk sebuah taxi. Bedanya perjalanan pulang dari Marina BS ke Conrad Hotel menyita cukup waktu. Pada jam-jam saat itu adalah gambaran yang umum berhentinya aktivitas formal pada jam malam, sehingga pengunjung dan para pekerja terakumulasi. Antrian pun terjadi cukup panjang. Butuh kurang lebih 40 menit, baru mendapat giliran menaiki taxi.
Di Singapura siapa pun harus rela antri bila situasinya terjadi seperti itu.Namun demikian, semua dapat berjalan dengan tertib. Kesadaran warga Singapura terhadap ketentuan publik sangat tinggi. Jadi, di kota ini jangan berharap dapat seenak perut menghentikan taxi atau bus di sembarang tempat, dapat dipastikan tak satu pun sudi singgah.
Transportasi umum di Singapura menjadi andalan dan primadona mobilisasi massa warganya. Ada Mass Rapid Transit (MRT) misalnya, merupakan sistem kereta api terpadu di bawah tanah, bus tingkat hingga taxi yang menjangkau banyak tempat penting dengan biaya sangat murah dan nyaman.
Sistem transportasi yang dibangun secara integral menawarkan kenyamanan penggunanya untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Di Singapura kita tidak akan pernah melihat petugas melayani penjualan ticket kereta. Penumpang MRT membeli tiket elektronik dari alat menyerupai ATM yang disebut General Ticketing Machine (GTM). Untuk tiket sekali jalan, kita akan mendapatkan tiket standar berbahan plastik berwarna hijau.
Cara membeli tiketnya mudah. Perhatikan layar petunjuk di GTM yang akan memberikan pilihan, Anda mau beli tiket ataukah yang lain. Anda memilih ‘Buy Standard Ticket’ untuk sekali jalan, selanjutnya pilih stasiun tujuan Anda dalam layar sentuh. Mesin akan menghitung ongkos tiket biasanya S$1-3 tergantung jarak, lalu masukan uang sebesar yang diminta dari slot koin atau slot uang kertas.
Jika Anda memberi lebih, mesin secara otomatis akan memberikan uang kembalian. Harga tiket termasuk dengan deposit S$ 1 yang bisa di-refund dengan dimasukan lagi ke dalam GTM jika Anda sudah tiba di tempat tujuan.
Aku menaiki MRT ini mulai dari Dhoby Ghout station sampai Harbour Front. Dhoby Ghout kebetulan sangat dekat dengan hotel tempat menginap di kawasan Cuntec City. Dari sini butuh kurang lebih 60 menit ke Harbour Front. Rute yang cukup panjang karena harus melalui puluhan station.
Di dalam MRT jangan berharap menemukan ada orang yang mengunyah makanan atau menengak minuman. Itu artinya bunuh diri. Dijamin dalam waktu tidak lama pelakunya pasti akan ditangkap dan diharuskan membayar denda yang cukup besar. Itulah sebab kenapa transportasi massal ini selalu kinclong dan nyaman. Sekedar sehelai pembungkus permen pun tidak akan ditemukan di sini.
Transportasi massal yang nyaman di Singapura membuat warganya lebih senang memanfaatkan fasilitas angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Kira-kira itulah salah satu rahasia, kenapa Singapura terbebas dari kemacetan luar biasa seperti yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, tapi Indonesia telah pula menerapkannya. Semua jenis transportasi umum selalu menawarkan kenyamanan dan kepastian bagi penggunanya.
***
Di sebelah Barat, matahari tak lagi tampak sempurna, separuh sang waktu sudah terselip di balik horizon. Senja mulai menutupi kawasan Orchard Road, Singapura. Kawasan yang sebentar lagi masuk kedalam genggaman sang malam, tapi pelancong mancanegara dan pribumi di kawasan ini seperti tak pernah sepi, termasuk saya yang baru landing menggunakan Singapura Airlines.
Asyik menyusuri kawasan Orchard, langkah kaki terpaksa terhenti. Seorang gadis berwajah oriental menyapa hangat. Tidak hanya hangat, tapi juga suaranya yang lembut, membuat kaki ini tak ingin berlalu lebih jauh lagi. Kulitnya Putih bersih, rambutnya hitam panjang. Sang bayu yang nakal menghembus lembut memainkan rambutnya yang tergerai meniti bahu. Di sela kesempatan kucuri pandang senyum dan wajahnya. Lesung pipit berhias di kedua pipinya, seakan dirinya penyempurna pesona senja di Orchad senja itu.
Michellle. Ya, Michelle. Begitulah wanita muda yang masih kuliah di salah satu perguruan tinggi di Singapura ini memperkenalkan diri. Sebuah buku yang diberikan Michelle telah kulumat habis. Cerita nyata dalam buku ini memenuhi janji Michelle; menyentuh hati sekaligus layak menjadi inspirasi.
“She has brought inspiration to the young inspiring people in Singapore,” tulis seorang tokoh terkemuka di negara itu memberikan testemoni. Pujian yang tulus bahwa ada wanita muda Indonesia yang telah memberikan inspirasi banyak orang di negara berlambang Singa tersebut.
Sang waktu telah hilang, Orchard Road pun ditelan sang malam. Matahari tak lagi menjadi raja yang memberikan cahaya, karena perannya telah tergantikan gemerlap cahaya lampu beraneka warna di bawah langit Singapura. Kian larutlah malam, tapi Singapura belum tidur. Mungkin masih banyak cerita malam itu berlalu lalang, tetapi Aku telah telah lelap.
Sebelum kembali lagi ke Jakarta, malam itu terngiang kembali satu suara, “Panggil Aku Michelle.” Hmmmm…. Kulirik sekali lagi buku yang kudapat dari Michelle di sampingku “Mimpi Sejuta Dolar.” Begitu tertulis judul buku itu, true story seorang mahasiswi Indonesia, Merry Riana, yang terdampar studi di Singapura, karena Jakarta dilanda kerusuhan saat itu.
Tinggalkan Balasan