Membangun Sensitivitas Iklim Masyarakat Dalam Domein Ecological Citizenship
Oleh: Dr. Dewi Gunawati, S.H, M.Hum
Isu perubahan iklim sebagai sexist isuues yang berkembang pesat di Benua Eropa, menilik tulisan John C Dernbah dan Seema Kakade dalam artikel “Climate Change law: An Introduction” in Energy Law Journal merefleksikan isu perubahan iklim dalam sebuah pendekatan komprehensif.
Tulisan Jaquline Peel yang ditulis di artikel Melbourne University Law Review “Climate Change Law: The Emergence of a New Legal Dicipline yang membahas suatu mata rantai yang saling berkait antara publikasi formal dan informal mengenai isu lingkungan yang berdampak pada peningkatan kapasitas masyarakat yang berpengaruh pada proses pengambilan keputusan publik.
Merujuk laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), terjadi peningkatan suhu bumi sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1.8 – 4°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999.
Secara umum kenaikan temperatur rata-rata di wilayah Indonesia sebesar 0.5 – 3.92 C pada tahun 2100 dari kondisi baseline tahun 1981-2010, sedangkan suhu udara minimum akan mengalami peningkatan sebesar 0.04 – 0.07 C.
Sedangkan untuk curah hujan, berdasarkan data pengamatan telah terjadi pergeseran bulan basah dan kering. Intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian utara dan Kalimantan, sedangkan curah hujan rendah dan durasi hujan lebih panjang terjadi di bagian selatan Jawa dan Bali. (http://pojokiklim.menlhk.go.id/)
Antonio Guteres Sekjen PBB dalam pidato di Glass gow dalam COP 26 mengilustrasikan kondisi bumi yang terancam karena dampak perubahan iklim karena perilaku manusia yang mengeksploitasi keanekaragaman hayati, bunuh diri sendiri dengan karbon, memperlakukan alam seperti toilet, membakar, mengebor, dan menambang lebih dalam.
Kondisi ini harus menjadi perhatian umat manusia jika semua umat manusia tidak kompak bersama dimaknai sebagai bunuh diri bersama. (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211102105758-134-715392/sekjen-pbb-soal-perubahan-iklim-setop-perlakukan-alam-bak-toilet.)
Greta Thurnberg, Pejuang lingkungan cilik yang mendapat apresiasi global sebagi Person of The Year , Majalah Time 2019, mencecar bencana sebagai bentuk destruksi massal umat manusia. Ahli sains bersepakat menyebut dampak perubahan iklim sebagai katastrofi, yang megindikasikan ketidakberaturan siklus alam sebagai akibat ulah umat manusia yang berdampak pada eksistensi kehidupan manusia di bumi.
Rilley Dunlap, seorang pakar lingkungan hidup dan sosiolog dari Universitas Oklahoma, menjelaskan bahwa destruksi lingkungan terjadi karena perilaku manusia yang memiliki sesat pikir terhadap sumber daya manusia yang tidak terbatas. Pertumbuhan produksi dan konsumsi dengan indikator-indikator ekonomi menjadikan legitimasi dominasi manusia terhadap alam (Buttel, 2010).
Penelisikan terkait dampak perubahan iklim dalam dimensi ekologi berkelindan dengan 4 faktor penyebab menurut Bruce Mitchel meliputi: Perubahan dalam domein sosial, ekonomi dan politik yang terpadu dalam nuansa decision making process berdampak pada perubahan iklim), Kompleksitas (Ketidakpastian atas diametral informasi dan persepsi terhadap lingkungan), Konflik (diametral kepentingan dalam pengalokasian keputusan bersinggungan dengan perbedaan pandangan,ideologi dan harapan).
Mencermati uraian faktor penyebab diatas maka urgen untuk melakukan refleksi ulang terkait paradigma pemanfaatan sumber daya alam dalam menjamin kualitas hidup yang lebih baik bagi keberlanjutan generasi yang akan datang.
Peneropongan mendalam dampak perubahan iklim sejatinya bersinggungan dengan pandangan dunia (world views ) terhadap kebijakan nasional yang terintegrasi dalam praktik pembangunan di suatu negara.
Design konsep pembangunan mengalami transformasi multi-intepretetable yang sejatinya merupakan projected reality yang menjadi acuan dalam proses pembangunan namun acap kali Jadi ideologi of developmentalism melalui mata rantai pemitosan dan demistifikasi paradigma pembangunan.
Krisis ekologi berakar pada perilaku manusia dalam bentuk pola produksi dan pola eksesif dan tidak ramah lingkungan yang tertampil pada polusi global oleh perilaku negara maju yang berlebih dalam konsumsi energi fosil (luxury emmision) (Eco Newsletter,2008:35).
Fakta historis bahwa negara maju merupakan biang kerok perubahan iklim dan peletak batu pertama model pembangunan modern yang eksploratif, disisi lain negara maju sebagai penyumbang emisi terbesar bukannya tidak mampu mengurangi emisi domestik, tapi tidak ingin melakukan tindakan tersebut karena akan mengubah cara hidup mereka yang terlanjur nyaman dan mapan dalam mengkonsumsi bahan bakar penyebab GRK. di Amerika, misalnya jika melakukan investasi efisiensi energi dan energi bersih pada tahun 2020 diperkitakan akan memotong emsi CO2 dari industri power hampir mencapai 50 persen di bawah level 1990 dan menabung $350 per tahun dari rata-rata kebutuhan energi rumah tangga.
