Menggagas Model Pendidikan Alternatif Melalui Keterlibatan Komunitas di Masyarakat Adat HST
Oleh : Dr Dewi Gunawati, S.H, M.Hum
Apresiasi penulis dalam peringatan Hari Anak Nasional tahun ini melalui sajian tulisan yang terepresentasi pada isu akses pendidikan pada masyarakat adat.
Tema peringatan hari anak nasional tahun ini “Anak terlindungi, Indonesia Maju”. Tema ini mengimplementasikan komitmen pemerintah dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM.
Implementasi HAM tertuang dalam RAN HAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia) diatur dalam Perpres No 53 Tahun 2021 Tentang RANHAM 2021 – 2025.
Dasar rasional anak masuk sasaran RAN HAM berdasarkan pertimbangan:
1. Belum optimalnya pemenuhan hak dasar anak khusunya anak dalam kondisi khusus 2. Kerentanan anak terhadap diskriminasi, eksploitasi, steriotipe dan kekerasan sehingga berdampak secara fisk dan psikologis.
Sub tema dalam peringatan Hari Anak Nasional adalah Anak Tangguh Pasca Pandemi Covid-19. Istilah tangguh semakna dengan kuat. Kekuatan yang dimiliki pribadi seseorang yang pantang menyerah terhadap apapun kejadian yang menimpanya. Terkadang, kita pernah terjebak pada permasalahan hidup yang membahayakan keberlangsungan masa depan kita.
Jules Evan Pendiri The London Philosophy Club, Direktur Pusat Studi The History of The Emotions di Queen Mary, University of London penulis filosofi kehidupan memberikan kiat agar kita mampu mengatasi masalah dalam hidup, meminimalisir emosi yang berlebihan, mengatur ekspekstasi, menjaga kendali diri lebih bijaksana, hingga mengenal prinsip menikmati hidup agar lebih tangguh menjalaninya.
Berbicara tentang anak berkelindan dengan potensi anak yang memiliki ciri dan sifat khusus yang harus dipahami oleh semua entitas. Tanggung jawab anak akan tertunaikan ketika pemahaman yang benar tentang anak dapat diterima dalam wujud perhatian, kesempatan seluas-luasnya untuk perkembangan fisik, mental, sosial, karakter anak dan jaminan terhadap perlakukan yang manusiawi yang berdampak pada kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Akses pendidikan menjadi trend topik yang hangat diperbincangkan dalam lintasan massa. Tulisan ini terfokus pada akses pendidikan anak pada Komunitas Adat Terpencil yang dimaknai sebagai sekumpulan orang dalam jumlah tertentu yang terikat oleh kesatuan geografis, ekonomi, dan/atau sosial budaya, dan miskin, terpencil, dan/atau rentan sosial ekonomi. Sebagaimana yang terdapat di Dusun Mangga Jaya, Desa Aing Bantai, Lembah Pegunungan Meratus, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Benang merah akses pendidikan bergayut dengan entitas sosial yaitu keterlibatan komunitas lokal atau adat. American Psychologist Association mendefinisikan civic engagement sebagai individual and collective actions designed to identify and address issues of public concern, “tindakan individu dan kolektif yang dirancang untuk mengidentifikasi dan mengatasi isu-isu yang memprihatinkan publik (Karliani, 2014: 75).
Keterlibatan warga negara memungkinkan dalam pembentukan identitas, melalui memberikan rasa agensi akan tujuan, dan upaya membangun keterampilan dan hubungan (Pancer, 2015).
Akses pendidikan sejatinya merupakan kemudahan atau kesempatan terlibat dalam program pendidikan. Akses terwujud dalam berbagai rupa: nondiskriminatif, kebijakan politik non diskriminatif, aksesibilitas sarana prasarana fisik, media, sumber belajar, keterjangkauan operasional pendidikan.
Penelisikan penulis dilapangan ditemukan masalah yang berkelindan dengan minimnya akses pendidikan yang berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan.
“Kurikulum Merdeka Belajar” yang digaungkan pemerintah pun masih menjadi sebuah pertanyaan besar terkait implementasi pemerataan pendidikan. Masih banyak sekolah-sekolah di berbagai daerah terpencil yang sangat membutuhkan sarana prasarana untuk belajar, membutuhkan sumber belajar yang memadai dan sumber daya manusia yang tangguh akan berbagai kompleksitas masalah dan tantangan serta jaringan listrik serta sinyal yang membantu proses pembelajaran.
Minimnya Akses pendidikan terepresentasi secara nyata di Dusun Mangga Jaya, Desa Aing Bantai, Lembah Pegunungan Meratus, Kecamatan BAT, Kabupaten HST.
Gambaran perjalanan menuju Dusun Mangga Jaya yang melewati kawasan Hutan Lindung di Pegunungan Meratus Kabupaten HST ditempuh dengan estimasi perjalanan sekitar tiga hari dari Barabai.
