TANJUNG, metro7.co.id – Kalangan birokrat di kontestasi pilkada Tabalong dianggap memiliki tuah tertentu. Perebutan kursi bupati di kabupaten tersebut oleh sebagian orang dikaitkan dengan mitologi, sebuah kepercayaan yang meyakini dewi fortuna atau keberuntungan selalu memihak calon berlatar belakang birokrat. Apakah demikian?.

Pemerhati politik banua, Kadarisman mengatakan, bahwa mitologi atau cocokologi yang berkembang di masyarakat merupakan khasanah berpikir yang dibasiskan pada kejadian empirik masa lalu.

Menurutnya tidak dapat dibantah, bahwa di Tabalong khususnya unsur birokrat selama ini selalu memenangkan perpolitikkan di Tabalong dibandingkan unsur politisi dan pengusaha.

“Digdayanya birokrat dalam percaturan politik di Tabalong tak dapat dibantah. Sejarah memang mencatat seperti itu. Bagi masyarakat Tabalong, birokrat dinilai sebagai teknokrat yang punya basis keilmuan mengelola pemerintahan. Jadi bukan sekadar mitologi atau cocokologi,” jelas Kadarisman.

Mantan aktivis HMI tersebut mengatakan, dalam fenomena politik selalu dapat diterangkan secara ilmiah.

Dikatakannya pada sebuah riset beberapa tahun lalu di Tabalong bahwa kalangan birokrat selalu masuk dalam dua besar yang menjadi pilihan masyarakat Tabalong.

“Saya melihatnya pada aspek ilmiah. Dominasi unsur bikrokrat di kepemimpinan Tabalong selama ini bukan soal klenik atau sekadar cocokologi, tapi belum maksimalnya kalangan politisi memanfaatkan isu publik dalam konsep pelayanan,” ujar Kadarisman.

Diketahui selama ini kepemimpinan eksekutif di Tabalong selalu yang berlatar belakang birokrat sebagai bupati dan wakilnya dari kalangan politisi. Kondisi demikian sudah berlangsung sejak bupati pertama Usman Dundrung tahun 1965. Sebelumnya Usman Dundung menjabat sebagai kewadenaan.

Badaruddin Kasim kemudian jadi penerus bupati selanjutnya tahun 1972. Diketahui, Badaruddin Kasim juga seorang birokrat dari yang pemilihanya melalui mekanisme di DPRD yang sangat dipengaruhi oleh pemerintahan nasional.

Ismail Abdullah kemudian ditunjuk melalui proses politik sebagai bupati Tabalong tahun 1979. Ismail Abdullah pun merupakan birokrat.

Dominasi Bupati Tabalong dari kalangan birokrat milter terus berlanjut pada tahun 1984 di tangan Dandung Suchrowardi dan Obar Sobari tahun 1994.

Pasca reformasi tahun 1998, supremasi sipil kemudian menguasai kepemimpinan pemerintahan di Tabalong.

Pada tahun 1999, birokrat dari kalangan sipil Drs Noor Aidi tampil menjadi Bupati Tabalong tahun 1999 – 2004, dilanjutkan Drs Rachman Ramsyi 2004 – 2009 dan terakhir Drs Anang Syakhfiani 2014 -2024.

“Hingga saat ini praktis dari sejak pertama kabupaten ini berdiri semuanya berlatar belakang birokrat. Dan pasca reformasi birokrat itu selalu merujuk pada ASN,” jelas Kadarisman. ***