Satu studi yang memperkirakan pengembangan 20 persen sampai 30 persen dalam perekonomian Amerika akan meningkatkan Gross domestic Product (GDP) kira-kira 0,1 pada tahun 2030 dan menghasilkan perolehan total antara 0,5 sampai 1,5 juta pekerjaan. (Bernadinus Steni,2012:37)
Berbagai perihal kerusakan lingkungan yang terjadi menginisiasi sebuah gerakan yang bernama “ecological citizenship” atau kewarganegaraan ekologis yang muncul pada tahun 1990 di Kanada.
Ecological citizenship muncul sebagai domino atas keterpurukan negara-negara khususnya di Eropa yang secara signifikan menyebabkan kerusakan lingkungan, karena tidak melindungi dan mengelola lingkungan.
Dampak yang ditimbulkan dari parahnya perilaku tidak sadar lingkungan menjadikan inefektifitas dalam penggunaan sumber daya alam yang berdampak pada pergeseran atau pengalihan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara beralih ke tangan asing atau korporasi sehingga dapat dipastikan pengelolaannya tidak mengindahkan kebutuhan atau hak masyarakat atau mayoritas namun mengalir pada kelompok tertentu. Fenomena tersebut menyiratkaan adanya kooptasi dalam pengelolaan sumber daya yang seharusnya dapat dinikmati oleh hajat hidup orang banyak.
Definisi kewarganegaraan ekologis dari Kennedy (2011) adalah memasukkan dimensi budaya informasi yang berbasis lingkungan. (Jagers, 2014) menafsirkannya dengan keadilan sosial, menantang perbedaan publik-swasta dan tanggung jawab. (D, 2009) mendefinisikan sebagai kegiatan yang berusaha untuk memiliki suara keadilan bagi masyarakat miskin pedesaan, masyarakat adat dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.
(D, 2009) Anantharaman (2014) (Anantharaman, 2014) menyoroti keterlibatan sukarela oleh individu-individu melalui mata pencaharian dalam menghasilkan sistem perilaku peduli lingkungan, sedangkan Smith & Pangsapa (2008) melihat pada aspek politik kewajiban pada ikatan antar aktor seperti organisasi sipil, pemerintah, dan badan antar pemerintah. Pencegahan masalah-masalah lingkungan dengan membentuk kewarganegaraan ekologis dapat dilakukan melalui LSM dan komunitas lainnya yang kompromi dan adil untuk mencapai keseimbangan pengelolaan sumber daya alam (Keulartz, 2018). (Smith&Pangsapa, 2008).
Sensifitas mengilustrasikan ekspresi jiwa yang penting dalam kehidupan seseorang. Sensifitas terlihat secara signifikan di dalam perilaku seseorang. Seseorang yang memiliki rasa kepekaan, terikat, memiliki empati, termotivasi bahkan mampu memberdayakan dirinya sendiri meskipun tidak ada stimulan.
Sensifitas masyarakat terhadap lingkungan merupakan salah satu telaah ecological Citizenship yang terfokus pada komitmen individua atau komunitas untuk menghargai lingkungan, penghargaan terhadap lingkungan dilakukan melalui kepemilikan atas pengetahuan lingkungan yang dilakukan melalui learning to know about environment/ Pengetahuan tentang lingkungan mencakup : Physical environment, menunjuk pada lingkungan natural seperti temperatur, curah hujan, iklim, wilayah giografis, flora dan fauna. Cultural social Environment, meliputi aspek-aspek kebudayaan beserta proses sosialisasi seperti: norma-norma, adat-istiadat, dan nilai-nilai.
Environmental Orientation and Representation, mengacu pada persepsi dan kepercayaan kognitif yang berbeda-beda pada setiap masyarakat mengenai lingkungannya. Environmental Behavior and Process, meliputi bagaimana masyarakat menggunakan lingkungan dalam hubungan sosial.
Out Carries Product, meliputi hasil tindakan manusia seperti membangun rumah, komunitas, kota, beserta usaha-usaha manusia dalam memodifikasi lingkungan fisik seperti budaya pertanian dan iklim.
Sensifitas dalam telaah budaya jawa semakna dengan “handarbeni” Handarbeni merupakan bagian dari prinsip kepemimpinan yang diperkenalkan oleh Mangkunegara IV di dalam Serat Wedhatama, yang kemudian dikenal sebagai Tri Dharma.
Ketiga dharma yang dimaksud ini menurut (Saddono, 2013) memiliki makna sebagai: (1) rumangsa melu handarbeni (dimaknai rasa memiliki), (2) Wajib melu hanggondheli (hangrungkepi) (dimaknai sebagai having sense of defence atau mempertahankan), (3) Mulat sarira hangrasa wani (dimaknai sebagai after self-awareness have a braveness to actatau mawas diri).
Rasa memiliki diwujudkan dalam perilaku memperhatikan kebersihan lingkungan, merawat sarana dan prasarana aset lembaga. Handarbeni tidak sebatas rasa memiliki, namun ada perasaan terlibat di dalam organisasi sehingga muncul rasa tanggung jawab atas nasib dan keberlanjutan organisasi.