BARABAI, metro7.co.id – Uji publik terkait Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang digelar di DPRD HST, Kamis (9/9/2021) lalu, dianggap tidak ideal dilaksanakan saat ini di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).

Sebab itu, Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Barabai mengeluarkan surat petisi untuk menolak dan meminta agar perda ditinjau kembali. Isi surat petisi tersebut:

Pertama, Menolak dan meminta Pemerintah Kabupaten beserta DPRD HST untuk meninjau dan menimbang kembali tentang perda pajak restoran sebesar 5% dengan pendapatan minimal diatas Rp4 juta/bulan, karena dinilai akan menindas pengusaha kecil apalagi dalam masa pandemi sekarang yang kita tidak tahu kapan akan usai.

Kedua, Meminta Pemkab lebih memperjelas izin usaha dan menindak tegas pengusaha yang melanggar aturan baik mengenai perizinan usaha ataupun perpajakan usaha, karena melihat UU Omnibuslaw akan berdampak luas dan rentannya kesenjangan sosial akibat kurang tertibnya penegakkan hukum didalamnya.

Ketiga, Meminta Pemkab ataupun DPRD lebih banyak membuka ruang publik khususnya kepada pelaku dalam bidang yang akan diperbarui perdanya ataupun seterusnya, hal ini salah satu poin penting yang kami rasa perlu dipenuhi juga oleh pemkab ataupun DPRD HST dalam mengambil kebijakan ataupun peraturan daerah, agar tak keluar Bahasa “yang Kaya Makin Kaya, yang Miskin Makin Miskin”.

“Kedepannya, kami dan masyarakat agar dapat dilibatkan langsung. Hal ini demi kita bersama dalam tatanan pemerintahan yang demokratis. Tentunya berjuang bersama dalam mewujudkan kesejateraan dan keadilan sosial,” kata Ketua PC PMII Barabai, Ahmad Maulana kepada Metro7, Jumat (10/9) malam.

Menurutnya, warung-warung kecil memang omsetnya bisa mencapai diatas Rp4 juta per bulan, namun di tengah pandemi saat ini.

Maulana yakin akan berdampak terhadap pendapatan, belum biaya upah pelayan dan sewa tempat.

“Jadi kami minta kepada Pemkab agar meninjau kembali kebijakan tersebut atau menaikan besaran omset objek yang dikenakan pajak,” tegasnya.

Sementara, salah seorang pelaku usaha kafe di Barabai, Andika Dwi Octavianto merasa kesal terkait digelarnya uji publik tersebut karena tak dilibatkan.

“Kami ini pelaku usaha tapi tak diberi tahu aturannya. Raperdanya tak pernah lihat. Diundang pun tidak,” ujarnya.

Ia meminta pemerintah untuk tidak menambah beban warga di tengah kondisi Covid-19 saat ini.

“Pengeluaran sekarang lebih banyak ketimbang pemasukan. Pemerintah acuh saja atas penderitaan kami ini,” tegasnya.

Menurut Andika, beratnya beban operasional kafe menambah derita para pengusaha kafe. Pasalnya uang sewa tempat tak pernah turun.

“Kalau sudah besar pengeluaran daripada pemasukan, bagaimana mau bayar pajak. Coba ada relaksasi,” bebernya.

Ia mengajak pelaku usaha lainnya juga agar mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Perda ini.

“Agar melahirkan suatu draf rancangan peraturan daerah yang benar-benar komprehensif, aspiratif dari semua stakeholder masyarakat, demi kenyamanan semua pihak dan kemajuan HST,” tuturnya.

Raperda yang sedang diuji publik yakni tentang pajak restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, mineral bukan logam dan batuan, parkir, air tanah, dan sarang burung walet. Anggota Pansus DPRD HST, Supriadi pun tak menampik jika uji publik ini tidak ideal.

Namun situasi pandemi menjadi salah satu alasan untuk tidak mengumpulkan orang banyak. Makanya peserta uji publik dibatasi dan hanya diundang para perwakilan saja.

“Penyampaian pendapat dan kritik bisa dilakukan lewat asosiasi, silahkan bersurat. Terkait ini ada banyak hal yang harus dikritisi,” katanya.

Sedangkan, Kabid Pajak dan Retribusi Daerah HST, Alipansyah meminta uji publik ini menjadi tanggungjawab bersama antara legeslatif dan eksekutif. Supaya pelaku usaha bisa mengetahui Perda yang sedang dibahas.

“Ini PR kita semua untuk mensosialisasikan Raperda tersebut. Supaya kalau sudah disahkan tidak muncul permasalahan,” pungkasnya.