Banggakan Sang Ibu, Kisah Firli Bahuri yang Berasal dari Keluarga Tidak Mampu
JAKARTA, metro7. co.id — Firli Bahuri muda hidup dalam kekurangan. Sampai-sampai ia pernah memungut sepatu bekas di tong sampah sekolah.
Dia mereparasi sendiri sol sepatu bekas itu, dan mengenakannya ke sekolah. Namun di sekolah keesokan harinya, seorang siswa mendatangi Firli Bahuri dan meminta kembali sepatu itu.
Firli Bahuri muda pun dengan ikhlas menyerahkan sepatu itu.
Ini salah satu kisah masa kecil yang disampaikan Firli Bahuri yang kini adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika berbicara di “Indonesia 3rd ICEP Annual Conference (IAC) 2021” yang diselenggarakan secara virtual, Sabtu (4/12).
Kegiatan tersebut diselenggarakan EFT Center Indonesia, sebuah organisasi yang bergerak di bidang pengembangan sumber daya manusia menggunakan metode emotional freedom techniques.
“Pernah saya melihat sepatu kickkers bekas di kotak sampah sekolah. Saya tanya ke penjaga sekolah, punya siapa. Jawabnya, jika di tempat sampah berarti sudah dibuang pemiliknya. Saya pungut, perbaiki dengan mengsol lagi tapaknya, lalu saya semir dan kenakan esok harinya,” cerita Firli Bahuri.
“Tiba-tiba, ada siswa mengaku sepatu itu miliknya, lalu dengan ikhlas saya serahkan dan saya kenakan kembali sepatu merek BM 2000 list warna biru saya yang beberapa kali jebol namun masih layak pakai setelah saya perbaiki,” sambungnya.
Firli menambahkan, kisah hidupnya yang ini tidak tertera di Wikipedia.
Firli memulai sambutannya dengan mengisahkan masa kecilnya sebagai bungsu dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga golongan tidak mampu. Masa kecil dihabiskannya di gubuk sederhana di Dusun Lontar, Kecamatan Muara Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ulu, sekita enam jam perjalanan darat dari Kota Palembang, Sumatera Selatan.
“Saya yatim umur 6 tahun setelah ayahanda berpulang ke Rahmatullah, sehinga ibu menjadi tulang punggung keluarga kami. Hingga detik ini, terbayang selalu kerasnya perjuangan ibu layaknya seorang ayah untuk menghidupi keluarga, namun perangai beliau yang santun, teduh dan menyejukkan lazimnya sosok seorang ibu, tetap kami rasakan dan rindukan selalu, hingga saat ini,” cerita Firli Bahuri.
Dia mengenang ibunya sebagai sosok yang selalu mengedepankan masa depan anak-anaknya walaupun mengorbankan kebahagian dan masa depannya sendiri, mulai dari kandungan hingga terlahir ke dunia dan dibesarkan olehnya.
“”Dididik dan terdidik dalam lingkungan keluarga yang kental dengan agama dan nilai-nilai perjuangan hidup, telah membentuk karakter saya untuk senantiasa berperilaku jujur, sederhana dan menjadi sosok pekerja keras,” masih cerita Firli.
Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Firli tidak pernah meminta uang jajan atau uang untuk membeli mainan seperti lazimnya anak-anak lain. Jika ingin mainan sepeda, misalnya, dia harus membeli sepeda bekas menggunakan upah menyadap karet dan memetik cabai selama dua bulan yang dilakukannya.
Saat SMP, Firli terbiasa berjalan kaki sejauh 16 kilometer pulang pergi dari rumah ke SMP Bhakti Pengandonan OKU.
“Sering kali saya menundukkan kepala, menatap langkah kaki, tahu-tahu sudah sampai rumah. Terkadang saya membonceng sepeda oleh seorang polisi yang sering membantu warga desa saat memperbaiki jembatan atau jalan yang rusak atau melerai keributan di kampung saat ada hajatan. Usai rehat sejenak, saya bergegas ke kebun untuk membantu ibu,” ceritanya lagi.
Saat menempuh pendidikan di SMA 3, Firli Bahuri tidak pernah mengganti seragamnya selama tiga tahun.
“Ini kebetulan ada sahabat saya di SMA 3 Palembang, Bapak Eddy Iskandar. Silahkan tanya Pak Eddy, saya tidak pernah ganti seragam selama tiga tahun,” ujarnya.
Eddy Iskandar yang dimaksunya adalah pendiri EFT Center Indonesia, yang menjadi penyelenggara kegiatan ini.
Apa kegiatan Firli Bahuri muda setelah usai jam sekolah?
Dia melakukan banyak hal. Misalnya, ke Pasar Cinde beli spidol seharga Rp 25 yang kemudian dijual kembali dengan harga Rp 50 di Taman Ria Sriwijaya
Terkadang, Firli Bahuri menjadi tukang cuci mobil dan penjual kue untuk membiayai sekolah dan hidup di Kota Palembang.
“Untuk berhemat, saat waktu istirahat biasanya teman-teman pergi ke kantin, saya memilih menyantap makanan bekal yang saya siapkan di kelas, lalu beranjak ke mushola untuk sholat, kemudian ke perpustakaan untuk baca buku,” ujarnya lagi.
Ada hikmah di balik kesederhanaan ini. Di mushola Firli Bahuri dapat bertemu dengan guru-gurunya dan di perpustakaan dia mendapatkan ilmu dan pengetahuan lebih dari buku-buku yang dibacanya.