Dua tahun silam ia dihantam stroke, separo badanny sempat tak berfungsi. Namun, ia bangkit. Penyandang disabilitas sejak lahir bernama Timotius Leleury ini, punya seribu cara mengatasi kekurangannya.

Ia mengaku diberkahi. Kendati fisik tak paripurna, Timo, pria berdarah Ambon/Dayak asal Desa Hayaping, Barito Timur, Kalimantan Tengah ini, punya kemampuan tak biasa, dari otak atik besi (las), fotografi, pryrography, mengukir, hingga desain. Semua, ujarnya, dipelajari dengan otodidak.

Sebelum menekuni, kerajinan ukir, Timo lama bergelut dengan fotografi. Foto wedding, menjadi spesialisnya. “Banyak rekan-rekan saya yang sebelumnya ikut motret, sudah bisa mandiri,” ujarnya saat ditemui di teras rumahnya, Rabu (30/1/2020).

Melakoni pencaharian sebagai fotografer, lantas berakhir, usai ia terkena stroke berat. Satu-satunya pemasukan kala itu, usaha sampingan membuat kue yang dijalankan sang istri.

Saat menjalani masa penyembuhan itulah, Timo mulai tertarik membuat ukiran. Mulanya, ia menyaksikan proses pembuatan kerajinan ukir menggunakan gergaji khusus berpenggerak listrik melalui lama youtube. “Guru saya ya youtube, dari belajar foto, desain, sampai ngukir ini. Saya coba lihat prosesnya, baru nyoba aplikasi,” ujarnya dengan nada bicara yang sedikit tersendat akibat stroke yang pernah mendera.

Keuletan Timo menekuni kriya ukir, perlahan mulai dikenal khalayak. Kemampuannya mengolah ukiran kayu dengan tampilan 3 dimensi, mengantarkan karya Timo hingga berlabuh di Bali.

Meski demikian, ujar Timo, apresiasi terhadap olahannya, terutama di wilayah terdekat, masih sangat minim. Lampu hias 3 dimensi yang diolahnya dalam rentang waktu 3-4 hari, dengan detail nan apik, kerap dihargai murah. “Mau tidak mau, karena saya perlu biaya, akhirnya dilepas saja. Walaupun harga tidak sesuai,” terangnya.

Namun, keuletan serta sikap pantang menyerah Timo, lantas menjadi kunci pertemuannya dengan CSR PT Adaro Indonesia. Melalui perantara seorang karibnya berburu yang juga seorang karyawan Adaro, program pemberdayaan CSR Adaro, kini menyapanya.

Peralatan pendukung seperti scroll Saw, band Saw, sander, trimmer, hingga profiling bit, kian menabalkan semangat Timo. “Sangat membantu, apalagi saya juga kelimpahan pesanan. Ada 100 buah souvenir yang dipesan Adaro,” ujarnya.

Disangka Pengemis

Fisiknya memang berbeda dari orang kebanyakan, kakinya mengecil hingga tak mampu menopang badan. Saat hendak bepergian, Timotius Leleury ditopang alat khusus yang ia rancang sendiri.

Kekurangan ini yang kerap membuat stigma negatif menghinggapinya. Pernah satu kali, ujar Timo, saat ia pelesir bersama anak dan istrinya ke Tanjung, ia dikejar ibu-ibu yang tiba-tiba menyelipkan selembar uang kertas Rp 2000. “Kontan saya kaget pak, padahal saya sudah bilang, saya ini bukan pengemis,” terangnya.

Keterbatasan Timo, pernah menjadi dalih orang meremehkan kemampuannya. Kala itu, pernah ada calon konsumen yang minta dibuatkan ukiran kayu bertuliskan nama anaknya. Ketika Timo menyebutkan harga, calon konsumen itu keberatan, lantas berujar “Kalau cuman begitu, saya juga bisa,”

Sejurus kemudian, Timo menantangnya, menyodorkan alat dan media ukir untuk mencoba membuat sendiri.”Hasilnya, jauh dari yang diucapkan,” kata Timo.

Namun, semua peristiwa tak mengenakkan yang pernah dialaminya, tak membuat Timo surut. Kedepan, ujar pria beranak satu ini, ia bakal terus mencoba membuka pasar yang lebih luas, agar rupiah terus mengalir, sekaligus berharap supaya apresiasi terhadap kemampuannya bisa menginspirasi penyandang disabilitas lainnya. (metro7/rel)