WONOSOBO, metro7.co.id – Indonesia, melalui proyek IKN merencanakan langkah revolusioner sebagai Forest City perdana di dunia. Mewujudkan visi ini memerlukan lebih dari sekadar arsitek handal; pemerintah harus menyerap konsep Forest City dari negara-negara sukses dalam pembangunan kota ramah lingkungan.

Namun, konsep ini di Indonesia memiliki tantangan unik karena keberagaman dan kompleksitas alamnya yang membutuhkan pemikiran luar biasa. Melibatkan ide-ide yang menjangkau tingkat kebijaksanaan tertinggi, upaya ini menjanjikan penciptaan kota yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga menghormati dan memelihara keanekaragaman lingkungan yang kaya dan berharga.

Menurut Presiden Jokowi, letak IKN Nusantara adalah titik paling tengah jika ditarik dari barat, timur, utara, dan selatan wilayah Indonesia, selain itu ada pertimbangan lain yaitu ketersediaan lahan yang menjadi latar belakangnya.

Tim Ahli Transisi IKN, Profesor Masjaya menerangkan, membangun ibu kota negara di Kaltim adalah membangun identitas bangsa Indonesia yang sesuai dengan kearifan lokal dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

“Kami punya konsep forest and smart city. Akan dibangun konsep kota pintar dengan teknologi canggih namun tetap teduh dengan landscape hutan kota yang diisi dengan pohon-pohon endemik khas Kalimantan,” tandasnya.

*Indonesia Harus Belajar dari Keberhasilan Negara Tiongkok dalam Pengembangan Forest City*

Tiongkok merupakan satu-satunya negara yang sudah sukses menerapkan konsep Forest City. Terletak di utara Liuzhou, sebuah kota di Tiongkok yang berpenduduk sekitar satu setengah juta jiwa di pegunungan provinsi Selatan Guangxi (salah satu daerah perkotaan yang paling terkena dampak kabut asap karena kelebihan populasi.

Forest City di Liuzhou adalah Kota Hutan pertama di dunia : suatu kawasan perkotaan yang hampir seluruh perkantoran, perumahan, hotel, rumah sakit, dan sekolahnya ditumbuhi tanaman dan pepohonan dengan berbagai jenis dan ukuran. Tersebar di area seluas sekitar 175 hektar di sepanjang Sungai Liujiang, masterplan yang ditugaskan oleh Perencanaan Kota Kota Liuzhou saat ini sedang dilaksanakan.

Indonesia punya semua, hutan ada, sungai ada, seharusnya konsep yang serupa bisa diadopsi di Kalimantan Timur.

Konsep Forest City yang sudah dilaksanakan di Liuzhou Tiongkok (foto/dok.Stefano Boeri Architetti)
Konsep Forest City yang sudah dilaksanakan di Liuzhou Tiongkok (foto/dok.Stefano Boeri Architetti).

Proyek ini memperluas keberhasilan eksperimen yang telah berlangsung untuk pertama kalinya di Milan dengan prototipe bangunan Hutan Vertikal, mengusulkan dan mengembangkan model arsitektur dan habitat yang mampu menafsirkan tema keanekaragaman hayati pada skala perkotaan dan mendefinisikan kembali hubungan antara manusia dan makhluk hidup lainnya.

Selain menampung sekitar 30 ribu penduduk, kota baru ini akan menyediakan lingkungan hidup yang nyaman bagi tanaman dan pepohonan di semua bangunan: secara keseluruhan, Kota Hutan Liuzhou akan menampung sekitar 40 ribu pohon dan 1 juta tanaman dari lebih dari 100 spesies berbeda.

Organisme perkotaan baru yang dirancang dan dikembangkan untuk kota Liuzhou di Tiongkok oleh Stefano Boeri Architetti akan bekerja seperti mesin besar yang berkelanjutan karena mampu menyerap sekitar 10 ribu ton CO2 dan 57 ton partikel mikro setiap tahun, menghasilkan sekitar 900 ton oksigen pada saat yang sama sehingga memerangi masalah serius polusi udara secara efektif dan mendalam berkat banyaknya saluran air perkotaan dan permukaan tanaman.

