BANJARMASIN, metro7.co.id – Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) adalah sektor yang telah memberikan kontribusi nyata dan berperan vital dalam perekonomian bangsa.

Data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,97 persen atau senilai Rp8.573,89 triliun.

Selain itu, sektor ini menyerap sekitar 117 juta pekerja atau 97 persen dari total tenaga kerja yang ada serta mampu menghimpun hingga 60,4 persen dari total investasi.

Angka-angka tersebut sangat besar dan menunjukkan betapa pentingnya sektor UMKM dalam menopang kemajuan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

UMKM hadir di keseharian kita, menyediakan beragam hal yang menjadi kebutuhan masyarakat. Mulai pakaian, sembako, makanan, minuman, peralatan rumah tangga, pulsa telepon, kuota internet, dan lain sebagainya. Keberadaan mereka tersebar dimana-mana, bahkan sampai daerah terpencil sekalipun.

Dengan demikian, signifikansi UMKM tidak terbantahkan, terutama dalam membantu peningkatan penghasilan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, serta pengurangan pengangguran.

Memperhatikan kondisi faktual di atas, sektor UMKM harus terus didorong untuk maju dan berkembang. Naik level atau graduasi, tidak hanya berkutat di level mikro, tapi bisa merangkak hingga menengah, besar bahkan korporasi. Tidak mudah memang, karena UMKM pada kenyataannya dihadapkan dengan berbagai persoalan.

Semisal, lokasi usaha, penjualan produk, pemasaran merk (branding), penggunaan teknologi, kapasitas teknis dan Sumber Daya Manusia (SDM). Juga, yang seringkali mengemuka adalah aspek permodalan.

Tidak selalu menjadi faktor penghambat namun ketiadaan modal jelas mengurangi kemampuan UMKM untuk hidup, berekspansi dan berdaya saing.

Maka, pemerintah perlu memberikan atensi serius dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada sektor UMKM. Salah satunya melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Program yang sudah berlangsung sejak tahun 2007 ini diartikan sebagai kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.

Sasaran penerima KUR adalah usaha mikro, kecil dan menengah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP RI) Nomor 7 Tahun 2021, usaha mikro mempunyai kriteria modal usaha maksimal Rp1 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau hasil penjualan (omzet) tahunan sebanyak-banyaknya Rp2 miliar.

Usaha kecil, modal usaha antara lebih dari Rp 1 miliar sampai dengan maksimal Rp 5 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau omzet tahunan antara lebih dari Rp2 miliar sampai dengan sebanyak-banyaknya Rp15 miliar. Sementara usaha menengah, modal usaha antara lebih dari Rp5 miliar sampai dengan maksimal Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau omzet tahunan antara lebih dari Rp15 miliar sampai dengan sebanyak-banyaknya Rp50 miliar.

Penyaluran KUR dilakukan oleh lembaga keuangan dan koperasi, konvensional maupun syariah, termasuk bank umum yang tergolong dalam Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

KUR yang disalurkan terdiri atas 5 jenis, yaitu KUR super mikro (plafon Rp 10 juta), KUR mikro (plafon >Rp10 juta – Rp100 juta), KUR kecil (plafon >Rp100 juta – Rp500 juta), KUR penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan KUR khusus (sistem kluster).

Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, hingga akhir tahun 2022 realisasi KUR sebesar Rp365,50 triliun dengan penerima berjumlah 7,62 juta debitur.

Realisasi ini nominal maupun penerimanya terus mengalami kenaikan setidaknya dalam 5 tahun terakhir, seiring dengan penetapan target yang juga meningkat pada periode 2018-2022.

Di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sendiri, penyalurannya mencapai Rp3 triliun atau yang terbesar di regional Kalimantan.

Memperhatikan nilai strategis program KUR terhadap perekonomian nasional, khususnya pengembangan UMKM, diperlukan pengawasan dari pihak-pihak yang berwenang agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.

Dalam konteks pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia berwenang melakukan pengawasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Hal ini dengan mengingat bahwa program KUR masuk dalam ruang lingkup pelayanan publik dan penyalurannya dilaksanakan oleh para penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat dan daerah sertaBUMN/D yang pendanaannya bersumber dari anggaran negara/daerah.

