Dari Tengah Makam Putri mayang Sari dan Kanan Makam Uria Mapas
Tidak enak mendengar kabar tentang adik sepupunya dari teman- teman Uria Rinyam, Uria Mapas melakukan pertapaan dan berkomunikasi dengan sahabat-sahabat gaibnya. Uria Mapas diberi tahu bahwa Uria Rinyam telah dibunuh di Kerajaan Banjar dengan kepala dipancung.
Mendengar hal itu, Uria Mapas sangat marah. Ia melakukan ritual untuk membalaskan dendam dan merencanakan perang dengan Kerajaan Banjar.
Sebelum berangkat, Uria Mapas sempat mengirimkan Pucuk Bekaka kepada Raja Banjar berisi pesan bahwa dirinya, Uria Mapas kakak sepupu dari Uria Rinyam akan menuntut balas dengan mahamuk (perang besar) melawan kerajaan Banjar seorang diri.
Uria Mapas berangkat membawa sebilah Mandau yang bernama Langsar Tewomea (haus akan darah lapar akan daging) dan sebatang Halu (alu, batang kayu penumbuk padi). Ia mengikuti alur sungai Tabalong yang tembus ke Sungai Banjar (sekarang sungai Martapura) dengan hanya menggunakan Kumpai (Rumput ilalang) yang dirakit menjadi sebuah perahu besar.
Uria Mapas bertekad, di mana pun Kumpai yang dinaikinya itu tertambat, di daerah itulah dirinya memulai perang. Ternyata, kumpai itu tersangkut pada Rawai (tempat kurungan ikan) di daerah Hulu Marabahan (sekarang Kabupaten Batola).
Di situlah Uria Mapas memulai amukan-nya dengan menghabisi separuh dari warga Kerajaan Bakumpai (salah satu daerah milik Kerajaan Banjar). Akhirnya, Kerajaan Bakumpai mengirimkan pesan kepada kerajaan Banjar bahwa mereka tidak sanggup menghadapi amukan Uria Mapas.
Tidak lama kemudian kerajaan Banjar mengirimkan pesan balasan yang intinya ingin berdamai dengan Uria Mapas.
“Isi pesan yang disampaikan kerajaan Bakumpai dengan Uria Mapas di antaranya Raja Banjar bersedia memberikan anaknya, seorang putri yang bernama Putri Mayang Sari sebagai pengganti Uria Rinyam yang tewas di tangan Kerajaan Banjar,” sambung Idawati atau mama Petrus penjaga Makam Putri Mayang Sari.
Uria Mapas bersedia berdamai. Ia kemudian hidup bersama dengan Putri Mayang Sari sebagai kakak beradik di Lubuk Kajang Sanggar Wasi Strep Jaar (Desa Jaar sekarang, red). Uria Mapas sangat menyayangi adik angkat perempuannya yang cantik itu dan selalu menjaganya dengan penuh kasih sayang.
Suatu hari, saat mandi di sungai Lubuk Kajang Sanggar Wasi Strep Jaar, tiba-tiba Putri Mayang Sari menderita sakit sehingga dia tercebur ke sungai. Mayatnya tidak ditemukan sampai sekarang, hanya sebagian rambutnya saja yang tertingggal bersama pakaiannya, sehingga dia dinyatakan telah meninggal dunia di tempat itu.
Putri Mayang Sari diceritakan meninggal dalam keadaan masih perawan pada usia 30 tahun. Dia dilahirkan di Banjar pada hari Arba (Rabu) tahun 1585 dan wafat pada hari Arba tahun 1615. Konon, Putri Mayang Sari memiliki paras yang cantik dengan rambut yang tebal dan indah yang panjangnya sampai 1 Km.
Sekitar 13 tahun kemudian atau sekitar tahun 1628, Uria Mapas yang dilahirkan pada tahun 1569, wafat.
“Menurut cerita turun-temurun, saking panjangnya rambut Putri Mayang, ketika dia mandi itu, sebagian rambutnya masih berada di rumah. Sehingga kemudian masih ada yang tersisa sesaat setelah ia tercebur ke sungai. Konon rambutnya itulah yang dimakamkan dan dimasukkan dalam sebuah Cupu porselen,” tambah Seto Lansai.
Dijelaskan wanita kelahiran 1958 yang menjadi juru kunci makam Putri  Mayang ini bahwa sebelum wafat, Putri Mayang Sari sempat mandi bersama dengan saudara angkatnya, yaitu Uria Mapas dan Dambung Sanan.
“Dulunya Putri Mayang Sari adalah Muslim, setelah menjadi adik angkat Uria Mapas dia ikut agama Idem dan sempat memimpin di kerajaan Jaar,” imbuhnya.
 Kini makam tersebut banyak diziarahi warga dari berbagai daerah, terutama dari provinsi Kalsel dan Kalteng, bahkan ada juga yang datang dari pulau Jawa. (Metro7/M.Jaya)