Pendistribusian tanaman tidak hanya di sepanjang jalan raya di taman dan kebun tetapi juga di fasad bangunan berarti kota yang sudah dirancang mandiri dalam hal energi juga akan mampu meningkatkan kualitas udara, menurunkan suhu rata-rata di kota. Pulau panas perkotaan, menghasilkan penghalang terhadap polusi akustik dan meningkatkan keanekaragaman hayati spesies hidup melalui penciptaan ekosistem yang kaya akan ruang hidup bagi burung, serangga, dan hewan kecil yang sudah menghuni wilayah sekitar Liuzhou.

Pendekatan desain ini berkembang secara alami dimulai dari tata letak planimetri, dirancang untuk berintegrasi secara harmonis dengan geografi pegunungan di sekitarnya, mengikuti morfologinya dan menggabungkan kualitas tertentu dari lanskap lokal.

Terhubung sepenuhnya, kota hijau baru ini akan terhubung ke pusat kota Liuzhou di dekatnya melalui infrastruktur kereta api cepat yang sangat efisien dan jaringan jalan raya yang khusus diperuntukkan bagi mobil bertenaga listrik.

Kota Hutan Liuzhou dimaksudkan untuk menampung berbagai jenis kawasan pemukiman dan berbagai fasilitas, menggabungkan ruang komersial dan perhotelan serta berbagai layanan publik termasuk dua sekolah dan sebuah rumah sakit.

Rencana induk yang dikembangkan oleh Stefano Boeri Architetti membayangkan kota hijau dengan seluruh karakteristik pemukiman perkotaan yang sepenuhnya mandiri dari sudut pandang konsumsi energi, dimulai dengan pemanfaatan energi panas bumi untuk ruang interior bangunan dan atap.

Pemasangan panel surya efisiensi tinggi untuk menangkap energi angin terbarukan. Berkat pendekatan terpadu ini, untuk pertama kalinya di dunia sebuah kawasan perkotaan akan mampu menggabungkan tantangan pengurangan polusi udara secara signifikan – sebuah tema penting dan tidak dapat dihindari bagi kota-kota besar tidak hanya di Tiongkok, namun juga di negara lain.

Solusi skala besar untuk energi terbarukan dan swasembada. Dengan cara ini, proyek Kota Hutan Liuzhou melanjutkan dan memperluas penelitian yang dilakukan oleh Stefano Boeri Architetti menuju Musim Keanekaragaman Hayati yang baru, yaitu pengembangan arsitektur perkotaan generasi baru dan kota-kota yang mampu menghadapi tantangan problematis perubahan iklim secara radikal. sambil menampilkan diri mereka sebagai model proyek untuk masa depan planet ini.

*Belajar Dari Kegagalan Malaysia Dalam Membangun Forest City*

Selain menjadi acuan pembangunan Pemerintah juga harus memperhatikan resiko terburuk dalam membangun IKN, seperti halnya negara Malaysia. Forest City senilai US$100 miliar atau setara Rp1.564 triliun seharusnya menjadi ‘surga hidup’ di Malaysia. Namun kawasan mewah di selatan negara bagian Johor itu malah berubah menjadi kota hantu.

Mengutip seorang direktur riset perusahaan konsultan, International KGV, Chen Weitian, diketahui ada dua faktor yang menyebabkan proyek itu gagal. Pertama tingkat hunian yang rendah sementara yang lainnya adalah kurangnya kegiatan komersial.

Selain itu, Harga Fantastis Apartemen
yang terlalu mahal. Pada 2017, harga apartemen di Forest City mulai dari 740.864 ringgit Malaysia atau setara Rp2,6 miliar.

Mega Proyek Forest City di Johor Malaysia yang gagal dan saat ini dijuluki kota hantu (foto/Istimewa)
Mega Proyek Forest City di Johor Malaysia yang gagal dan saat ini dijuluki kota hantu (foto/Istimewa).

