Catatan Konsultasi Publik RSUD-HBK, Tidak Berhitung Untung Rugi
Oleh: Kadarisman
Dua tahun terakhir saya hadir memenuhi undangan Forum Konsultasi Publik (FKP) Rumah Sakit Umum Daerah Haji Badaruddin Kasim (RSUDHBK) Tanjung. Terakhir beberapa hari lalu kembali hadir beriringan dengan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tabalong dan Ketua Pengurus Cabang Nahdatul Ulama Tabalong.
Sebagai institusi publik RSUDHBK sadar betapa pentingnya membuka ruang feedback dari masyarakat. Terbukanya institusi pelayanan publik tidak semata untuk memenuhi ketentuan normatif, tetapi sebuah keharusan untuk menegaskan kehadiran negara dalam melayani rakyatnya. Pesannya jelas, RSUD sangat siap dikritik.
Kritik tidak ada yang negatif. Jadi tak perlu dirisaukan, karena semangat kritik adalah kontribusi pemikiran atas kemampuannya melihat kekurangan agar tumbuh awarnes bersama memperbaiki lebih dini. Kita harus takut jika orang tidak menyampaikan kritiknya, sehingga kita terlelap dalam zona diam tanpa perubahan, menjadi institusi tertutup tanpa kemajuan tanpa ada yang mengingatkan. Kritik tidak untuk menjatuhkan tetapi mencegah untuk jatuh.
Seorang pakar kebijakan publik, Bromley mengatakan, bahwa keberhasilan tingkat implementasi dalam kebijakan publik tidak sekadar pemikiran aktor pengambil kebijakan, tetapi mesti pula memahami opini publik yang berkembang.
Hal ini berselaras dengan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik jo Peraturan Menteri PANRB Nomor 29 Tahun 2022 tentang Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pelayanan Publik serta Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 4 Tahun 2013 mengamanatkan agar dilakukan Forum Konsultasi Publik (FKP).
Tak dapat disangkal, RSUDHBK selalu berbenah untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Hal itu dapat dilihat hadirnya teknologi baru Computed Tomograpy Scan atau CT Scan yang dapat digunakan untuk memindai jaringan dan struktur tubuh melalui berbagai sudut. Type teknologi yang dimiliki RSUDHBK merupakan versi yang lebih canggih dibanding teknologi serupa di beberapa rumah sakit terdekat lainnya. Tentu saja tidak hanya soal teknologi namun juga pemenuhan SDM guna menyambut harapan pelayanan kesehatan masyarakat.
Penggunaan berbagai teknologi canggih tentu membutuhkan biaya operasional yang besar yang acap kali tidak sepadan antara pendapatan rumah sakit dengan biaya yang dikeluarkan. Tetapi di situlah fungsi pelayanan publik hadir sebagai implementasi kehadiran negara dalam menjawab kebutuhan rakyatnya.
Ketika berbicara pelayanan publik, takarannya bukan lagi soal untung rugi, tetapi soal negara hadir atau tidak. Itu menjadi tugas aktor kekuasaan atau pemerintah yang telah diamanahi oleh rakyat sebagai pemilik negara. Bukankah pelaksana kekuasaan pemerintah ada karena titah rakyat. Titah yang diberikan rakyat ketika pemilu dan pilkada digelar. Titah rakyat itu pasti tidak salah, kecuali dia dibayar agar memilih yang membayar.
Ikhtiar teknologi termasuk digitalisasi RSUDHBK sejatinya mampu menjawab satu dari dimensi pelayanan public yang disebut dengan tangible. Dimensi tangible mensyaratkan pelayanan harus berwujud nyata dan kongkrit. Teori – teori pelayanan publik seperti Zeithaml, Parasuraman dan Berry menegaskan selain tangible juga harus memenuhi dimensi assurance atau kepastian dalam pelayanan. Kepastian tersebut dapat berupa soal jadwal, waktu, harga, kualitas, akurasi dan lainnya.
