Diskursus Hukum dan Pemenuhan Hak Biokultural Pada Masyarakat Adat
Oleh : Dr Dewi Gunawati
Diskursus secara harfiah berarti “berlari bolak-balik”. Diskursus identik dengan wacana yang berwujud komunikasi lisan maupun tulisan.
Dalam dimensi filsafat, diskursus merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault yang terepresentasi sebagai sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran, dan gambaran yang selanjutnya membangun konsep suatu kultur atau budaya.
Diskursus dibangun oleh asumsi-asumsi yang umum yang kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan baik oleh suatu kelompok tertentu maupun dalam suatu periode sejarah tertentu.
Diskursus masyarakat adat hangat diperbincangkan dan selalu menarik untuk dibahas dalam ruang akademik maupun informal.
Penulis memilih istilah diskursus sebagai key word untuk menelisik secara mendalam keterhubungan antara operasionalisasi hukum terhadap pemenuhan hak biokultural. Model masyarakat adat memiliki kharakteristik yang unik.
Pertama, masyarakat tradisional yang memiliki corak hidup yang identik dengan nilai simbolis yang yang berinterelasi dengan eksistensi alam.
Kedua, model masyarakat prismatik, yaitu model masyarakat yang tipe perkembangannya mulai bergerak meninggalkan struktur asli yang sifatnya menyatu, tetapi belum sampai pada struktur masyarakat modern yang sifatnya terpecah. Dalam masyarakat prismatik orientasi tradisi dan modern saling melapisi.
Masyarakat prismatik merupakan masyarakat campuran antara nilai tradisional dan proses modernisasi di mana terjadi tumpang tindih diantara kedua nilai.
Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) memiliki 11 kecamatan. Salah satu kecamatan yang terletak di kaki Pegunungan Meratus adalah Kecamatan Hantakan.
Masyarakat Suku Dayak Bukit yang ada di Kalimantan Selatan (Kalsel) merupakan suku asli yang menempati daerah di pegunungan meratus.
Masyarakat adat di Kecamatan Hantakan, Kabupaten HST merupakan salah satu masyarakat adat yang masih survive dan memiliki keunikan yang khas dan tertampil dalam tipe masyarakat paguyuban yang terpatri pada kuatnya basis lisan.
Ekspresi berpikir dan perilaku tertampil dalam ungkapan yang tidak terkodifikasikan. Seiring perubahan zaman masyarakat adat terdampak perubahan sosial yang yang mendegradasi nilai dan perilaku kehidupan yang disesuaikan dengan kehidupan modern.
Namun sebagaian besar masyarakat masih berpegang pada nilai-nilai budaya luhur yang sifatnya religio magis dalam perhubungan transedental antara Tuhan, manusia dan alam.
Masyarakat adat di Kecamatan Hantakan memiliki corak hidup identik dengan nilai simbolis yang terkait dengan hubungan yang selaras dengan alam, lekat perhubungannya dengan hutan adat yang masih perawan yang sangat kaya akan plasma nuftah yang meliputi beragam jenis flora da fauna yang senantiasa terjaga akan perlindungan dan kelestariannya.
Pola kehidupan masyarakat sarat dengan kesederhanaan hidup terekpresi dalam pola pola perilaku dalam kehidupan: pola bangunan rumah yang terbangun dari kayu, pola hidup sederhana yang mengutamakan nilai ketenangan hidup yang jauh dari tehnologi transportasi modern dan kenyamanan dengan tradisional life style.
Pilihan hidup semacam ini bukan tanpa alasan. Alam bagi masyarakat adat bukan hanya “ruang tinggal”, melainkan juga “ruang hidup” atau “ruang yang hidup”.
Alam dianggap sebagai “manusia lain” yang mampu merespon tingkah laku manusia, baik ataupun buruk. Dalam posisi yang sakral, wajah alam menggambarkan kualitas hubungan manusia dengan Tuhan.
Olehnya, proteksi mereka terhadap lingkungan adalah keharusan. Masyarakat Adat di Kecamatan Hantakan memiliki keunikan mulai dari operasionalisasi model hukum, pola hidup, keyakinan dan interaksi sosial serta nilai –nilai kultur yang menjadi pemandu kehidupan.
Profil masyarakat adat di Kecamatan Hantakan mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, sektor pertanian menjadi basis utama yang menopang ketahanan pangan di desa tersebut.
Resiliene pangan berkelindan dengan hak biokultur. Hak Bio kultur identik sebagai seperangkat hak adat yang mencakup hak atas wilayah, ekosistem sumber daya alam (budaya, manifestasi belief system, agama, spiritualitas, teknologi tradisional) dengan kesadaran penuh keduanya berkaitan dan tidak terpisahkan.
Sejatinya keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan, saling mempengaruhi sehingga tidak ada pemisah yang jelas.
Konservasi meliputi kearifan lokal dan nilai masyarakat adat yang merupakan warisan budaya sehingga konservasi adat adalah konservasi yang holistic dan inklusif.
Hak biokultur pada masyarakat adat terpatri pada eksistensi komunitas sebagai pengampu ekosistem dan sumber daya alam.
