JAKARTA, metro7.co.id – Kendati dibayang-bayangi pandemi Covid-19, hubungan Republik Indonesia dan Korea Selatan tumbuh semakin erat. Berbagai proyek strategis justru dilakukan kedua negara di masa-masa yang menantang ini.

Di antara kerjasama strategis itu antara lain penyelesaian pembuatan kapal selam Alugoro 405. Ini adalah kapal selam kelas Chang Bogo ketiga yang dikerjakan perusahaan Korea Selatan, Daewoo, setelah Nagapasa 403 dan Ardadedali 404.

Lalu, kedua negara juga kembali melanjutkan pembuatan jet tempur KFX/IFX yang sempat tertunda akibat pandemi Covid-19 dan pembicaraan beberapa hal teknis yang masih berlanjut.

Indonesia dan Korea Selatan juga melakukan kerjasama dalam penelitian dan pengembangan vaksin dan obat-obatan anti Covid-19. Startup asal Korea Selatan, Genexine, bermitra dengan BUMN Indonesia, PT Kalbe Farma, untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Sementara obat penyembuh Corona yang diproduksi perusahaan Korea Selatan, Celltrion Healthcare, telah mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) dari otoritas kesehatan Indonesia. Adapun test-kits Covid-19 sedang diproduksi SD Biosensor di Bandung.

Hubungan khas kedua negara inilah yang menjadi tema dari webinar internasional yang digelar Korean Center RMOL berkolaborasi dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di Roemah Djan, Jalan Talang, Menteng, Selasa (9/11).

Hadir di lokasi webinar antara lain Duta Besar Republik Korea untuk Republik Indonesia Park Taesung, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Korea Umar Hadi, dan Dutabesar Republik Bolivarian Venezuela Radames Gomez yang menjadi tamu kehormatan.

Webinar internasional dibuka oleh Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid dan diawali sambutan Ketua Grup Kerjasama Bilateral (GKSB) Indonesia-Korea Selatan di DPR RI, Edward Tannur. Baik Meutya Hafid dan Edward Tannur hadir secara virtual.

Menteri Negara BUMN Erick Thohir yang baru tiba dari kunjungan kerja ke sejumlah negara bersama Presiden Joko Widodo juga hadir secara virtual dan menyampaikan keynote speech yang komprehensif.

Sekretaris Bidang IV MES, Teguh Santosa, yang menjadi salah pembicara dalam webinar tersebut mengatakan, di era pandemi Covid-19, baik Republik Indonesia maupun Korea Selatan sempat mengalami kontraksi ekonomi yang cukup signifikan. Volume perdagangan kedua negara juga sempat turun hingga 15 persen.

Namun, sambung dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini, setahun belakangan mulai terlihat perbaikan ke arah yang meyakinkan. Volume perdagangan kedua negara juga bisa kembali bangkit.

Pembicara lain dalam webinar bertema “Indonesia-Korea: Enhancing Special Strategic Partnership and Co-prosperity” adalah Dubes Umar Hadi, dan peneliti dari Korea Institute for Industrial Economics & Trade, Dr. Shin Yoonshung.

Teguh melanjutkan, di tahun 2021 ini Korea Selatan tercatat sebagai negara investor terbesar kelima di Indonesia, setelah Singapura, Hong Kong, Republik Rakyat China, dan Belanda. Sebelumnya, Korea Selatan berada di posisi ketujuh.

Peningkatan ini terjadi menyusul investasi skala besar yang dikucurkan Korea Selatan di dalam pembuatan mobil listrik atau electric vehicles (eV) dan baterai eV.

Teguh menambahkan, dirinya percaya investasi Korea Selatan di Indonesia akan meningkat lagi secara signifikan apabila Korea Selatan semakin melibatkan diri dalam sistem ekonomi sharia di Indonesia yang semakin digandrungi.

Dengan memperhatikan paradigma pemberdayaan umat yang diusung MES, sambungnya, Korea Selatan juga dapat berinvestasi di bidang-bidang usaha yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal.

“Ini akan mendorong kehadiran berbagai inovasi yang selanjutnya dapat membentuk masyarakat industrial yang genuine di kawasan,” masih kata Teguh.

Teguh menyampaikan hal ini karena ia melihat ada kesamaan semangat antara empat tujuan utama MES seperti yang disampaikan Ketua Umum MES Erick Thohir sesaat setelah terpilih dalam Munas di bulan Januari lalu dengan program Saemaul Undong yang dikembangkan Korea Selatan dan mampu melahirkan perusahaan-perusahaan raksasa kelas dunia.

Tidak Punya Beban Sejarah

Sementara Dubes Umar Hadi yang berbicara sebelumnya mengatakan ada satu kunci penting mengapa hubungan Indonesia dan Korea Selatan demikian erat, yakni kedua negara tidak memiliki hubungan buruk di masa lalu yang menjadi beban.

Hubungan diplomatik kedua negara dimulai pada 17 September 1973. Kerjasama kedua negara dilakukan di berbagai forum internasional termasuk di G20 dan APEC.