Dimensi assurance ini menutup pintu alasan klasik pelayanan publik atas tantangan dan dinamikanya dalam memberikan pelayanan. Disamping berbagai terobosan pelayanan yang disajikan RSUDHBK, pelayanan loket apotik pengambilan obat menjadi catatan. Di loket ini tidak memenuhi kepastian waktu berapa lama seseorang harus menunggu hingga obatnya dapat diterima. Catatan itu harus dijawab dengan dengan melakukan perhitungan rasio kunjungan pasien agar dapat memenuhi regulasi Permenkes nomor 58 Tahun 2014.
Hal lain, melayani tidak selalu dapat diselesaikan melalui pendekatan teknologi dan pemenuhan SDM yang memiliki kompetensi mumpuni. Melayani bukan memberikan pendekatan teknis semata, tetapi juga pendekatan psikologis dan emosional yang tidak kalah penting. Harus ada keseimbangan antara kompetensi skill dengan kompetensi heart skill, sebuah kemampuan mengelaborasi kekuatan empathy yang tidak sekadar tuntutan etik dan moral, tetapi sebagai pendekatan penyembuhan dari hal tidak biasa namun berdampak luar biasa.
Dr Lorry Dossey dalam bukunya The Extra Ordinary Healing Power of Ordinary Thing mengemukakan banyak ulasan betapa hal – hal sederhana dari memanfaatkan sikap yang tepat justru mampu memberikan efek penyembuahan, baik pada orang lain atau diri sendiri. Sekadar sapaan hangat dan bersahabat saja misalnya dapat memberikan optimisme dan penyembuhan.
Brendan O’Regan dan Caryle Hirshberg dari Institute of Neotic Sciences Petaluna, California merangkum 1.385 jurnal mengenai penyakit serius yang kemudian mengalami penyembuhan tanpa dilakukan perawatan apapun, kecuali pilihan sikap yang dapat menumbuhkan sentuhan emosional dan spiritual.
Karena begini, hasil sebuah penelitian bahwa orang yang emosionalnya mampu menerima kenyataan hadirnya apa yang dideritanya mempercepat penyembuhanya sebesar 71%, kemudian yang semangatnya terjaga 71%, perasaan percaya bahwa semuanya akan berakhir baik (husnudzon) lebih tinggi, 75%, bahkan sekadar bersenandung beroleh angka 50%.
Empati dan keramahan, senyum penuh ketulusan, uluran tangan penuh kasih sayang tidak saja memberi efek penyembuhan pada pasien tetapi juga akan membuat pemberi layanan semakin sehat dan bahagia karena telah meninggalkan legacy moral atas manfaat yang orang terima. Hormon endorphin dan oksitosin, serotonin, serta hormon dopamine yang dikenal sebagai hormone kebahagiaan akan melimpahi secara tepat pada diri sendiri dan orang lain.
Allah SWT sejatinya telah menegaskan dalam dalam Qs Al Isra ayat 7, jika kamu berbuat baik pada orang lain, sejatinya kamu berbuat baik pada dirimu sendiri. Pun sebaliknya jika kau berbuat jahat, itu pun buatmu juga. Jadi keramahan, senyuman dan perlakuakan empati pada orang lain itu sejatinya buat diri itu sendiri, bukan buat orang lain.
Seorang dokter RSUD DR Soetomo Surabaya, dr Agus Ali Fauzi, ahli paliatif yang kerap menerima pasien dari limpahan dokter lainnya yang dinyatakan terminal, banyak mendapatkan kesembuhan hanya dengan ketepatannya memilih menyikapi sesuatu. Satu hal yang saya selalu ingat dengan ilmu dr Agus Ali Fauzi yang membuat kita sering disinggahi sakit, yakni AIDES MUTER: angkuh, iri, dengki, sombong dan mudah tersinggung. Jadi kalua pemberi layanan mengidap AIDES MUTER, sementara pasien juga sama, ya wassalam. Game over.*