Tidak hanya secara nasional, pengawasan ORI dijalankan pula di tingkat perwakilan. Kantor Perwakilan ORI Kalsel melayani debitur KUR maupun masyarakat pada umumnya yang ingin berkonsultasi atau menyampaikan pengaduan terkait permasalahan KUR yang dihadapinya.

Pengaduan kemudian ditindaklanjuti menjadi Laporan Masyarakat (LM) yang diselesaikan dengan mekanisme reguler atau Respon Cepat Ombudsman (RCO).

Ada beragam keluhan atau pengaduan yang diterima Ombudsman Kalsel. Pertama, terkait aksesibilitas produk KUR. Boleh jadi suatu UMKM tergolong produktif dan layak tapi ternyata belumbankable atau menurut bank belum memenuhi persyaratan, sehingga calon debitur tidak bisa mengakses produk dimaksud.

KUR semestinya menyediakan akses pembiayaan yang mudah bagi UMKM namun seringkali pemohon merasa kesulitan dalam memenuhi persyaratan dari penyalur KUR.

Contohnya, menyangkut keterangan/perizinan usaha,Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pembuatan laporan keuangan dan pembebanan biaya asuransi.

Selain itu, kesulitan yang banyak dialami calon debitur adalah penyediaan agunan tambahan. Padahal jelas diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 bahwa agunan tambahan tidak diberlakukan bagi KUR dengan plafon pinjaman sampai dengan Rp100 juta.

Aturan tersebut bahkan menegaskan sanksi bagi pelanggaran norma ini, yaitu subsidi bunga/subsidi margin KUR tidak dibayarkan atas penerima KUR yang bersangkutan.

Berikutnya terkait kualitas kredit, tidak selamanya UMKM yang menikmati fasilitas KUR akan berkembang baik. Ada risiko mereka gagal bayar (default) karena bermacam faktor, seperti perubahan regulasi, penataan kawasan, penurunan omzet, persaingan dan permasalahan pribadi atau rumah tangga.

Oleh karena itu, sangatlah penting setelah pencairan kredit ada kegiatan pemantauan secara berkala, agar dapat dimitigasi sedini mungkin terjadinya kredit macet atau penurunan kualitas kredit. Penyalur KUR tentu berkepentingan fasilitasnya berjalan lancar supaya dana yang dikeluarkannya kembali dengan aman. Akan tetapi harus ada upaya menuju kesana.

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 menetapkan bahwa kementerian/lembaga teknis dan pemerintah daerah (pemda) diminta melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap UMKM yang sedang menerima fasilitas KUR sesuai sektor atau wilayah masing-masing, termasuk mengalokasikan anggaran untuk keperluan dimaksud.

Jadi, dibutuhkan sinergi antara penyalur KUR dengan pemerintah pusat dan daerah dalam menjaga kualitas kredit sekaligus usaha debitur, sehingga ketika ada tendensi UMKM ‘batuk-batuk’ dapat teridentifikasi lebih awal, dan pengajuan permohonan restrukturisasi sebagai salah satu upaya penyelamatan kredit bermasalah bisa diproses dengan cepat, berbasis hasil pembinaan dan pemantauan berkala yang dilaksanakan.

Poin keluhan lainnya pada saat pelunasan KUR. Ini terutama bagi debitur yang ingin mengajukan pelunasan dini baik karena murni berhenti meminjam, berubah skim pinjaman atau mengalami graduasi maupun pindah ke penyalur KUR yang lain.

Tergantung alasannya, penyalur KUR, khususnya perbankan, memiliki pendekatan yang berbeda dalam penanganannya. Maka, diperlukan sosialisasi di awal dan informasi yang jelas mengenai mekanisme pelunasan dini, terutama persyaratan dan biaya/dendanya apabila ada, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Pada dasarnya program KUR merupakan ikhtiar pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia sesuai Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan ada penyimpangan atau maladministrasi, sehingga dibutuhkan pengawasan bersama termasuk oleh Ombudsman RI.

Diharapkan dengan demikian, KUR terserap secara optimal dengan pelayanan yang berkualitas dan tingkat kolektibilitas kredit yang lancar, serta dapat membawa dampak positif bagi terwujudnya UMKM yang sehat, mandiri dan berdaya saing tinggi.