MATARAM, metro7.co.id – Banyak pekerja pariwisata NTB terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sementara oleh perusahaan sebagai dampak mewabahnya pandemi Covid-19.

Sebagian besar dari pekerja pariwisata yang mengalami PHK dan dirumahkan sementara tersebut tidak diberikan pesangon atau jenis bantuan lain oleh perusahaan tempatnya bekerja. Jumat, (24/07/2020).

Markes (bukan nama sebenarnya), seorang karyawan di salah satu hotel berbintang di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara misalnya. Sejak dirumahkan beberapa bulan lalu, ia dan beberapa karyawan lain belum mendapat uang pesangon atau jenis bantuan apa pun dari perusahaan tempatnya bekerja. Padahal, ia telah bekerja selama bertahun-tahun dan memiliki jabatan cukup tinggi di perusahaan.

“Kalau sudah teken kontrak harusnya dapat tunjangan, pesangon. Di sini ndak ada sama sekali yang saya lihat perusahaan. Hampir semua. Bisa dikatakan hanya dua persen yang masih kasi gaji, tunjangan. Tapi dia kerja. Datang bersih-bersih. 80 persen tidak ada sama sekali pesangon. Gaji pun tidak,” ungkapnya kepada metro7.co.id.

Markes menjelaskan, atas desakan beberapa rekannya agar menyuarakan masalah tersebut ke perusahaan, ia pun menemui menejer umum. Sang menejer yang diharapkan dapat memberi solusi justru menyampaikan jika perusahaan tidak bisa berbuat apa pun.

Merasa tidak cukup dengan jawaban itu, Markes mengatakan ke sang menejer jika tindakan yang diambil perusahaan keliru karena melanggar aturan terkait ketenagakerjaan. Sang menejer masih tetap dengan jawabannya bahkan setengah menantang, mempersilahkan Markes untuk mengadukan perusahaan ke instansi yang melindungi tenaga kerja.

“Justru teman-teman itu yang meminta. Karena saya kan leadernya di sana, ‘ayo pak bagaimana?’ akhirnya saya tanyakan ke GM (General Manager), GM bilang ndak bisa karena dari Owner Direksi tidak ada jawaban. ‘bagaimana pak terkait Disnaker nanti?’ silahkan mau ke Dinsaker mau lapor ke mana silahkan. GM nantang gitu. Kami mau berbuat apa. ‘Kami juga punya kebijakan sebagai perusahaan’,” terangnya sembari beberapa kali menirukan jawaban menejer umum perusahaannya.

Perlu diketahui, Markes sebenarnya melanggar aturan perusahaannya karena menyampaikan fakta tersebut ke publik. Sebagaimana yang dilakukan menejer umum, begitulah semestinya ia berlaku: menekan bawahannya.

“Saya yang sudah masuk menejemen, sebenarnya ndak boleh berbicara tentang ini. Harus apa yang dikatakan owner company, direksi, itu harus saya ngikut. Harus saya tekan ke staf ke bawahan agar tidak mengerti tentang itu,” akunya.

Lebih jauh, Markes mengungkapkan bahwa apa yang dialaminya juga dialami hampir semua karyawan yang bekerja di hotel-hotel yang ada di Gili Trawangan. Bahkan hotel Ombak Sunset dan hotel Villa Ombak yang notabene sebagai ‘icon’ tiga gili (Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air) diakuinya menerapkan kebijakan serupa ke para pekerjanya.

“Icon di Gili Trawangan itu kan Ombak Sunset dan Villa Ombak, sama,” ujarnya.

Di samping itu, sebelum pandemi Covid-19 pendapatan bersih rata-rata hotel besar di Gili Trawangan bisa mencapai dua sampai tiga miliar rupiah per bulan–hal tersebut diketahui Markes karena jabatannya di perusahaan memungkinkannya mengakses laporan keuangan beberapa hotel.

Karena dalam meraup untung besar tersebut hotel-hotel juga dibantu para pekerja, harusnya mereka tidak lepas tangan dengan tetap bertanggung jawab meski kondisi perusahaan sedang sulit seperti sekarang.

“Sampai satu bulan itu dapat dua miliar, tiga miliar income bersih sudah itu, bahkan lima miliar. Tapi mau gimana? Owner juga punya hak untuk berbicara, company punya hak untuk mengatur,” sesalnya.

Tetap Penuh Harapan

Kendati menerima kenyataan pahit tidak lagi memiliki pekerjaan utama, Markes menerangkan jika dirinya tidak ingin terlalu lama untuk larut dalam kesusahan dan kesedihan dengan mulai mencari pekerjaan lain.

Walaupun, dia mengatakan sangat sulit menemukan pekerjaan pada masa pandemi seperti sekarang, ia tetap optimis.

Saat ini ia bekerja serabutan, mengerjakan apa pun yang bisa mendatangkan uang. Ia punya cita-cita suatu saat nanti bisa membuka usaha, saat ini, ia belum memiliki modal.

Di luar itu, ia masih menjalin komunikasi guna saling bertukar pendapat dan informasi pekerjaan dengan para karyawan lain yang mengalami nasib sama dengannya, terutama karyawan yang berada di bawahnya ketika bekerja di hotel.

Ia pun bersyukur karena tak memiliki hutang sebagaimana beberapa rekan sesama pekerja pariwisata yang masih bekerja dulu mengambil pinjaman bank dan mengambil kredit rumah. Dengan kondisi tanpa penghasilan saat ini, betapa berat beban yang harus mereka pikul.

“Teman-teman yang ambil kredit rumah. Mereka harus setor tiap bulan. Uang dari mana,” katanya. ***