Di bulan November 2017, Presiden Moon Jaein yang sedang berkunjung ke Indonesia dan Presiden Joko Widodo menandatangani dokumen penting bagi kedua negara yaitu “Korea-Indonesia Joint Vision Statement for Co-Prosperity and Peace” yang di dalamnya menyatakan peningkatan hubungan kedua negara dari Strategic Partnership menjadi Special Strategic Partnership.

“Satu hal yang tidak pernah disampaikan secara terbuka, yang sangat sederhana, ialah bahwa Indonesia dan Korea Selatan tidak memiliki beban sejarah. Itu fakta,” ujar Dubes Umar Hadi.

Ini yang membuat selain membangun hubungan bilateral yang baik, kedua negara juga mengkampanyekan nilai-nilai demokrasi, keamanan kawasan, dan pasar terbuka.

“Sehingga dalam banyak kasus tidak sulit bagi kita untuk sepakat dalam masalah prinsip,” terangnya.

Dengan pengalaman empat tahun bertugas di Korea Selatan, lanjutnya, kedua negara juga memiliki cara pandang dan tujuan sama dalam menguatkan hubungan di masa yang akan datang.

Dubes Umar Hadi juga mengatakan, di masa depan kedua negara perlu mengembangkan tiga bentuk diplomasi, yakni digital diplomacy, green diplomacy, dan human diplomacy.

Benar-benar Sahabat Sejati

Adapun Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid ketika membuka webinar mengatakan, hubungan diplomatik dan kerjasama bilateral Indonesia dan Korea Selatan memiliki cerita yang cukup panjang sejak dimulai tahun 1973.

Tahun ini, hubungan kedua negara sudah berjalan selama 48 tahun dan berlangsung dengan sangat baik di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, perdagangan dan investasi, pertahanan hingga sosial budaya.

“Pandemi Covid-19 dan meningkatnya persaingan antara Amerika Serikat dan China menjadi perhatian khusus kedua negara. Selain gangguan tersebut, implikasi ekonomi dari Covid-19 juga perlu konsentrasi penuh kita,” terangnya.

Sejak awal pandemi, lanjut legislator Partai Golkar ini, Korea Selatan telah menjadi mitra penting bagi Indonesia. Terutama, dalam menyediakan pasokan alat-alat medis yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.

“Antara lain alat pelindung diri, semprotan disinfektan, serta alat tes polymerase chain reaction (PCR). Di masa pandemi yang sedang berlangsung ini, Korea memang sahabat sejati Indonesia,” pungkasnya.

Pidato Kunci Erick Thohir

Adapun Menteri BUMN Erick Thohir dalam pidato kunci yang disampaikannya secara virtual mengatakan pemerintah Indonesia tengah menggali berbagai kerjasama dengan Korea Selatan untu merealisasikan Special Strategic Partnership.

Salah satu komitmen yang dikembangkan adalah penciptaan perusahaan yang ramah lingkungan.

“Kita menyadari bahwa Korea salah satu negara yang memiliki budget besar dalam penelitian dan pengembangan di bidang ini,” ujar Erick.

Selain di bidang energi terbarukan, Erick juga menginginkan kerjasama dengan Korea dalam bidang kesehatan dan farmasi. Hal itu dilakukan agar Indonesia mampu mandiri dalam memproduksi obat-obatan dan yang terkait dengan farmasi.

“Oleh karena itu, kita membuka untuk berkolaborasi oleh Korea dalam hal Farmasi untuk menguatkan farmasi domestik yang independen. Termasuk pengembangan vaksin yang menggunakan platform baru, dan biosimiliar,” ucapnya.

Tidak cukup sampai di situ, Erick menjelaskan bahwa Indonesia akan bekerjasama dengan Korea Selatan dalam hal produk herbal untuk kesehatan, demi kebutuhan farmasi dalam negeri.

“Kita juga membangkitkan dunia kesehatan dan kita ingin mengundang Korea sebagai kemitraan khusus agar menjadi kenyataan,” tutupnya.

Faktor Khusus Hubungan Baik

Pada bagiannya, Duta Besar Park Taesung menggarisbawahi faktor khusus yang menjadi pondasi hubungan kedua negara.
a memiliki kedekatan yang dalam.

“Pertama, Korea dan Indonesia berbagi nilai-nilai dasar, seperti demokrasi, hak asasi manusia, pasar, hubungan bilateral dan multilateral di kawasan Asia Pasifik,” ujar Dubes Park.

Dubes Park mengatakan, sebagai negara anggota G20, Korea Selatan dan Indonesia mewakili negara-negara kekuatan menengah di dunia.

“Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan pasar. Di sisi lain, Korea memiliki sumber daya, teknologi, investasi, dan pengalaman dalam industrialisasi,” jelasnya.

Di segi budaya, ia juga menuturkan, Korea Selatan dan Indonesia memiliki banyak kesamaan.

Di Korea Selatan, ia menyebut, masyarakat Korea memiliki prinsip gotong royong seperti di Indonesia untuk saling tolong menolong. Korea Selatan juga memiliki nilai-nilai seperti yang terkandung di dalam Pancasila yang terbukti berhasil mempersatukan bangsa. ***