Tokoh Agama dan Masyarakat KKR Tanggapi Penolakan Pembangunan Rumah Ibadah
KUBU RAYA, metro7.co.id – Beberapa waktu lalu telah terjadi aksi penolakan warga terhadap pembangunan rumah ibadah di dua tempat di Kabupaten Kubu Raya.
Yang pertama di Vihara Yang Se di Komplek Puri Akcaya 2, Dusun Taman Raya, Desa Sungai Raya, serta pembangunan Gereja HKBP di Dusun Sela, Desa Durian, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya (KKR), Kalimantan Barat (Kalbar).
Ahmad Fathoni Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Kubu Raya (KKR) menyatakan, perlu ada dialog antar umat beragama di tempat akan dibangun rumah ibadah tersebut.
“Untuk menyamakan persepsi dengan tujuan mencegah jangan sampai terjadi beda pendapat antar kelompok masyarakat, yang berujung terjadinya perpecahan antar eleman bangsa,” jelasnya, Senin (29/8).
“Peran pemuka agama sangat dibutuhkan, ditengah-tengah masyarakat yang berbeda pendapat, termasuk dalam hal pembangunan tempat ibadah Vihara dan Gereja yang baru-baru ini ditolak warga,” tambahnya.
Menurutnya penolakan pembangunan Gereja HKBP telah selesai dimediasi sebanyak dua kali oleh Kapolres Kubu Raya, di Kantor Desa Durian, Kecamatan Ambawang.
Sehingga tercapai kesepakatan pada (17/10) dan semua persyaratan administrasi telah terpenuhi. Dari hasil mediasi, menyatakan jika persyaratan telah terpenuhi, dan telah tercapai kata sepakat antara pihak Gereja dan masyarakat, maka diimbau agar tidak ada lagi terjadi penolakan oleh warga.
Lain halnya yang terjadi dengan penolakan Vihara di Puri Akcaya 2, Dusun Taman Raya, Desa Sungai Raya, KKR, yang sampai saat ini belum ada kata sepakat.
Menurut keterangan dari masyarakat yang berada di lokasi, bahwa penolakan pembangunan Vihara dilakukan karena pihak pengelola belum melengkapi persyaratan perizinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bahkan juga belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang dikeluarkan oleh Dinas PUPR (Cipta Karya), KKR.
Masyakarat yang menolak, menilai bahwa, kalangan Umat yang akan mendirikan rumah Ibadah termasuk golongan minoritas, di lokasi tempat pendirian rumah Ibadah tersebut, sehingga dapat memicu konflik dengan warga sekitar.
Hal senada juga disampaikan Tokoh Agama Hindu Kalbar yang juga Pengurus Forum Pembumian Pancasila Kalbar, Ir Putu Dupa Bandem, perlu dilakukan musyawarah untuk mencari titik temu agar permasalahan ini tidak menimbulkan kesalahpahaman. Karena sudah jelas, pembangunan rumah ibadah sudah diatur dalam SKB 2 Menteri.
“Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah,” ungkapnya.
Sekretaris DPD Gerakan Pemuda Marheins Provinsi Kalbar yang juga Dosen Sosiologi Universitas Widya Dharma Pontianak, Muhammad Darwin menyikapi serius masalah ini. Dirinya menilai bahwa adanya, saat ini fenomena ketidakdewasaan dalam beragama.
“Ini terkait pola pikir (mindset) yang keliru yang menganggap pemeluk agama lain adalah rival dalam beragama. Seolah-olah agama itu seperti sebuah kompetisi.
Bahkan pemeluk agama lain dianggap sebagai musuh Tuhan,” tuturnya.
Dirinya melihat, secara administratif dan hukum pendirian rumah ibadahkan sudah ada aturannya yang dibuat oleh negara. Jika sudah memenuhi persyaratan dimaksud seharusnya tidak boleh ada kekuatan sosial apapun yang boleh menegaskan nya, artinya itu tindakan melawan hukum atau tindakan ilegal.
“Kami mengajak supaya masyarakat memahan diri dengan landasan rasionalitas dan toleransi terkait tindaj-tindakkan yang dapat memicu konflik sosial. Semua fenomena ini dapat mengeskalasi ketegangan sosial horisontal. Diharapkan pihak berwenang dapat bersikap tegas menyikapi kasus semisal ini secara proporsional,” paparnya.
Ketua Forum Bela Negara Kota Pontianak, Totas melihat dari Peraturan terkait tata cara pendirian rumah ibadah yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.
Pasal 14 ayat 1 peraturan tersebut disebutkan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Lebih lanjut menurutnya, pada ayat 2, dijelaskan pula soal beberapa persyaratan khusus dalam pembangunan rumah ibadah.
Pertama, daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah harus paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit harus berjumlah 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Selain itu, harus ada pula rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Yang terakhir, rekomendasi tertulis dari FKUB Kabupaten/Kota.
Ketua LP Ma’arif NU, Kota Pontianak yang juga Pimpinan Pondok Pesantren Modern As Sajadah Makkiyah Kota Pontianak, Dr Usman mengantisipasi munculnya aksi penolakan pendirian rumah ibadah, dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepala masyarakat baik di Pondok Pesantren serta Kampus, terkait tata cara pendirian rumah ibadah yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006 untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di Kabupaten Kabupaten Kubu Raya.