JAKARTA, metro7.co.id – Ombudsman RI merilis hasil kajian pengawasan pelayanan publik terhadap penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota dan zona.

Ombudsman menyampaikan adanya temuan pada ranah regulasi dan implementasi kebijakan ini.

Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto mengatakan, kebijakan Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota dan zona bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikan, mengatasi overfishing, meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat.

“Namun demikian, dalam pelaksanaannya kebijakan ini perlu memperhatikan seluruh aspek dan aspirasi stakeholder terkait,” ujar Hery dalam Konferensi Pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Kamis (30/11).

Kajian ini mengungkap temuan Ombudsman pada aspek regulasi dan implementasi kebijakan PIT. Hery mengatakan, pada aspek regulasi, pihaknya menemukan belum optimalnya konsultasi publik yang melibatkan secara aktif para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur dan ketentuan pelaksanaannya.

Temuan kedua, beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap nelayan kecil tidak bersifat wajib (mandatory) tetapi bersifat pilihan. Selanjutnya, Ombudsman menemukan tidak ada parameter yang jelas dan terukur untuk menentukan kategori nelayan kecil.

Persoalan akuntabilitas dan transparansi dalam perhitungan, penetapan dan evaluasi kuota penangkapan ikan yang belum diatur secara komprehensif dalam regulasi PIT juga ditemukan oleh Ombudsman.

Disusul kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang regulasi serta aturan teknis dari Penangkapan Ikan Terukur. “Kebijakan PIT berbasis kuota dan zona masih belum dipahami secara jelas dan utuh oleh para nelayan, pemilik kapal perikanan maupun pelaku usaha perikanan,” imbuh Hery.

Meskipun kebijakan PIT berbasis kuota dan zona akan dilaksanakan pada 1 Januari 2024 di seluruh wilayah penangkapan ikan di Indonesia, namun Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi.

Apabila seluruh stakeholder khususnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mengantisipasi secara tepat dan cepat beberapa permasalahan yang muncul.

Pada aspek implementasi kebijakan PIT, Ombudsman menemukan lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan.

“Berdasarkan hasil survei, diketahui masih terdapat nelayan yang melaut lebih dari 12 mil namun tidak memiliki izin sama sekali atau hanya memegang izin dari pemerintah provinsi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa KKP belum cukup optimal melakukan pengawasan secara intensif dan menjangkau seluruh wilayah perikanan tangkap di Indonesia,” jelas Hery.

Selanjutnya Ombudsman menemukan fakta di lapangan bahwa edukasi dan bimbingan teknis kepada nelayan atau pelaku usaha maupun petugas di daerah masih sangat kurang.

Disamping itu, belum semua pelabuhan perikanan menyediakan gerai layanan perikanan tangkap yang berfungsi untuk memfasilitasi nelayan, pelaku usaha perikanan dalam proses migrasi perizinan dan sebagai tempat pengaduan atau tanya jawab terkait kebijakan PIT berbasis kuota dan zona.

Ombudsman juga menyoroti permasalahan tata kelola BBM bersubsidi untuk nelayan.

“Permasalahan BBM bersubsidi untuk nelayan bukan saja terkait dengan pasokan dan rantai distribusi, namun permasalahan dari sektor hulu ke hilir yang perlu pembenahan. Apabila permasalahan BBM bersubsidi masih belum dapat diselesaikan, terutama soal pemerataan pasok, maka kewajiban untuk melakukan pembongkaran di pelabuhan perikanan setempat tidak dapat maksimal dilaksanakan,” terang Hery.

Ombudsman memberikan saran kebijakan, diantaranya pada aspek regulasi, Ombudsman mendorong urgensi konsultasi publik dalam merancang regulasi dan penyusunan kebijakan terkait PIT dengan mengoptimalkan pelibatan seluruh pemangku kepentingan secara aktif.

“Yang tak kalah penting memastikan perlindungan terhadap nelayan kecil dilakukan secara maksimal dengan memperkuat sisi regulasi yang mengamanatkan secara mandatory perlindungan bagi nelayan kecil,” bebernya.

Pada aspek implementasi, Ombudsman memberikan saran perbaikan di antaranya agar KKP memperkuat sistem dan mekanisme pengawasan mengenai subsektor perikanan tangkap.

Selanjutnya, agar KKP meningkatkan kegiatan edukasi dan bimbingan teknis secara masif kepada para nelayan, pelaku usaha penangkapan ikan dan pelaku usaha pengangkutan ikan serta petugas terkait penangkapan ikan terukur di daerah.

“Ketersediaan stok BBM bersubsidi dan kemudahan akses mendapatkan BBM Bersubsidi dapat diselesaikan. Hal tersebut penting, mengingat kebijakan PIT mewajibkan kapal membongkar hasil ikan di Pelabuhan pangkalan yang dipilihnya, maka ketersediaan stok BBM Bersubsidi harus merata di setiap titik pelabuhan perikanan,” tegas Hery.

Selanjutnya, Ombudsman menyarankan agar pemerintah menyederhanakan perizinan dan mengintegrasikan ke dalam sistem terpadu antara pemerintah daerah, kementerian kelautan dan perikanan maupun Kementerian Investasi/BKPM selaku pengelola OSS. Dengan demikian setiap perizinan dapat dipantau bersama dan tidak menimbulkan tumpang tindih perizinan.

“Agar penyelenggara layanan menutup potensi terjadinya maladministrasi pelayanan publik dan mengoptimalkan mekanisme tindak lanjut pengaduan yang responsif,” ujar Hery.

Kajian dilaksanakan dengan beberapa metode yakni Focus Group Discussion (FGD), survei opini publik kepada para nelayan, pelaku usaha, dan stakeholder, serta melakukan observasi secara langsung di lapangan.