Sebenarnya, Forest City juga menjadi kontroversial setelah mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad mengkritik proyek tersebut. Saat terpilih lagi menjadi PM di 2018, proyek yang juga jadi bagian dari pembiayaan Belt and Road (BRI) disebut Mahathir bisa menciptakan arus masuk imigran.

Mengutip ketua Caixin Media Xie Jinhe mengatakan Mahathir memang mencoba menolak banyak proyek terkait BRI. Ia menginjak rem agar Malaysia, ujarnya, tak mendapat masalah.

“Malaysia memiliki utang sebesar US$257 miliar. Jika negara tersebut meminjam banyak uang untuk menyelesaikan dua proyek ini, Malaysia bisa bangkrut sebagai negara dengan utang tinggi,” katanya.

Selain itu, antusiasme pembeli rumah melemah setelah China menindak arus keluar modal di negeri itu. Larangan perjalanan yang diberlakukan Beijing karena Covid-19 juga berdampak buruk pada pembeli China.

Di sisi lain, Forest City dianggap ahli sebagai bom waktu ekologis. Forest City sebagian dibangun di atas tanah reklamasi dari Selat Johor.

Sekitar 163 juta meter kubik pasir dibuang ke laut untuk membangun kota. Beberapa ahli mengatakan cepatnya konstruksi ditambah dengan reklamasi tanah merupakan kombinasi yang berbahaya.

*Upaya Pemerintah Dalam Membangun Kota di Kaltim Dengan Konsep Forest City*

Indonesia memiliki kekayaan alam yang unik dan kondisi alam yang berbeda dengan Tiongkok. Mengembangkan konsep Forest City di Indonesia memerlukan pemikiran yang cermat untuk mengakomodasi aspek keanekaragaman. bisa menjadi suatu hal yang menarik dan bermanfaat jika dilakukan dengan memperhatikan keunikan alam serta kebutuhan masyarakat setempat.

Dalam membangunnya, penting untuk memperhatikan aspek lingkungan, pelestarian ekosistem, keberlanjutan, dan juga keterlibatan aktif dari komunitas lokal agar proyek tersebut dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi semua pihak.

Menurut Tim Ahli Transisi IKN, Profesor Masjaya, pemerintah telah membangun pusat persemaian terbesar di Mentawir dengan produksi 2 juta bibit per tahun untuk menghutankan kembali IKN.Nanti akan ditanam pohon endemik Kaltim seperti bengkirai, ulin, bageris dan sebagainya.

Selain Forest City Keseriusan pemerintah saat ini dengan menggandeng empat perusahaan teknologi informasi (IT) asal Amerika Serikat (AS) demi menciptakan kota yang Smart. Empat perusahaan teknologi ternama dari Amerika Serikat yang menandatangani MoU dengan OIKN tersebut adalah Cisco, Autodesk, Microsoft, dan Environmental Systems Research Institute (ESRI).

Pada Rabu, 6 September 2023, Otorita IKN mengadakan kick-off meeting untuk proyek scoping study pengembangan Solusi Berbasis Alam (NBS) dalam pengelolaan air guna membangun kota spons atau Sponge City. Tujuannya adalah merumuskan lingkup studi yang akan dilaksanakan oleh konsultan untuk mengidentifikasi kegiatan yang diperlukan demi menjadikan IKN sebagai kota yang tahan terhadap berbagai tantangan.

Dalam diskusi, fokus utama adalah menjaga keterkaitan ruang biru seperti embung dan riparian serta menghadapi tantangan praktis dalam menghubungkan perencanaan dengan implementasi pembangunan yang ada. Pengembangan konsep N b S diharapkan dapat membuat IKN menjadi forest city dan sponge city yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

IKN, dengan luas 256.142,72 ha, bertujuan menjadi katalis untuk wilayah Kalimantan Timur dengan memanfaatkan keunggulan Balikpapan dan Samarinda. Dalam pengembangannya, 75% kawasan akan dijadikan ruang terbuka hijau, dengan 65% sebagai area yang dilindungi dan 10% untuk produksi pangan. Proyek ini berkomitmen menggunakan 100% energi bersih dan mencakup K-IKN seluas 56.180,87 ha.

