BENGKULU, metro7.co.id – Skandal dugaan kasus korupsi izin ekspor benur atau baby lobster kian ramai menjadi perbincangan warga +62. Kabar ini tak hanya ramai dibahas di kota-kota besar, namun juga menjadi tranding topik obrolan bapak-bapak di daerah kecil seperti di Provinsi Bengkulu. Ditambah lagi, beberapa hari ini santer disebut-sebut jika Provinsi Bengkulu punya andil dalam memasok benur kepada para importir.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu, Sri Hartati mengungkapkan, sebanyak tiga juta ekor benur asal Provinsi Bengkulu telah diekspor selama enam bulan terakhir. Benih lobster itu sebagian besar merupakan hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Kaur dan sebagian lagi dikumpulkan dari nelayan di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara dan beberapa kabupaten lainnya.

Namun, Kadis Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu ini tak mengetahui ada berapa banyak perusahaan eksportir yang melakukan kegiatan usaha pengumpulan benur di Provinsi Bengkulu. Karena para perusahaan eksportir tidak melakukan pengurusan izin di pemerintah provinsi, melainkan langsung ke pemerintah kabupaten dimana benur itu dikumpulkan.

“Benih lobster tersebut tidak diekspor langsung dari Provinsi Bengkulu, melainkan melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Untuk jumlahnya saya tidak ingat persis, tetapi angkanya hampir tiga juta ekor dan data itu kami peroleh dari aplikasi e-lobster dan dari karantina ikan. Kalau masalah perizinan, kabupaten yang mengeluarkan surat keterangan asal benih (SKAB), sehingga kami tidak tahu ada berapa banyak eksportir benur yang masuk ke Provinsi Bengkulu ini,” kata Sri, Kamis (03/12/2020).

Sri berkelit, jika kurangnya pengawasan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu terjadi akibat mereka tak memiliki wewenang menerbitkan SKAB yang sudah menjadi syarat utama perusahaan eksportir untuk bisa melakukan pengumpulan benih lobster. Selain itu, minimnya anggaran juga menjadi kendala kedua dalam melakukan pengawasan dan memastikan aktivitas pengumpulan benih lobster tidak dilakukan besar-besaran.

Aktivitas pengumpulan benih lobster ini harus sesuai dengan Peraturan Menteri KKP nomor 12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting dan rajungan. Dalam salah satu aturannya, dikatakan jika aktivitas pengumpulan benih lobster tidak dibenarkan jika dilakukan secara besar-besaran. Kemudian peraturan berikutnya yang jelas telah dilanggar para perusahaan importir di Bengkulu adalah tidak membuat tempat budi daya benur.

Sri juga sempat menceritakan lalu lintas aktivitas ekspor benur yang terjadi di Provinsi Bengkulu. Menurutnya, aktivitas yang cukup menjanjikan ini diawali oleh para nelayan lokal yang mengumpulkan benih lobster dan kemudian dibeli oleh perusahaan eksportir melalui kolega perusahaannya di Provinsi Bengkulu. Barulah kemudian benih lobster tersebut dikirim atau diekspor ke luar negeri.

“Seharusnya tidak boleh seperti itu. Seharusnya dia harus ada budi daya dulu di Bengkulu, harus ada pelepasliaran ke perairan setelah dibudidaya, baru kemudian diekspor. Tetapi yang terjadi tidak seperti itu. Kemudian untuk aturan yang dikangkangi juga sangat terang benderang. Jelas-jelas ada beberapa aturan yang dilanggar seperti tidak membuat tempat budi daya benur di Bengkulu,” ungkapnya.