Kondisi desa ini sangat memprihatinkan, tidak ada ruang sekolah, sehingga anak-anak memfungsikan “Balai Adat” sebagai alternatif tempat belajar, media komunikasi, informasi dan edukasi yang yang Jauh ditengah rimba dengan ketiadaan akses transportasi, listrik dan sinyal.
Paket pendidikan yang ada baru setingkat Paket A itupun kondisinya minim dukungan. Anak-anak di Dusun Mangga Jaya sejatinya merepresentasikan anak tangguh. Ketangguhan anak terlihat pada kekuatan secara fisik, mental, psikologis dalam menghadapi dinamika kehidupan yang masih dibawah standar.
Ketangguhan mental ini didasari dari sifat optimisme yang menyemuti pola pikir anak. Semangat anak-anak untuk belajar walau di dalam balai adat mendeskripsikan kekuatan anak yang haus akan informasi, belajar mengasah kepekaan, kewaspadaan, dan ketrampilan diri agar tetap produktif.
Ketangguhan anak ditopang oleh motivasi dan perjuangan komunitas Akar Bukit yang berlokasi di Desa Palajau RT 1 RW 1 No 14, Kecamatan Pandawan, Kabupaten HST. Melalui slogannya “Aksi Karya Bubuhan Kita, Aksi Karya Bumi Kita, Aksi Karya untuk Banua Kita.” Slogan tersebut menyiratkan empati dan simpati yang berwujud kontribusi nyata untuk membantu sesama.
Mencermati ilustrasi kondisi diatas, pemberdayaan menjadi sebuah ‘panacea’ dalam mengatasi permasalahan minimnya akses pendidikan yang dihadapi melalui eksistensi dan peran komunitas lokal atau adat. (Lilik Tahmidaten, 2016, hal: 10).
Pemberdayaan merupakan upaya untuk mengubah keadaan dan mencapai kemandirian. Kemandirian meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengontrol aktivitas atau kegiatan.
Sejatinya akses pendidikan pada masyarakat adat sangat bergayut dengan masalah kultural yang lebih terpatri pada mind set atau life word pengampu komunitas adat yang mana pelayanan pendidikan tidak terorientasi secara homologal atau merujuk pada standar nasional namun lebih terpatri pada karakteristik budaya yang memiliki kebenaran dalam konteks.
Kesejatian kebenaran sesuai konteks dalam bahasa Bernard L Tanya adalah ruang hidup dan ruang tinggal masyarakat adat yang terkadang belum dipahami dengan baik oleh seluruh elemen bangsa.
Komunitas lokal atau adat diyakini mampu beradaptasi dan bersinergi terhadap perubahan untuk selanjutnya mendinamisasi perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dilingkup adat.
Komunitas adat sejatinya merupakan pengampu atas pelayanan pendidikan yang diselaraskan dengan kharakteristik kultur adat dalam rupa kebenaran yang diyakini akan nilai budaya yang merupakan penciri kharakter masyarakat adat.
Alternatif Model Pendidikan berbasis Komunitas adat
Model pemberdayaan pendidikan berbasis komunitas sangat urgensif untuk dikaji dalam ranah filosofis, bahwa pendidikan adalah hak yang sifatnya azazi bagi seluruh manusia.
Dimensi yuridis, melalui penerbitan UU Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 2010, serta Permendikbud Nomor 72 Tahun 2013 menjadi payung hukum pemberdayaan pendidikan bagi komunitas adat.
Namun, peneropongan implementasi kebijakan diatas menyiratkan adanya kesenjangan pada tataran implementasi kebijakan pelayanan pendidikan bagi masyarakat adat.
Pada tataran praktik justru eksistensi komunitas lokal atau adat menjadi ujung tombak dalam membuka akses pendidikan melalui pendampingan.
Mencermati realitas tersebut selanjutnya perlu menjalin sinergitas yang selaras antara komunitas adat dan pemerintah daerah dalam mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar pendidikan bagi anak.
Eksistensi keterlibatan Komunitas Akar Bukit
Kehadiran komunitas lokal merupakan bentuk pergerakan sosial untuk membangun masyarakat yang mengalami kemiskinan dan kesenjangan. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa aspek, salah satunya kebutuhan dasar yang belum tercukupi.
Adler dan Goggin (2005: 238) dalam Journal of Transformative Education, menjelaskan bahwa definisi tentang civic engagement dibagi ke dalam berbagai pengertian yang mengacu pada jenis-jenis aktivitas tertentu yang meliputi:
A. Civic Engagement sebagai Layanan Masyarakat merujuk pada kerlibatan sipil yang menekankan partisipasi dalam layanan sukarela kepada komunitas lokal seseorang, baik oleh individu yang bertindak secara mandiri atau sebagai peserta dalam kelompok.
