SIDOARJO, metro7.co.id – Skenario penerapan new normal di Indonesia mendapat beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Berdasarkan panduan Badan Kesehatan Dunia (WHO), konsep ini mengharuskan orang beradaptasi dengan kebiasaan baru agar bisa hidup normal di tengah pandemi Covid-19.

Penerapan New normal di Indonesia yang hingga kini di dampingi dengan Kurva Penyebaran Covid-19 masih tinggi. Data terakhir Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menyatakan kasus terkonfirmasi positif corona telah mencapai angka 70.736 pasien.

Jumlah ini mengalami penambahan sebanyak 2.657 kasus, bila dibanding data terakhir pada hari sebelumnya. Penambahan ini pun menjadi rekor angka tertinggi kasus harian, sejak pertama diumumkan pada awal Maret 2020 lalu.

Di Sidoarjo sendiri peningkatan pasien Covid-19 juga makin masif dalam penerapan New Normal. Data terbaru pasien Covid 19 di Sidoarjo pada tanggal 9 Juli 2020 pasien Confirm 2280 Pdp 880, Odp 1466 Meninggal 132 , Sembuh 431.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi B DPRD Sidoarjo Bambang Pudjianto mengatakan, New Normal sebenarnya merujuk pada situasi baru yang membentuk kebiasaan baru dengan mendorong setiap orang menerima keadaan tidak biasa menjadi hal biasa. Dalam kaitannya dengan Covid-19, new normal merujuk pada kebiasaan baru yang dirasa tidak nyaman, namun harus dibuat nyaman demi keberlangsungan kehidupan.

“Seperti belajar secara online di rumah, bekerja dari rumah, serta menahan diri tidak plesiran selama wabah Covid-19 belum reda. Meski tidak nyaman, semua ini dilakukan untuk menjaga diri dari risiko penularan penyakit yang belum ditemukan obatnya tersebut,” ujarnya saat di hubungi via seluler, Jumat (10/07/20).

Sayangnya intisari new normal yang dimaksud sepertinya belum sepenuhnya dipahami masyarakat Indonesia tak terkecuali warga Sidoarjo secara keseluruhan. Jika dicermati, masih banyak orang yang tidak mematuhi imbauan pemerintah di era new normal.

Ditambahkan Bambang, banyaknya orang bergerombol di pinggir jalan raya setelah bersepeda bersama tanpa menjaga jarak. Bahkan restoran, kafe, pusat perbelanjaan, hingga salon mulai kebanjiran pengunjung yang sering kali mengabaikan protokol kesehatan.

“Jika sudah begini, pemerintah bisa apa? teguran dan segala ancaman yang disampaikan agaknya tidak mempan untuk mengatur warga yang ngeyel,” ujarnya.

Hal ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia maupun Daerah Sidoarjo menghadapi krisis sebagai dampak pandemi Covid-19. Pemerintah tidak memiliki pemimpin khusus di tengah krisis Covid-19.

Padahal, pola komunikasi krisis di tengah bencana harus dilakukan dengan cermat agar tidak menimbulkan krisis lain, yakni krisis komunikasi. Perdebatan kebijakan, jumlah kasus yang tidak jelas, hingga stigma soal pasien Covid-19 menunjukkan kegagalan pemerintah Indonesia menciptakan pola komunikasi krisis yang baik.

Anggota DPRD dari Fraksi Partai Gerindra ini juga menyampaikan, etika komunikasi melalui empati juga bisa diterapkan pemerintah di tengah pandemi Covid-19 untuk menjangkau masyarakat, termasuk dengan memanfaatkan media sosial. Tidak dapat dipungkiri, media sosial seperti Twitter dan Instagram menjadi sarana komunikasi yang cukup efektif di era digital.

“Pada akhirnya, kerja keras pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 sampai sejauh ini patut diacungi jempol. Banyak pelajaran penting dan berharga dari Covid-19 yang dikategorikan sebagai bencana non-alam. Virus corona penyebab Covid-19 memang sangat cepat menyebar hingga menyebabkan kepanikan,” jelasnya.

Apalagi sampai saat ini obat untuk mengatasi Covid-19 belum ditemukan. Tetapi ada cara terbaik untuk meredam kepanikan akibat persebaran virus corona, yakni dengan komunikasi krisis yang efektif dan beretika.

Selain itu, empati, kejujuran, serta keadilan, menjadi kunci komunikasi krisis untuk menciptakan kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan rakyat dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19. ***