Dirancang dengan berbagai zona mixed-use dan neighborhood yang mendukung konsep “10 Menit Berjalan Kaki” serta konektivitas sosial, dengan minimal 50% ruang hijau. Transportasi publik atau mobilitas aktif penduduk akan mendominasi 80% perjalanan, dan setiap bangunan akan menggantikan 100% ruang hijau yang terdapat di area tersebut.

Konsep forest city memerlukan setidaknya 65% tutupan hutan dari seluruh wilayah IKN yang dicapai dengan upaya rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah IKN seluas 58.570 ha. Area tersebut saat ini dalam kondisi lahan terbuka, area bekas tambang, semak belukar, dan area konsesi yang akan dilakukan pemanenan. Diperlukan desain lanskap yang terintegrasi untuk memastikan capaian forest city, baik melalui penanaman, maupun perlindungan tutupan hutan yang saat ini masih baik.

IKN memiliki karakteristik wilayah yang sangat sensitif dan limitasi ekologi yang tinggi terhadap pembangunan sehingga proses pembangunannya harus dilakukan dengan cermat. Demi memastikan pembangunan IKN menerapkan konsep kota yang berkelanjutan serta mempertimbangkan aspek daya dukung sumber daya alam dan daya dukung lingkungan hidup, maka pada 2020, telah dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Master Plan IKN. Penyusunan KLHS Master Plan IKN ini dilakukan secara terintegrasi dengan penyusunan Master Plan IKN.

Pembangunan IKN yang mengusung konsep future smart forest city yang berbasis inovasi dan teknologi sejalan dengan arah pembangunan wilayah Pulau Kalimantan yang mendorong diversifikasi ekonomi namun tetap mempertahankan fungsi Kalimantan sebagai paru-paru dunia.

E-Goverment dan Smart City bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan kepada warga masyarakat dengan bertumpu pada prinsip keterkaitan dan kerjasama dari beragam elemen terkait. Sementara itu, ICT yang terdiri dari infrastruktur, teknologi, dan SDM sudah menjadi common knowledge.

Penggunaan teknologi cerdas menjadi pilar utama dalam mewujudkan konsep Forest City. Dari sistem manajemen energi yang efisien hingga penggunaan smart grids, berbagai inovasi teknologi diterapkan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Pembangunan infrastruktur transportasi yang ramah lingkungan menjadi fokus utama dalam transformasi ini. Transportasi publik yang efisien, penggunaan kendaraan ramah lingkungan, dan desain perkotaan yang mendukung pejalan kaki serta pengguna sepeda menjadi langkah penting dalam menciptakan kota yang lebih berkelanjutan.

Keberhasilan konsep Forest City juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga lingkungan. Pendidikan lingkungan yang lebih baik, kampanye kesadaran, dan kegiatan konservasi menjadi bagian integral dalam membentuk pola pikir dan perilaku yang ramah lingkungan.

Rencana dan tantangan dalam membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur dengan konsep Forest City, yang didasarkan pada prinsip keberlanjutan, lingkungan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Mencakup pembelajaran dari keberhasilan Tiongkok dalam mengembangkan Forest City di Liuzhou serta kegagalan Malaysia dalam proyek serupa.

Pembangunan Forest City di Indonesia, khususnya di IKN, menyoroti kekayaan alam yang unik dan perlu mempertimbangkan keberagaman alam serta partisipasi komunitas lokal. Pemerintah telah berkomitmen pada pengembangan kota yang ramah lingkungan dan canggih dengan melibatkan teknologi dari perusahaan AS, mempertimbangkan solusi berbasis alam (NBS) untuk pengelolaan air, dan mengutamakan aspek keberlanjutan dalam infrastruktur, transportasi, serta partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga lingkungan.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara dengan konsep Forest City di Kalimantan Timur menghadapi tantangan kompleks, namun pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis untuk menciptakan kota yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan modern dengan melibatkan berbagai aspek teknologi, lingkungan, dan partisipasi masyarakat. ***