B. Civic Engagement sebagai Tindakan Kolektif, terfokus pada tindakan yang diambil secara kolektif untuk meningkatkan masyarakat.
C. Civic Engagement sebagai Tindakan Politik yang berinterelasi dengan tindakan pemerintah.
Keterlibatan sipil berbeda dari etika pelayanan individu dalam hal mengarahkan upaya individu menuju tindakan kolektif dalam memecahkan masalah melalui proses politik kita.
Tulisan (hudori, dewi gunawati, triana) yang ternukil dalam artikel “civic engagament kampoeng baca pelangi community in educatingand reducing psychological impacts for child victims of the lombok earthquake” mendeskripsikan bentuk pemenuhan akses pendidikan anak di Lombok pasca bencana gempa bumi dilakukan melalui edukasi anak tentang dampak bencana alam yang diinisiasi oleh komunitas kampung baca pelangi melalui:
1. Mengidentifikasi anak-anak yang terdampak bencana dan merencanakan kegiatan yang tepat untuk mereka.
2. Menyediakan waktu untuk anak-anak diskusi mengenai bencana.
3. Menyediakan kegiatan diskusi kelompok untuk anak.
4. Menyarankan anak-anak untuk tidak terlalu banyak mengonsumsi berita.
5. Mendorong anak-anak untuk melanjutkan jika memungkinkan.
Sedangkan untuk mengurangi dampak bencana alam, komunitas Kampoeng Baca Pelangi menerapkan strategi konseling traumatis. Konseling traumatis dibagi menjadi tiga tahap yaitu, Konseling tahap awal, Konseling tahap tengah dan Konseling tahap akhir.
Melalui program pemberdayaan komunitas akan mengurangi kerentanan masyarakat dan lingkungan sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan komunitas masyarakat dalam mengatasi dan mengurangi risiko bencana yang terjadi. Sehingga, secara tidak langsung, meminimalisasi kerugian ekonomi dan tidak menghambat proses pembangunan.
Komunitas Akar Bukit, Kabupaten HST merupakan agent of change yang menjadi role model bagi generasi muda dalam memupuk sikap peduli sosial dan keterlibatannya dalam berbagai kegiatan sosial.
Keterlibatan komunitas akar bukit mengaplikasikan bentuk Civic Engagement sebagai Layanan Masyarakat merujuk pada kerlibatan sipil yang menekankan partisipasi dalam layanan sukarela kepada komunitas lokal seseorang, baik oleh individu yang bertindak secara mandiri atau sebagai peserta dalam kelompok.
Komunitas Akar Bukit hadir menghilangkan dahaga dan mencoba menjembatani segala permasalahan dalam masyarakat dengan menyediakan wadah gerakan gotong-royong pendidikan dan saling berbagi untuk Masyarakat Lembah Pegunungan Meratus Dusun Mangga Jaya.
Eksistensi komunitas ini bergerak pada bidang KIE (komunikasi, Informasi dan edukasi). Wadah penyambung lidah masyarakat dan pemerintah serta stakeholders berkait dengan kompleksitas masalah yang dihadapi.
Tujuan pergerakan komunitas ini melalui kegiatan yang berbasis pada Ekspedisi Lembah Pegunungan Meratus bertujuan untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan gotong-royong kepada masyarakat luas, meningkatkan kesejahteraan dan semangat pendidikan anak – anak di Dusun Mangga Jaya, berbagi bingkisan penunjang pendidikan di Dusun Mangga Jaya, mengangkat isu ketimpangan pendidikan dan segala potensi lokal yang ada di Dusun Mangga Jaya melalui liputan jurnalistik.
Target Anak-Anak dan Masyarakat Pegunungan Meratus Dusun Mangga Jaya, Desa Aing Bantai, Kecamatan BAT, Kabupaten HST.
Model pendidikan alternatif pada masyarakat adat sejatinya merupakan refleksi dari model pembelajaran John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950: 89 90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011).
Pendidikan bermakna rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya.
Pendidikan berkutat pada kemandirian siswa melalui pengalaman belajar yang dimiliki, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, serta menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Model pendidikan John Dewey merupakan bentuk model pendidikan alternatif yang yang dapat diterapkan dalam domein formal, informal ataupun nonformal.
Metode pembelajaran yang disajikan mampu menumbuhkan nurture effect bagi peserta didik, yang terpatri pada nilai budaya yang dilestarikan secara turun temurun dan berkelanjutan.
Sentuhan yang diberikan dalam pendidikan alternatif adalah repersentasi keikhlasan dalam mendidik anak anak yang disesuaikan dengan civic culture yang ada. Mari kita bersama-sama berjuang untuk kemajuan anak bangsa, nasib mereka terletak dipundak kita, mari wujudkan anak tangguh dan Indonesia maju.