Global Environment Facility (GEF) mengadopsi ‘inclusive conservation’ dalam strategi menjaga keanekaragaman hayati terbaru. Areal yang dikelola masyarakat adat dan masyarakat setempat di dunia ini mengandung 80 persen dari seluruh kenekaragaman hayati sedunia.
Kemudian, hasil penelitian membuktikan bahwa di mana hak masyarakat atas ruang hidupnya diakui dan dihargai, maka tingkat deforestasi lebih rendah, dan keterlibatan masyarakat adat sebagai aktor konservasi menghasilkan capaian yang lebih baik.
Deklarasi Belem oleh komunitas internasional etnologi dan etnoekologi pada tahun 1988 tentang keterhubungan pengetahuan masyarakat adat dan local thd tumbuhan, satwa, dan habitat dan relasinya juga penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan,hal ini menyanggah mengenai perlindungan terhadap alam yang murni dengan cara memagarinya dari aktivitas manusia. (Luisa Maffi, 2008:268-269)
Kebijakan konservasi seiring perkembangan zaman mengalami pergeseran paradigm dari prinsip konservasi untuk konservasi berubah konservasi yang memiliki fungsi sosial-ekonomi yg bermanfaat bagi masyarakat, masyarakat, UU No 5 Tahun 1990 belum banyak menyinggung hak biokultural, hanya Pasal 37 tentang peran serta masyarakat, namun peran masyarakat masih terbatas.
Rekognisi hak biokultural tersandera oleh ketentuan hukum yang terpatri pada pembuktian sebagai masyarakat hukum adat sebagaimana diatur Surat edaran No SE1/MenhutII/2013 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas kehutanan seluruh Indonesia.
Dalam surat edaran tersebut Menteri Kehutanan menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada menteri kehutanan.
Penetapan tersebut dilakukan bila masyarakat adat telah ditetapkan terlebih dahulu oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah.
Regulasi di atas menjadi kendala dalam pemenuhan hak biokultur pada masyarakat adat.
Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana ketermodernan hukum didukung oleh politik kodifikasi dan unifikasi yang dalam praktiknya bersinggungan dengan konteks komunitas lokal dengan keunikan dan pluralitasnya.
Indonesia sangat kaya akan hetergonitas masyarakat dari susunan masyarakat yang berlapis, aneka pola sistem kekerabatan, sistem politik bervariasi antara kesukuan, kerajaan dan republic modern.
Masyarakat adat merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki kharakteristik tersendiri yang berbeda dari masyarakat biasa. Masyarakat adat identik dengan perhubungan sosial yang termanifesi dalam makna simbolik.
Kebudayaan merupakan bentuk pertumbuhan masyarakat yang berkembang dalam ruang sosial. Ruang sosial lokal sangat berkelindan dengan hukum.
Tak jarang didapati hukum bersinggungan dengan budaya lokal. Kebersinggungan hukum dan budaya lokal beranjak pada sifat hukum yang identik berbentuk formal modern yang didesain secara sentral –nasional.
Satjipto Rahardjo, dikutip dalam Sahetapy, mengkonstantasikan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang sebagai hukum modern,belum ditunjang oleh pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum modern.
Pluralisme kukum di Indonesia. Pluralisme hukum (legal pluralism) identik dengan keragaman hukum. John Griffiths, menjelaskan, pluralisme hukum terepresentasi hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986:1).
Pluralisme hukum mengkritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism).
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut.
Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu.
Meskipun ada kaidah-kaidah hukum
lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan.
Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71).
Penelisikan lebih dalam ditemukan sejumlah kritik: (1) Pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan: (2) pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum.
Namun pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
Penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga.
Peradilan adat bersinggungan dengan eksistensi balai adat, Setidaknya terdapat 27 Balai Adat yang ditempati suku Dayak Meratus. Balai-balai yang ada di Kecamatan Hantakan menyebar dan berjauhan.
Akses untuk mencapainya susah, sehingga sering menghambat untuk melaksanakan kegiatan. Desa Haruyan Dayak.
Desa ini memiliki sebuah Balai adat yang bernama Balai Miulan. Balai tersebut digunakan sebagai tempat tinggal Balian (pimpinan adat) dan beberapa kepala keluarga jika ada ritual adat.
Luas balai Miulan sekitar 625 meter persegi, dengan kapasitas sekitar 25 kepala keluarga. Balai berbentuk segi empat dengan beberapa kamar di samping balai kemudian di tengahnya terdapat ruang terbuka yang digunakan untuk upacara adat.
Balai Miulan berbentuk seperti rumah panggung yang terbuat dari kayu, dengan tinggi pondasi sekitar satu meter dan tinggi bangunan sekitar tiga meter.
Balai Adat merupakan representasi media musyawarah adat dimana berfungsi sebagai wadah untuk rembug atau sharing pendapat dalam mengidentifikasi masalah, memetakan masalah dan menentukan strategi dan langkah jitu dalam mengatasi masalah bersama.
Eksistensi balai adat urgensif dalam mengatasi masalah krisis pangan. Resiliensi ketahanan pangan menjadi unsur dominan terhadap eksistensi kehidupan.
Salah satu fungsi resiliensi pangan dilakukan secara partisipatif disemua elemen masyarakat baik tua dan muda yang saling membahu dalam menjaga dan mengelola sember pangan dari berbagai gangguan.