KOTABARU, metro7.co.id – Perkara dugaan BBM solar bersubsidi membelit AN, tengah bergulir di meja hijau.

Sidang yang dihelat di Pengadilan Negeri Kotabaru, Senin (21/11/22), agendanya menghadirkan kesaksian saksi ahli dari pihak tersangka.

Dalam persidangan kali ini kuasa hukum AN menghadirkan dua orang saksi ahli.

Saksi ahli pidana Dr. Ahmad Saupi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan Ahli Hukum Migas Dr. Ahmad Redi, Dosen Fakultas Hukum Borobudur.

Saksi Ahli Hukum Pidana Dr. Ahmad Saupi, menyatakan ketentuan yang diutamakan itu harusnya sangsi administrasi diterapkan baru sangsi pidana terkait perkara yang disangkakan kepada eks anggota DPRD Kalsel ini.

“Sangsi administrasi itu sebenarnya yang utama dalam kasus AN ini, sedangkan sangsi pidana itu sebenarnya hanya membantu saja, jadi dalam perkara ini tidak benar langsung masuk kepidana,” kata Ahmad Saupi.

Dijelaskanya dalam Undang-Undang Cipta Kerja maupun PP sudah jelas diatur bahwa dalam perkara ini adalah sangsi administrasi.

“Sangsi administrasi itu berupa teguran secara lisan, peringatan tertulis, penghentian sementara operasional dan bila tetap melakukan pelanggaran maka izinnya akan dicabut,” jelas dia.

Menurutnya kasus ini harusnya jangan masuk ke pidana dulu, terkecuali sangsi administrasi itu dilanggar baru masuk ke pidana.

Pasal 55 Undang-Undang Migas, terkait dengan penyalahgunaan itu sebenarnya kata dia dalam pasal sudah dijelaskan bahwa yang harus dipidanakan itu terkait pengoplosan, penyimpangan peruntukan dan juga pengangkutan serta penjualan keluar negeri,

Adapun terkait menaikan harga di atas HET itu tidak disebutkan dalam Pasal 55 UU Migas.

“Berarti penjualan di atas harga head itu tidak memenuhi Pasal 55 dan tidak pas juga dipasang Pasal 55 dalam kasus AN ini,” tegas Ahmad Saupi.

Sedangkan Saksi Ahli Hukum Migas Dr. Ahmad Redi mengatakan Undang-Undang Migas, Undang-Undang 22 tahun 2021 Pasal 55 konteks hukum pidana itu ditujukan ke penyalur.

Karena harga subsidi itu sambungnya di Perpres 191 tahun 2014 itu penyalur wajib harga subsidi, padahal dalam konteks migas itu ada penyalur, ada agen ada stasiun.

“Harga subsidi itu wajib hanya kepada penyalur, kalau penyalur itu menjual BBM diatas harga subsidi dalam konteks saya harusnya dikenakan sangsi administrasi dulu bukan pidana, apalagi yang stasiun,” ujar dia.

“Kasus AN inikan saya lihat beliau bukan penyalur, karena beliau tidak ditetapkan oleh menteri SDM sebagai penyalur, penyalur itu ada 3 perusahaan di Kabupaten Kotabaru ini dua yang kerja sama dengan Pertamina dan satu AKR,” kata dia.

“Secara pidana maupun secara administrasi negara, ibu AN ini tidak bisa dikenakan pertanggungjawaban sangsi pidana ataupun sangsi administrasi negara,” ujarnya.

Dalam konteks ini menurut dia dipermasalahkan sampai dipersidangkan berlebihanlah, sedangkan dalam konteks hukum minyak gas dan bumi secara hukum administrasi negara serta pidana tidak ada.

“Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan hukum khususnya migas harusnya tidak sampai ke pengadilan, apalagi jelas dalam Undang-Undang Cipta Kerja itu investor harus dilindungi bukan harus di pidana,” jelas Ahmad Redi.

Ketua Tim pengacara AN, Dr Fauzan Ramon, SH, MH mengatakan kleinnya dalam persidangan ini memegang azas praduga tidak bersalah, belum ada putusan pengadilan.

“Dari keterangan dua saksi ahli tadi dan juga lima saksi adichat dari pembuat kesepakatan dan nelayan bahwa perkara ini tidak memenuhi di Pasal 55 itu tindak pidana dan ini dikatakan oleh saksi ahli hukum pidana dan saksi ahli hukum migas itu hanya dikenakan hukum administratib, peryataan ini bukan dari kami selaku tim pengacara AN,” ucap dia.

Dilanjutkannya dari keterangan para saksi, selaku tim pengacara AN, perkara ini sangat dipaksakan.

“Mudah-mudahan hakim bisa bijaksana atas case manfaatnya itu dan apa yang kami tangkap dari keterangan kedua saksi ahli tadi, klein kami tidak perlu dipidakan dan ini kan bisnis lain halnya perkara narkoba, korupsi baru bisa dikenakan sangsi pidana.